Ujian Kompetensi Guru (UKG) yang baru dilaksanakan dan hasilnya tidak sesuai harapan dinilai tidak efektif sebagai alat ukur kualitas guru serta Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK).
Menurut banyak praktisi pendidikan, UKG tidak tepat dan kurang efektif jika dijadikan alat utnuk mengukur kualitas guru maupun LPTK, sebab belum tentu bisa dan mampu memotret dengan benar.
"Apa yang dilakukan oleh guru di kelas akan berbeda dengan materi yang diujikan dalam UKG, sehingga kalau ada guru yang hasil UKG-nya kurang bagus bukan berarti guru bersangkutan tidak berkualitas atau tidak berkompeten,". Bisa jadi, lanjutnya, materi yang diujikan itu menyimpang dari praktik di lapangan atau keseharian guru di sekolah. Apalagi, UKG yang digelar di Tanah Air belum lama ini hasilnya juga kurang memuaskan, bahkan jeblok secara nasional.
Oleh karena itu, akan lebih baik kalau kualitas guru itu dikembalikan seperti semula, yakni dipantau dan dinilai oleh kepala sekolah masing-masing serta pengawas sekolah. dan keberadaan kepala sekolah dan pengawas inilah yang difungsikan secara maksimal untuk menilai dan mengawasi guru. Jadi serahkan saja pada mereka dan tidak perlu ada UKG lagi,".
Sementara itu, Ancaman untuk menggugat uji kompetensi guru (UKG) sudah direalisasikan ke MA. Sejumlah elemen yang tergabung dalam tim penggugat UKG menyerahkan berkas gugatan kepada Mahkamah Agung (MA). Dalam berkas setebal 500 halaman itu, sedikitnya ada lima alasan mengapa UKG digugat melalui judicial review ke MA.
Pertama, tim penggugat menuding definisi UKG yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 57/2012 tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74/2008 tentang Guru. Namun bila UKG yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) itu dijadikan koreksi bagi LPTK, akan baik sekali.
Dalam hal ini Kemendikbud memang harus mengontrol penyelenggaraan pendidikan di LPTK, baik negeri maupun swasta. Sehingga, pemerintah juga bisa mengontrol kualitas lulusannya. Di Indonesia, katanya, LPTK negeri hanya ada 12, sedangkan swasta hampir 400 kampus. "Itu artinya, guru lulusan LPTK swasta jumlahnya lebih banyak, sementara banyak LPTK swasta yang fasilitas dan sarana pendukung lainnya masih kurang memadai,".
Sumber :ANTARA
Editor :Benny N Joewono
Post a Comment