Photo by google |
Islam menganjurkan umatnya untuk memproduksi komoditi/jasa yang halal dan thayyib dan berperan dalam berbagai bentuk aktivitas ekonomi baik dalam bidang pertanian, perkebunan, perikanan, peindustrian, maupun perdagangan. Islam memberkati pekerjaan dunia ini dan menjadikannya bagian dari ibadah dan jihad. Bekerja adalah bagian dari ibadah dan jihad, jika sang pekerja bersikap konsisten terhadap peraturan Allah, suci niatnya, dan tidak melupakan-Nya.
Selanjutnya Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa pada dasarnya, pekerjaan duniawi tidak hanya bermanfa'at bagi individu pelakunya, tetapi juga penting untuk mencapai kemaslahatan masyarakat secara umum. Tidak logis jika dalam kehidupan di dunia ini manusia selalu mengambil tanpa pernah memberi apapun kepada orang lain atau masyarakat baik berbentuk ilmu ataupun tenaga.
Seorang muslim dituntut bekerja untuk hidupnya sebagaimana halnya ia dituntut bekerja untuk hari akhiratnya. Ia memohon kepada Allah agar diberi kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat. Bagi seorang muslim, bekerja di dunia adalah merupakan hal yang wajib demi kebutuhan dan kemaslahatan keluarganya.
Bekerja bagi seseorang adalah merupakan sesuatu yang sangat penting, pengusaha muslim, tidak akan mendapatkan penghasilan/ keuntungan dalam produksinya, kalau tidak ada kaum buruh atau pekerja. Islam memandang kaum buruh (pekerja), merupakan partner untuk memperoleh keuntungan dalam suatu kegiatan ekonomi. Bekerja adalah suatu pekerjaan yang mulia. Seorang muslim merasa bangga mendapatkan rizki yang halal dari hasil pekerjaannya sendiri walaupun sedikit, (contoh hasil dari mengambil kayu, mengaspal jalan, dan mengumpulkan sampah) daripada mereka berbuat meminta-minta atau mengemis.
Manusia bekerja mendapatkan hasil sesuai dengan profesinya, masing-masing tidak sama dalam tingkat perolehannya. Al-Qur'an menjelaskan dalam surat al-Ahqaaf (46) ayat 19:
"Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka, sedang mereka tiada dirugikan".
Perihal manusia harus bekerja terdapat juga dalam pasal 27, ayat (2) UUD 1945 menyatakan:
"Bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan".
Pasal ini memancarkan asas keadilan sosial dan kerakyatan. Berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur hal ini bertujuan menciptakan lapangan kerja, guna memperoleh penghidupan yang layak bagi warga negara, seperti dalam undang-undang agraria, perkoperasian, penanaman modal, Sistem Pendidikan Nasional dan lain sebagainya.
Pada umumnya bagi mereka yang malas bekerja, hidupnya serba kekurangan dan tidak sanggup memenuhi kebutuhannya, baik untuk dirinya maupun keluarganya dan mereka hidup dalam keadaan kefakiran dan kemiskinan. Hal ini yang menjadi tidak samanya penghasilan dalam kehidupan masyarakat.
Pendapatan/penghasilan masyarakat yang berbeda itulah yang menyebabkan taraf kesejahteraan masyarakat juga berbeda, maka akan timbul dalam masyarakat ada orang kaya dan golongan miskin. Perbedaan tingkat pendapatan dan kesejahteraan masyarakat itu adalah wajar, karena beberapa faktor yang terdapat pada diri manusia masing-masing. Hal itu sesuai dengan sunnatullah yang telah menggariskan hukum alam (natural law). Hal ini terdapat dalam al-Qur'an surat al-Zuhruf (43) ayat 32:
"Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atau sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan".
Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa perbedaan pendapatan/ penghasilan dan kesejahteraan masyarakat itu, jangan sampai berkembang lebih jauh yang berakibat tidak adanya pemerataan pendapatan dalam masyarakat, sehingga menimbulkan terlalu jauh jarak pemisah antara si kaya dan si miskin, yang mempunyai dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat, yang pada gilirannya akan mengganggu kehidupan masyarakat dan dapat mengganggu stabilitas keamanan dan stabilitas nasional. Hal ini tidak sesuai dengan pengamalan Pancasila, yakni sila II "Kemanusiaan yang adil dan beradab" dan bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang menjunjung tinggi harkat martabat manusia dan keadilan sosial. Untuk mengatasi hal-hal yang negatif dari adanya perbedaan tersebut di atas, Islam telah mengadakan berbagai lembaga yang sangat efektif, bila itu dilaksanakan dengan baik, adil dan jujur untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, ialah zakat, sedekah, hibah, warisan, wasiat dan wakaf.
Zakat, infak, hibah, dan sebagainya apabila dapat dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab oleh umat Islam, maka ia merupakan sumber dana tetap yang cukup potensial untuk menunjang suksesnya pembangunan nasional, baik dalam bidang material maupun spiritual, terutama di bidang agama, ekonomi, khususnya untuk membantu peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat (lihat pasal 34 UUD 1945 yang mengatur bahwa "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara").
Sektor perdagangan dalam ekonomi Islam, merupakan lahan yang sangat vital dan merupakan mediator yang baik antara industrialisasi dan konsumen. Demikian juga jika barang-barang di pasaran dikuasai oleh pedagang-pedagang yang tidak bermoral, maka ia ingin menguasai dan mempermainkan harga barang yang tidak sesuai dengan apa yang telah digariskan baik oleh agama, maupun negara. Dalam hal ini penulis cenderung dan sependapat terhadap tinjauan etika ekonomi Islam menurut para ulama, seperti Abu Yusuf yang melarang menimbun dan monopoli perdagangan, baik barang dagangan itu emas, perak maupun barang-barang dagangan yang dibutuhkan masyarakat dan lbnu Taimiyah, melarang dalam berdagang yang merugikan masyarakat, mempermainkan harga yang menjadikan masyarakat menjadi menderita. Abul Kalam Asad berpendapat bahwa dalam berdagang diupayakan menjadikan masyarakat menjadi sejahtera dan tidak berbuat zalim atau aniaya, sedangkan Imam Al-Gozali juga berpendapat bahwa dalam berdagang itu jangan berbuat curang, monopoli, harus adil dan jujur, benar, tidak menipu dan tidak menyembunyikan harga kejujuran dan kebenaran lebih diutamakan dalam berdagang dan dalam berdagang tidak berbuat dan melakukan riba serta tidak mengambil untung terlalu banyak, hanya mengambil untung dengan cara yang layak dan wajar. Dalam kehidupan modern sekarang ini, umat Islam hampir tidak bisa menghindarkan diri dari bermu'amalah dengan bank, baik dalam kehidupan berbisnis, maupun dalam kehidupan agama/ibadahnya. Namun para ulama dan cendekiawan muslim hingga kami masih tetap berbeda pendapat tentang hukum mu'amalah dengan bank konvensional dan hukum bunga bank.
Di antara mereka ada yang mengharamkannya, karena bunga bank itu riba nasiah, mereka yang termasuk kelompok ini, Abu Zahrah (Kairo), Abul A'la Al-Maududi (Pakistan), Muhammad Abdullah Al-Arabi, penasihat hukum pada Islamic Bank Cairo dan lain sebagainya. Mereka menyatakan bahwa bunga itu riba nasiah, yang dilarang oleh Islam, kecuali kalau dalam keadaan darurat atau terpaksa. Dan mereka mengharapkan lahirnya bank Islam yang tidak memakai sistem bunga sama sekali. Pendapat A. Hasan bahwa bunga bank seperti yang ada di negara kita ini bukan riba yang diharamkan, sedangkan pendapat Majelis Tarjih Muhammadiyah tahun 1968, bahwa bunga bank termasuk syubhat atau mutasyabihat, yang belum jelas halal/haramnya. Adapun menurut Mustofa Ahmad Al-Zarqa, Abdurrahman Isa dan Mahmud Syaltut, mereka menyatakan bahwa realitas yang tidak dapat dihindari. Karena itu umat Islam boleh bermu'amalah dengan bank konvensional itu atas pertimbangan dalam keadaan darurat. Dari uraian ini penulis berpendapat bahwa bermu'amalah dengan bank yang memakai sistem bunga, tidak diperbolehkan, kecuali dalam keadaan darurat. Tetapi dewasa ini, di negara kita sudah berdiri bank Islam, yaitu BMI dengan segala tugas operasionalnya. Tinggal masyarakat muslim menerima keberadaannya, sebaiknya mereka menyambut dengan baik dan menggunakannya, jangan membiarkan meminjam kepada bank konvensional apabila keberadaan bank tersebut mu'amalatnya tidak sejalan dengan syari'at Islam.
Demikian pula penulis sependapat bahwa dalam hal melaksanakan mu'amalah dan ekonomi para ulama memberi peringatan dan menganjurkan agar para ekonomi melaksanakan transaksi perdagangannya secara baik, amanat, jujur dan adil sesuai dengan aturan, baik aturan syari'at Islam maupun aturan negara. Karena Allah SWT akan menjadikan kehidupan yang baik dan memberikan rahmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan taqwa. Dan sebaliknya Allah SWT akan menghukum dan menyiksa kepada hamba-hamba-Nya yang menyimpang atau berpaling dari perintah-Nya dan mendustakan-Nya. Hal ini dijelaskan berdasarkan firman Allah SWT dalam al-Qur'an, sebagai berikut:
"Jika sekiranya penduduk negeri itu beriman dan bertaqwa, niscaya kami melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (kebenaran), lalu kami siksa mereka karena perbuatannya" (Q.S. al A'raf: 96).
Post a Comment
Post a Comment