photo by google |
Sebagian ulama menganggap koperasi (syirkah ta'awuniyah) sebagai akad mudharabah, yakni "suatu perjanjian kerja sama antara dua orang atau lebih yang mana satu pihak menyediakan modal usaha, sedangkan pihak yang lain melakukan usaha atas dasar profit sharing (membagi keuntungan) menurut perjanjian.
Mahmud Syaltut tidak setuju pendapat tersebut sebab syirkah ta'awuniyah tidak mengandung unsur mudharabah yang dirumuskan oleh fuqaha (satu pihak menyediakan modal dan pihak lain melakukan usaha). Sebab syirkah ta'awuniyah (yang jumlah anggota pemegang saham, dan usaha koperasi (syirkah ta'awuniyah) itu dikelola oleh pengurus dan karyawan yang dibayar oleh koperasi menurut kedudukan dan fungsinya masing-masing. Dan kalau pemegang saham turut mengelola usaha koperasi itu, maka ia berhak mendapat gaji sesuai dengan sistem perjanjian yang berlaku (bulanan, mingguan dan sebagainya).
Selanjutnya Mahmud Syaltut, mengatakan bahwa syirkah ta'awuniyah (koperasi), adalah syirkah baru yang diciptakan oleh para ahli ekonomi, yang banyak sekali menfa'atnya, yaitu memberi keuntungan kepada para anggota pemilik saham, memberi lapangan kerja kepada para karyawannya, memberi bantuan keuangan dari sebagian hasil usaha koperasi untuk mendirikan tempat ibadah, sekolah dan sebagainya.
Maka jelaslah dalam koperasi itu tidak ada unsur kezaliman dan pemerasan (eksploitasi oleh manusia yang kuat (kaya) atas manusia yang lemah (miskin), pengelolaannya demokratis dan terbuka (open management) serta membagi keuntungan dan kerugian pada para anggota menurut ketentuan yang berlaku yang telah diketahui oleh seluruh anggota pemegang saham. Karena itu syirkah ta'awuniyah itu dapat dibenarkan oleh Islam.
Menurut 'Mahmud Syaltut, jika koperasi menentukan sebagai hasil usaha untuk tujuan sosial keagamaan sesuai dengan pos-pos/ ashnaf penggunaan zakat, maka bagi anggota koperasi yang muslim boleh niat sebagai zakatnya atas sebagian hasil usaha koperasi yang dikeluarkan untuk tujuan sosial keagamaan. Jika pengeluaran hasil usaha koperasi untuk sosial keagamaan itu sama dengan jumlah zakat wajib yang dikeluarkan oleh anggota pemilik saham koperasi, maka yang bersangkutan sudah dipandang menunaikan zakatnya, tetapi jika kurang, ia harus melengkapi kekurangan zakatnya, dan jika lebih maka sisanya sebagai sedekah.
Adapun yang dimaksud dengan valuta asing, ialah mata uang luar negeri; seperti dolar Amerika, poundsterling Inggris, ringgit Malasyia, dan sebagainya. Apabila antara negara terjadi perdagangan internasional, maka tiap negara membutuhkan valuta asing untuk alat bayar luar negeri yang dalam dunia perdagangan disebut devisa. Misalnya ekspostir Indonesia akan memperoleh devisa dari hasil ekspor, sebaliknya importir Indonesia memerlukan devisa untuk mengimpor dari luar negeri. Dengan demikian, akan timbul penawaran dan permintaan devisa di bursa valuta asing. Setiap negara berwenang penuh menetapkan kurs uangnya masing-masing (kurs, ialah perbandingan nilai uangnya terhadap uang asing). Misalnya, dolar Amerika = Rp. 1.640,-, namun, kurs uang atau perbandingan nilai tukar setiap saat bisa berubah-ubah tergantung pada kekuatan ekonomi negara masing-masing. Pencatatan kurs dan transaksi jual beli valuta asing diselenggarakan di bursa valuta asing.
Adapun saham adalah termasuk efek (surat berharga yang dapat diperdagangkan seperti sertifikat dan obligasi), ialah surat berharga sebagai tanda pemegangnya turut memiliki perusahaan yang mengeluarkan saham itu. Kurs saham itu juga seperti kurs valuta asing bisa berubah-ubah menurut hukum permintaan dan penawaran. Pada waktu ini, di Indonesia pencatatan kurs saham dilakukan oleh PT. Danareksa di Bursa Efek Jakarta.
Selanjutnya Masjfuk Zuhdi mengatakan bahwa jual beli valuta asing dan saham diperbolehkan oleh Islam, baik transaksinya dilakukan di bursa valuta asing dan bursa efek maupun di tempat lain, karena transaksinya telah memenuhi syarat rukun jual beli menurut hukum Islam.
Sedangkan Abdurrahman Isa, berpendapat bahwa jual beli saham itu diperbolehkan oleh agama, termasuk saham-saham yang dikeluarkan oleh bank sekalipun sebagian besar kegiatan bank itu untuk kegiatan perkreditan dengan sistem bunga, karena umat Islam dewasa ini dalam keadaan terpaksa (darurat).
Adapun jual beli obligasi yang dikeluarkan oleh perusahaan-perusahaan yang tidak diinvestasikan dalam pembangunan proyek-proyek produktif, tetapi dimanfa'atkan dana yang terkumpul untuk kegiatan riba (kredit dengan sistem bunga), maka tidak boleh menurut agama, karena pemegang obligasi statusnya sama dengan pemberi kredit dengan bunga yang sudah ditentukan. Sebaliknya, jual beli obligasi yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk membiayai proyek-proyek yang produktif (pertanian, perkebunan, industri dan sebagainya), maka diperbolehkan agama, karena prosentase keuntungan yang akan diterima oleh pemilik obligasi itu adalah hasil mudharabah, yakni bagi hasil antara pemilik modal (obligasi) dengan pelaksana usaha, dalam hal ini pemerintah.
Majelis Fatwa Al Syar'iyah Kuwait, dalam fatwanya menyatakan bahwa apabila obligasi itu merupakan instrumen investasi (qiradh), maka menerbitkan atau memperdagangkannya di bursa efek, hukumnya haram secara qath'i. Karena hal tersebut jelas termasuk riba, tentang saham, apabila pemilikan saham itu dimaksudkan sebagai penyertaan dalam persekutuan modal ini tidak mengapa. Tetapi apabila saham dijadikan sebagai instrumen investasi (qiradh) kemudian diperdagangkan di bursa, ini sudah termasuk haram. Menurutnya, tampak memisahkan antara pemilikan saham selakusekutu dalam syirkah (perseroan), dengan saham sebagai instrumen investasi (qiradh) atau untuk diperdagangkan itu kini amat sulit dan telah menjadi gejala umum sebagai "umum al-balwa'. Karenanya, apabila seorang pemegang saham menjual sahamnya dengan memperoleh kelebihan selisih kurs, maka agar terhindar dari praktek riba hendaknya kelebihan itu diserahkan kepada lembaga yang mengelola kemaslahatan umum selain mesjid.
Sedangkan pendirian yang dikemukakan oleh Ali Abd Al-Rasul, Dosen dan Doktor dalam bidang ekonomi Universitas Al-Azhar, menurut pendapatnya bahwa kehadiran bursa saham serta obligasi adalah seiring dengan perkembangan perbankan, sebagai tuntutan yang bersifat dharuri dalam konteks sistem ekonomi dan politik. Kedua-duanya mubah hukumnya secara syar'i. Baik Syekh Abd Al-Rahman Isa maupun Syekh Mahmud Syaltut, dikatakan, pernah menfatwakan bolehnya penerbitan saham serta obligasi perbankan, yakni boleh karena dharurah. Walaupun demikian, ia mensyaratkan bahwa transaksi itu harus dengan pembayaran segera atau kontan (al-'amaliyat al-'ajilah). Bila jual beli efek itu dilakukan dengan pembayaran bertempo (al-'amaliyat al-'ajilah), hal ini diharamkan oleh syara'. Karena perubahan harga di bursa afek terjadi sangat cepat. Larangan penanggulangan pembayaran serta mempermainkan harga (kurs) efek.
Di tanah air kita, para ulama termasuk peminat studi fiqh dan keislaman, masing-masing juga mempunyai pendirian yang berbeda. Keputusan mu'tamar Nadhatul Ulama (NU) 1989 menyatakan bahwa bursa efek termasuk dalam katagori gharar, tetapi tidak secara tegas dinyatakan haram.
Pandangan yang senada juga dikemukakan oleh Penoh Dhali (Dosen Senior IAlN Jakarta dan Ketua Majelis Tarjih Muhammadiyah Pusat). Menurut pandangannya bursa mengan-dung unsur positif dan negatif. Negatifnya, di sana ada unsur spekulasi yang bisa disamakan dengan praktek 'ijon'. Ini termasuk katagori gharar.
Positifnya, bahwa bursa saham merupakan upaya mobilisasi dana dari masyarakat guna mendukung usaha-usaha besar yang pada dasarnya juga untuk kepentingan masyarakat luas. Dana masyarakat tidak lagi tersimpan di laci atau di lemari. Oleh karenanya ia menghukumkan 'makruh' (larangan yang tidak sampai 'haram'). Sedangkan menurut K. H. Syafe'i Hamdzani, Ketua MUI Jakarta, hal semacam itu hukumnya tetap haram.
Unsur spekulasi ungkap K.H. Ibrahim Hosen (Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat), sebenarnya merupakan ciri perdagangan yang ada di mana-mana. Artinya, spekulasi itu memang sudah watak bisnis, tetapi orang tidak boleh amat tergantung pada unsur spekulasi itu. Soal perubahan harga (kurs) saham, sama saja mau dan tidak merasa tertipu. Jadi kalau ada saham senilai seribu rupiah dijual Rp. 10.000,- kalau itu memang tuntutan pasar tidak ada masalah. Bagi H. Ali Akhbar, pendiri Majelis Pertimbangan, Kesehatan dan Syara' (MPKS) Dep. Kesehatan, dalam jual beli saham itu sesungguhnya ada unsur perjudian, spekulasi dan kehedndak orang untuk cepat kaya, ini tidak boleh dalam agama Islam. Sebaliknya H.M. Munawir Sadzali (mantan Menteri Agama R.I.) dan H. Murzuki Usman (mantan Ketua Bapepam) membantah adanya unsur perjudian. Spekulasi dalam saham bukan dan tidak sama dengan judi. Di sana ada perhitungan-perhitungan dan ada pula informasinya. Judi mana ada informasinya.
"Seharusnya saham itu halal kenapa tidak ?" tegas Marzuki Usman "Buktinya beberapa negara Islam juga telah membuka dan melakukan praktek pasar modal. Lihat Yordania, Pakistan, Mesir, Nigeria, Kuwait, semua memiliki bursa efek tak ada masalah di sana" tambahnya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kajian hukum Islam tentang pemerataan pendapatan akan berhasil dengan baik, apabila sistem ekonomi Islam yang bersumber dari syari'at Islam (al-Qur'an dan al-Hadits) dan dikembangkan oleh pemikiran ulama yang memenuhi syarat dalam bidangnya, dilaksanakan oleh para ekonomi dengan baik, jujur, amanat, adil dan tidak berbuat curang baik dalam bidang produksi maupun distribusi.
Jelasnya dalam sistem ekonomi Islam supaya pemerataan terpenuhi harus dibatasi supaya sejauhmana berbagai sumber yang ada untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia kepada tiga hal, yaitu kebutuhan primer (dharuri), sekunder (hajiah) dan tertier (tahsiniah). Di samping itu juga terdapat lima intrumental yang strategis uang mempengaruhi perlaku seorang muslim dalam melaksanakan ekonomi dalam kehidupan masyarakat dan pembangunan ekonomi pada umumnya, yaitu zakat, larangan riba, kerjasama ekonomi, jaminan sosial dan peranan negara. Salah satu bentuk kerjasama yang sesuai dengan ajaran Islam adalah qiradl, yang dikenal dengan sebutan penyertaan modal (participation) tanpa beban bunga. Kerjasama ini didasarkan pada profit loss sharing (penyertaan untung rugi) atas satu usaha kegiatan ekonomi yang disepakatai bersama.
Di samping itu juga syari'at Islam membahas hukum, baik usaha dalam bidang ekonomi maupun makanan dan minuman diperintahkan hendaknya yang baik dan halal sesuai dengan apa yang telah digariskan dalam al-Qur'an surat al-Baqarah, ayat 168
Post a Comment
Post a Comment