Ads (728x90)

Anonymous 17:58
Membicarakan tentang masalah ekonomi Islam, berarti bagi seorang muslim akan siap menerima kenyataan bahwa di dalamnya terdapat kaidah-kaidah moral yang dijiwai dari semangat Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah SAW, dimana keduanya mencerminkan jiwa dari setiap kebaikan dan beribadah. Karena secara filosofis, kegiatan perekonomian yang dilakukan oleh seorang muslim di dalam ajaran Islam adalah merupakan manifestasi dari pengabdiannya kepada Allah SWT atas anugerah yang diberikan kepadanya. Dengan demikian sebagai konsekuensinya ia juga akan dimintai pertanggung jawabannya di akhirat kelak.
Nilai-nilai yang diinginkan Islam dalam sistem ekonomi Islam, diantaranya sebagai berikut :
a.    Keseimbangan
Keseimbangan adalah merupakan nilai pokok yang mempengaruhi berbagai aspek tingkah laku ekonomi seorang muslim. Karena keseimbangan ini dalam konsep Islam mengandung arti bahwa Islam berada di jalan tengah antara konsep kapitalisme dan sosialisme dalam sistem ekonominya.
Nilai-nilai keseimbangan akan menjadi terhambat dengan adanya kemiskinan, kelaparan, kemarau panjang dan pengangguran yang pada gilirannya akan menimbulkan ketidak stabilan dalam bidang ekonomi dan menimbulkan kejahatan. Apabila hal itu terjadi, maka jalan yang dapat ditempuh adalah dengan mengambil tindakan seperti kebijaksanaan khalifah Umar bin Khattab, yaitu mendistribusi harta kekayaan dengan mengambil kelebihan-kelebihan harta orang-orang kaya untuk orang-orang yang membutuhkannya.

b.    Keadilan
‘Adil’ merupakan kata yang paling banyak disebut dalam Al-Qur’an, setelah kata ‘Allah’ dan ‘ilmu pengetahuan’ yang memperjelas betapa nilai dasar ini memiliki bobot yang sangat dimuliakan dalam Islam, baik yang berkait dengan aspek sosial politik, maupun sosial ekonomi.
Keadilan memiliki arti yang sangat luas, diantaranya ialah :
1)    Adil merupakan norma yang paling utama dalam seluruh aspek perekonomian. Dengan demikian kebebasan yang tidak terbatas akan mengakibatkan ketidakadilan antara perkembangan produksi dengan hak-hak istimewa sekelompok kecil golongan untuk mengumpulkan kekayaan secara melimpah. Dengan demikian akan terjadi jarak pemisah antara yang kaya dan yang miskin, antara yang kuat dan yang lemah dan pada akhirnya akan menghancurkan tatanan sosial.
Keadilan harus diterapkan dalam semua sektor kegiatan ekonomi, terutama sekali dalam sektor produksi dan konsumsi sebagai alat efisiensi dan memberantas pemborosan. Merupakan suatu perbuatan dzalim, jika seseorang dibiarkan berbuat sesuka hatinya melampaui batas yang telah ditetapkan terhadap hartanya dan bahkan sampai merampas hak orang lain. Dalam hal ini Al-Qur’an dalam surat an-Nisaa, ayat 160-161, sebagai berikut:
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِيْنَ هَادُوْا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَـيّـِبَاتٍ اُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبـِيْـلِ اللهِ كَثِيْرًا وَأَخْذِهِمُ الرِّبَوا وَقَدْنُهُوْاعَنْهُ وَأَكْلِهِمْ اَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَفِرِيْنَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيْمًا (النساء: 161-160).
“Maka disebabkan kedzaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang dari padanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih”.

Sedangkan keadilan dalam distribusi merupakan perangkat, penilai yang tepat bagi faktor produksi dan kebijaksanaan harga, sehingga hasilnya akan sama dengan takaran yang wajar serta ukuran yang tepat, sama halnya dengan ketentuan yang sebenarnya, tidak boleh menguranginya.
2)    Keadilan juga berarti kebijaksanaan dalam mengalokasikan semua hasil kegiatan ekonomi tertentu bagi orang-orang yang tidak mampu memasuki pasar, lebih-lebih dengan adanya perbedaan pendapatan dan kemakmuran. Adanya perbedaan ini tidak konsisten dengan cita-cita Islam, karena pada hakekatnya hak tersebut mencerminkan ketidakadilan dalam masyarakat, padahal peredaran kekayaan harus seimbang dalam masyarakat. Hal ini disebutkan al-Qur’an dalam surat Adz Dzariyaat, ayat 19 menjelaskan sebagai berikut :
وَفِى أَمْوَلِهِمْ حَقٌّ لِلسَّآئِلِ وَالْمَحْرُوْمِ (الذريات: 19).
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang-orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian (orang miskin yang tidak meminta)”.

Dari uraian ayat di atas menjadi jelas bagi seorang muslim dalam berbisnis dilarang berbuat aniaya (dzalim) kepada sesamanya. Di antara perbuatan dzalim dalam bisnis adalah memakan harta orang lain dengan cara bathil, mengurangi takaran dan timbangan. Bagi seorang muslim dalam usahanya hendaklah berbuat adil tidak menyimpang dari aturan baik aturan agama maupun negara. Begitu juga dalam memasarkan semua hasil kegiatan ekonomi harus dilokasikan tertentu bagi orang-orang yang tidak mampu memenuhi pasar sifatnya tidak adanya perbedaan pendapatan di antara mereka. Adanya perbedaan tersebut menjadikan tidak adil dalam masyarakat dan tidak konsisten dengan cita-cita Islam.
Menurut A.M. Saifuddinkarakter pokok dari nilai keadilan ini adalah bahwa masyarakat harus memiliki sifat makmur dalam keadilan dan adil dalam kemakmuran.

Post a Comment

Post a Comment