Ada yang menarik, menggelitik, kritis dan kreatif saat mengenang aksi demonstrasi mensoal keberhasilan program 100 hari pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudoyono pada tanggal 28 Desember 2009 lalu. Pada aksi itu masa membawa seekor kerbau sebagai bentuk kekecewaan terhadap kepemimpinan presiden SBY. Kerbau yang diberi nama SiBuYa tersebut ditempeli poster SBY di bagian muka dan pantatnya.
Interpretasipun muncul dari berbagai kalangan, ada yang pro dan ada yang kontra. Apakah kerbau tersebut merupakan simbolisasi presiden SBY? atau hanya sebuah kritik konstruktif yang harus diterima presiden sebagai konsekuensi logis atas kepemimpinanya. Di luar pro dan kontra ada alasan-alasan tertentu mengapa demonstran menggunakan simbol kerbau. Interpretasi terhadap kerbau bisa bermacam-macam, baik secara fisik maupun psikologis. Seperti yang dikemukakan Ikrar Nusa Bhakti peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bahwa kerbau tidak selalu identik dengan hal-hal buruk. Di Jepang kerbau diakui sebagai simbol ilmu pengetahuan, sedangkan di Indonesia kerbau dipahami sebagai binatang yang memiliki kekuatan besar dan memiliki banyak manfaat seperti membajak sawah, menarik pedati dan lain sebagainya. (Suara Merdeka, 4/2/2010). Tapi di sisi lain, kerbau juga bisa diinterpretasikan dengan hal-hal negatif, misalnya terlalu lamban bergerak, terlalu penurut, dan mudah dikendalikan orang lain. Hal ini dipertegas dengan peribahasa “seperti kerbau dicocok hidungnya” untuk merefleksikan seseorang yang tidak memiliki pendirian tegas dan mudah dikendalikan orang lain.
Demonstrasi tersebut akhirnya mengundang perhatian presiden SBY. Dalam Rapimnas di Istana Cipanas Cianjur Bogor yang dilaksanakan tanggal 2 Februari 2010, SBY mengungkapkan kekecewaannya atas ulah demonstran yang kurang memperhatikan norma dan etika dalam berdemonstrasi. Menurutnya para demonstran telah melakukan kreatifitas yang buruk karena menyamakan dirinya dengan seekor kerbau.
Fenomena ini sekaligus memberi gambaran betapa iklim demokrasi bangsa ini telah mengalami pergeseran paradigma. Pada zaman orde baru, tidak banyak aktifis yang berani koar-koar apalagi menyamakan presiden dengan binatang, karena pasti akan berhadapan dengan aparat keamanan. Saat ini, dimana demokrasi di junjung tinggi, rakyat dipersilahkan mengemukakan pendapat meskipun dalam bentuk yang ekstrim dan terkadang mengesampingkan aspek etika. Aksi mogok makan dan tindak kekerasan dalam demonstrasi merupakan contoh yang ekstrim. Sedangkan pemakaian simbol-simbol dalam demonstrasi seringkali dipakai untuk memberikan pencitraan terhadap pemerintah. Misalnya untuk merefleksikan keadaan hukum di Indonesia massa membawa keranda mayat sebagai simbol matinya keadilan.
Berkaitan dengan simbolisasi ini, S.I. Hayakawa dalam buku Komunikasi Antar Budaya (2005) mengemukakan bahwa proses yang dilakukan manusia secara arbitrer untuk menjadikan hal-hal tertentu mewakili hal-hal lainnya bisa disebut sebagai proses simbolik. Proses simbolik ini berkaitan dengan kesepakatan-kesepakatan dalam mengidentikkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Jadi sah-sah saja jika sekelompok orang menginterpretasikan kerbau sebagai lambang kekuatan atau malah kedunguan.
Namun masalah yang lain akan muncul manakala kerbau ini dikaitkan dengan simbol-simbol negara yang harus dihormati seperti presiden. Simbolisasi yang disajikan secara tepat akan menghasilkan interpretasi yang baik, sedangkan simbolisasi yang disajikan tanpa menghiraukan aspek etika akan menimbulkan interpretasi negatif. Orang akan melihat bahwa kerbau yang diberi nama SiBuYa (dengan S, B, dan Y besar) serta poster presiden SBY yang ditempel di muka dan belakang kerbau memang ditujukan kepada presiden SBY. Dan masalah yang muncul dari aksi ini adalah sejauhmana warga negara menghormati presidennya.
Penghormatan atau Penghinaan
Simbolisasi bisa berarti penghormatan tapi juga bisa digunakan sebagai alat untuk mendiskreditkan seseorang, tergantung pesan apa yang ingin disampaikan dan bagaimana cara menampilkan simbolisasi tersebut. Dahulu kentongan (Jawa), kulkuk (Bali), atau gulgul (Madura) dihiasi dengan kepala manusia, harimau, burung atau ikan. Kentongan yang antropomorf (simbolisasi manusia) dan zoomorf (simbolisasi binatang) dilihat sebagai penghormatan terhadap leluhur yang telah menyelamatkan dan melindungi kampung dari bala (bencana). Tapi kerbau dengan inisial SBY dan pantatnya ditempeli gambar presiden Susilo Bambang Yudoyono, dapatkah dikatakan sebagai penghormatan atau malah sebaliknya?
Mungkin bangsa ini perlu belajar untuk lebih bijak dalam menyikapi segala hal. Demonstrasi kerbau mungkin bukan tanpa sebab, tapi ada yang melatarbelakangi aksi tersebut. Ibarat sebuah keluarga, antara kepala keluarga dan anggota keluarga harus memahami tugas dan tanggung jawab masing-masing. Kepala keluarga berkewajiban memberikan perhatian dan kesejahteraan bagi keluarga, sedangkan anggota keluarga memberikan mensupport supaya kesejahteraan keluarga dapat tercapai. Jika seorang anak merasa tidak diperhatikan oleh ayahnya, maka tidak perlu melakukan tindakan yang tidak sopan misalnya dengan menggambarkan ayahnya sebagai seekor kerbau. Pun sebaliknya seorang ayah tidak perlu menunggu anaknya melakukan tindakan yang ekstrim dan tidak beretika untuk memberikan apa yang dibutuhkan anaknya.
Pemerintah dan elit politik perlu memperhatikan aspek edukatif dari aksi-aksi seperti demonstrasi kerbau ini. Bagaimanapun ini bisa menjadi pembelajaran publik yang konstruktif sekaligus destruktif. Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari kejadian ini, mulai dari politik dari politik sampai etika. Aksi demonstrasi kerbau ini merupakan bagian dari proses berdemokrasi, aksi-aksi seperti ini merupakan balancing jika terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah. Namun jangan sampai aksi seperti ini dikotori dengan tindakan yang tidak beretika.
Seperti yang dikatakan Ernst Cassirer, manusia adalah animal symbolicum. Ada lingkaran fungsional antara manusia dan binatang. Manusia selalu diidentikkan dengan binatang. Seseorang yang suka menjilat diidentikkan dengan anjing, orang yang serakah digambarkan seperti monyet, dan orang yang dungu disamakan dengan seekor kerbau. Tapi apakah kita mau dikatakan seperti itu? Diri anda sendiri yang bisa menjawab.
Demonstrasi tersebut akhirnya mengundang perhatian presiden SBY. Dalam Rapimnas di Istana Cipanas Cianjur Bogor yang dilaksanakan tanggal 2 Februari 2010, SBY mengungkapkan kekecewaannya atas ulah demonstran yang kurang memperhatikan norma dan etika dalam berdemonstrasi. Menurutnya para demonstran telah melakukan kreatifitas yang buruk karena menyamakan dirinya dengan seekor kerbau.
Fenomena ini sekaligus memberi gambaran betapa iklim demokrasi bangsa ini telah mengalami pergeseran paradigma. Pada zaman orde baru, tidak banyak aktifis yang berani koar-koar apalagi menyamakan presiden dengan binatang, karena pasti akan berhadapan dengan aparat keamanan. Saat ini, dimana demokrasi di junjung tinggi, rakyat dipersilahkan mengemukakan pendapat meskipun dalam bentuk yang ekstrim dan terkadang mengesampingkan aspek etika. Aksi mogok makan dan tindak kekerasan dalam demonstrasi merupakan contoh yang ekstrim. Sedangkan pemakaian simbol-simbol dalam demonstrasi seringkali dipakai untuk memberikan pencitraan terhadap pemerintah. Misalnya untuk merefleksikan keadaan hukum di Indonesia massa membawa keranda mayat sebagai simbol matinya keadilan.
Berkaitan dengan simbolisasi ini, S.I. Hayakawa dalam buku Komunikasi Antar Budaya (2005) mengemukakan bahwa proses yang dilakukan manusia secara arbitrer untuk menjadikan hal-hal tertentu mewakili hal-hal lainnya bisa disebut sebagai proses simbolik. Proses simbolik ini berkaitan dengan kesepakatan-kesepakatan dalam mengidentikkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Jadi sah-sah saja jika sekelompok orang menginterpretasikan kerbau sebagai lambang kekuatan atau malah kedunguan.
Namun masalah yang lain akan muncul manakala kerbau ini dikaitkan dengan simbol-simbol negara yang harus dihormati seperti presiden. Simbolisasi yang disajikan secara tepat akan menghasilkan interpretasi yang baik, sedangkan simbolisasi yang disajikan tanpa menghiraukan aspek etika akan menimbulkan interpretasi negatif. Orang akan melihat bahwa kerbau yang diberi nama SiBuYa (dengan S, B, dan Y besar) serta poster presiden SBY yang ditempel di muka dan belakang kerbau memang ditujukan kepada presiden SBY. Dan masalah yang muncul dari aksi ini adalah sejauhmana warga negara menghormati presidennya.
Penghormatan atau Penghinaan
Simbolisasi bisa berarti penghormatan tapi juga bisa digunakan sebagai alat untuk mendiskreditkan seseorang, tergantung pesan apa yang ingin disampaikan dan bagaimana cara menampilkan simbolisasi tersebut. Dahulu kentongan (Jawa), kulkuk (Bali), atau gulgul (Madura) dihiasi dengan kepala manusia, harimau, burung atau ikan. Kentongan yang antropomorf (simbolisasi manusia) dan zoomorf (simbolisasi binatang) dilihat sebagai penghormatan terhadap leluhur yang telah menyelamatkan dan melindungi kampung dari bala (bencana). Tapi kerbau dengan inisial SBY dan pantatnya ditempeli gambar presiden Susilo Bambang Yudoyono, dapatkah dikatakan sebagai penghormatan atau malah sebaliknya?
Mungkin bangsa ini perlu belajar untuk lebih bijak dalam menyikapi segala hal. Demonstrasi kerbau mungkin bukan tanpa sebab, tapi ada yang melatarbelakangi aksi tersebut. Ibarat sebuah keluarga, antara kepala keluarga dan anggota keluarga harus memahami tugas dan tanggung jawab masing-masing. Kepala keluarga berkewajiban memberikan perhatian dan kesejahteraan bagi keluarga, sedangkan anggota keluarga memberikan mensupport supaya kesejahteraan keluarga dapat tercapai. Jika seorang anak merasa tidak diperhatikan oleh ayahnya, maka tidak perlu melakukan tindakan yang tidak sopan misalnya dengan menggambarkan ayahnya sebagai seekor kerbau. Pun sebaliknya seorang ayah tidak perlu menunggu anaknya melakukan tindakan yang ekstrim dan tidak beretika untuk memberikan apa yang dibutuhkan anaknya.
Pemerintah dan elit politik perlu memperhatikan aspek edukatif dari aksi-aksi seperti demonstrasi kerbau ini. Bagaimanapun ini bisa menjadi pembelajaran publik yang konstruktif sekaligus destruktif. Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari kejadian ini, mulai dari politik dari politik sampai etika. Aksi demonstrasi kerbau ini merupakan bagian dari proses berdemokrasi, aksi-aksi seperti ini merupakan balancing jika terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh pemerintah. Namun jangan sampai aksi seperti ini dikotori dengan tindakan yang tidak beretika.
Seperti yang dikatakan Ernst Cassirer, manusia adalah animal symbolicum. Ada lingkaran fungsional antara manusia dan binatang. Manusia selalu diidentikkan dengan binatang. Seseorang yang suka menjilat diidentikkan dengan anjing, orang yang serakah digambarkan seperti monyet, dan orang yang dungu disamakan dengan seekor kerbau. Tapi apakah kita mau dikatakan seperti itu? Diri anda sendiri yang bisa menjawab.
Post a Comment