Jakarta - Seorang jendral bintang dua berkisah. Sewaktu menjadi komandan di kesatuan, dalam latiahan menembak ia memerintahkan anggotanya untuk memutar moncong meriam ke sudut tertentu. Namun, putaran itu ternyata tidak tepat betul karena ada selisih beberapa derajat. Semakin jauh, maka sudut selisih itu akan makin melebar. Artinya, ketika peluru ditembakan, pasti meleset jauh.
Sealinea kisah itu menandakan bahwa betapa alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI sudah benar-benar using. Contohnya, meriam M-48 kaliber 76 milimeter (mm) seberat 680 kilogram dengan jarak tembak 8.750 meter untuk artileri medan (armed) yang merupakan buatan Yugoslavia (kirini telah bubar) tahun 1958. Bahkan, meriam caliber 105 mm M101A1 seberat 2.260 kg dengan kemampuan maksimum 11.270 meter adalah buatan Amerika Serikat tahun 1940.
Di udata, sudah beberapa kali terjadi persawat TNI AU jatuh. Contoh terakhir adalah jatuhnya pesawat jenis Hawk 200 di Riau pada Oktober 2012. Sebelumnya, Juni 2012, pesawat Fokker 27 jatuh di areal perumahan di lingkungan Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta. Dengan kasus-kasus tersebut, modernisasi alutsista menjadi sangat krusial bila tak ingin menyaksikan kembali alat pertahanan negeri rontok satu persatu.
Dalam konteks tersebut, kebijakan pemerintah yang memprioritaskan kebutuhan anggaran untuk pembelian alutsista Jangka Menegah 2010-2014 senilai Rp.150 triliun rasanya tidak berlebihan. Rinciannya, realisasi percepatan kekuatan minimum dasar atau minimum essential force Rp. 50 triliun. Alokasi anggaran Rp 100 triliun berupa pinjaman dalam negeri, pengembangan teknologi industri pertahanan, pemeliharaan dan perawatan.
Di tengah kondisi yang kerap diwarnai polemik, Indonesia lebih tertarik melirik Brasil yang industri pertahanannya sedang tumbuh. Penjajakan sekaligus pembelian alutsista itulah yang dilakukan Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoedin bersama petinggi Kemhan serta Kepala Staf TNI AD Jendral Pramono Edhie Wibowo saat berkunjung ke Brasil pertengahan November lalu. Bukan saja bertemu petinggi Kemhan Brasil, degelasi Indonesia juga meninjau pabrik pesawat terbang Embraer dan pabrik roket Avibras di Sao Jose dos Campos.
Indonesia melengkapi sistem alutsistanya dengan teknologi Brasil, yaitu pesawat Super Tucanon EMB-314. Pesawat ini merupakan pesawat latih ringan yang memiliki kemampuan antigerilya, intersepsi, dan terbukti mampu menjaga wilayah perbatasan. TNI membeli 16 pesawat Super Tucano, dan delapan diantaranya telah terbang menjaga wilayah Indonesia.
Super Tucano antara lain memiliki sistem navigasi yang handal, dua senjata berat di sayap kiri dan kanan, serta bom sekelas MK 81 dan MK 82, rudal berpemandu laser sejenis Maverick. Pesawat ini menggantikan pesawat OV-10F Bronco buatan Rockwell, Amerika Serikat.
Ketika bertemu Presiden Embraer Defense and Security Luiz Carlos Aguiar di Sao Paolo, Sjafrie memastikan betul soal transfer teknologi pesawat tersebut untuk ke depannya. Hal itu untuk memberikan kepastian agar dalam perawatan pesawat itu tidak menemui kendala. Pada 2013-2014 dipastikan total 16 Super Tucano seharga 295 juta dollar AS beroperasi menjaga perbatasan.
Tak kalah penting adalah peninjauan lapangan ke pabrik roket Avibras Industria Aerospacial di San Jose dos Campos, termasuk pembicaraan langsung dengan Chief Executive Officer Avibras Sami Youssef Hassuani demi menghindari sistem perantara. Roket Astros II MK 6 (versi terbaru) yang masuk dalam agenda pembelian alutsista sistem peluncur roket jarak jauh (multilauncher rocket system/MLRS) dipastikan sudah terealisasi tahun 2013. Menurut Sami Youssef Hassuani, perjanjian transfer teknologi tentu saja akan memperkuat kerjsama pertahanan antara Indonesia dan Brasil.
Bagi Pramono, Indonesia sudah lama tidak punya satuan roket. Sesuai rencana, Indonesia membeli 36 roket Astros seharga 405 juta dollar AS untuk dua batalyon. Daya jangkau roket Astros 95 kilometer. “Tetapi, masih bisa dikembangkan sampai jarak 300 km,” kata Pramono. Sistem pertahanan RI diharapkan bisa menyamai Negara-negara tetangga. “ Saat kita mau baru beli saja, sudah ada yang mendekati tanya-tanya,” kata Pramono yang mengaku sempat ditelepon petinggi militer Negara tetangga. Tentu saja alutsista bukanlah untuk menciptakan perang, melainkan agar mampu menjaga pertahanan dan kedaulatan negeri ini.
Sumber : KOMPAS/MIK
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Post a Comment