Ads (728x90)

Latest Post

Kesehatan

Tips


Sejarah mencatat sebuah peristiwa yang dikenal sebagai ‘Hilful Fudhul.’ Suatu hari datanglah seorang pedagang Yaman menjual barang-barang ke salah seorang tokoh penting di klan Sahm, salah seorang anggota ‘Para Sekutu’ atau Ahlaf. Namun Sahm menolak membayarnya bahkan menuduhnya pencuri. Merasa dizalimi, si orang Yaman itu mengadu kepada pembesar Mekkah. Ia meminta agar mereka bersedia membantu menuntut haknya. Namun, ia datang ke tempat yang kliru. Ia juga datang pada saat yang kliru. Saat itu, jangankan penduduk asing, penduduk asli pun tidak akan mendapat keadilan bila mereka telah berhadapan dengan para penguasa. Maka, para pembesar itu pun menolak memberikan bantuan.

Merasa teraniaya dan seorang diri, dengan putus asa berlarilah si pedagang Yaman mendekati Jabal Qubaisy (gunung Qubaisy), sebuah bukit kecil di Mekkah. Ia berteriak-teriak meminta tolong kepada siapa saja yang sudi mendengar nasib malangnya. Ia menuntut haknya dan dikembalikan kehormatannya. Namun tak ada seorang pun yang peduli dengan suara putus asa itu.

“Mengapa harus susah payah menolong seorang asing yang miskin dan hina seperti itu? Bila dagangannya dirampas seharusnya ia menerima hal itu sebagai resiko sebuah perniagaan. Bukankah kita bisa untung bisa pula rugi?” Demikian pola piker sebagian besar orang-orang yang mendengar rintihan minta tolong itu.

Beruntunglah si orang asing, ada Zubair bin Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad yang berdiri dekat situ. Zubair yang juga mewarisi sifat kepemimpinan ayahnya, meskipun tidak terlalu kental, mendatangi beberapa pembesar Quraisy lainnya yang diniai masih punya rasa kepedulian. Kepada klan Taim, seorang anggota ‘Mereka Yang Harum’ atau Muthayyibun dan klan Hasyim (Abu Thalib, As’ad, dan Zubair) semua masuk ke dalam Balai Ibnu Jud’am, yaitu rumah yang biasa digunakan untuk musyawarah dan pertemuan di Mekkah. Nabi Muhammad yang juga mengetahui peristiwa itu, ikut pula masuk ke balai.

Nabi Muhammad memang membenci kezaliman. Ikut sertanya beliau dalam pertemuan itu memberi dampak psikologis yang luar biasa bagi Zubair dan beberapa pembesar lainnya. Kendati usia Nabi Muhammad lebih muda dibandingkan yang lain, namun reputasi beliau sebagai Al Amin cukuplah bagi mereka, bahkan mereka seperti menemukan unsur pembenaran dan peneguhan dalam sikap ini. Sehingga, mereka yang hadir saat itu sepakat bersatu membela si Mazlum (yang teraniaya) dan menhadapi si Zalim (yang menganiaya) apapun resikonya. Mereka bahkan mengambil sumpah setia demi menegakkan kebenaran. Sumpah setia inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan ‘Hilful Fudhul’ (Liga Para Budi Luhur) sumpah setianya para ksatria Mekkah.

Klan-klan yang bergabung dengan Muthayyibun sesungguhnya berada pada posisi yang lebih lemah dari pada klan-klan Para Sekutu, yang lebih menguasai monopoli perdagangan Mekkah dan mendesak klan lain ke pinggir Mekkah. Liga ini sedikit banyak terbentuk untuk bersama-sama memerangi monopoli, ketidakadilan ekonomi dan sosial dan saling menjaga sudut atau wilayah dagang masing-masing.

Nabi Muhammad meskipun usianya masih muda, telah berani mengambil sikap menentang kezaliman. Sebuah sikap yang bukan sok-sokan atau berlagak menjadi orang hebat. Ia paham sepenuhnya resiko yang akan dialaminya dengan sikap ini. Nyawanya menjadi taruhannya. Karena nanti akan ada perkelahian yang beliau belum bisa menduga, berapa orang yang akan mereka hadapi dalam kasus ini? Bisa satu, tiga, tujuh, bahkan bisa puluhan. Sedangkan mereka jumlahnya tak mencapai delapan. Namun ia harus mengambil sikap yang benar sebagai tanda tanda kebebasan juwa, bahwa ia adalah jiwa yang merdeka. Jiwa yang selalu ingin bebas dalam menentukan sikap dan pilihan tanpa takut pada tekanan apapun, sepanjang untuk membela kebenaran yang haq. Kendati tekanan itu maha dahsyat kekuatannya.

Secara tidak langsung Nabi Muhammad ingin mengajarkan kepada masyarakat Arab yang miskin dan teraniaya. Bahwa mereka selama ini terbelenggu oleh ketakutan. Mereka terjajah oleh kebodohan mereka sendiri. Mereka tak lebih seperti para budak yang takut akan kemarahan tuannya. Sudah saatnya mereka berani bicara soal kebenaran. Keadilan. Karena hal itu bukan monopoli para bangsawan Quraisy yang sangat semena-mena dalam memperlakukan orang miskin. Dan Nabi Muhammad, anak muda yang diberi gelar Al Amin itu telah melakukannya.

Subhanallah, betapa tinggi kecerdasan emosional Nabi Muhammad. Beliau tidak takut untuk berkata-kata dan bersikap, selama pilihannya itu benar. Apapun resikonya. Namun sikap itu tercetuskan lewat momentum yang tepat dan jitu. Inilah sifat seorang pemimpin sejati yang kelak betul-betul menjadi penolong baginya ketika tiba saatnya beliau harus mengungkapkan kebenaran dan menyiarkan Kalam Allah.

Sumber:

Abdul Hamid Judah As Sahar. Sejarah Nabi Muhammad, Periode Mekkah. Bandung: Mizan. 1997, hlm. 168

Hamim Thohari. Tumbuh Kembang Kecerdasan Nabi. Bekasi: Pustaka Inti. 2006, hlm. 148

Karen Amstrong. Muhammad Sang Nabi, Sebuah Biografi Kritis. Surabaya: Risalah Gusti. 2001, hlm. 129

Post a Comment