Pada suatu hari, Rakun, hewan yang selalu ingin tahu, mendatangi Gajah yang sedang asyik merumput. Mata Si Rakun berkerjap-kerjap takjub menyadarai dirinya begitu kerdil dibandingkan tubuh Gajah yang menjulang dan lebar. Makhluk ini mampu menggepengkan aku kalau tertimpa, kata batinnya. Tapi itu tidak membuat keingintahuannya berkurang. Ia mengerjapkan mata lagi, kali ini untuk menghalau kekhawatirannya sendiri kalau-kalau Si Gajah langsung memijaknya karena tidak suka ditanya.
“Hayy,… Siang, Tuan Gajah”, sapanya sambil berdiri di atas dua kaki belakangnya dan kedua cakar depannya saling meremas menyembunyikan cemas. “Hmmm…”, Sang Gajah menggumam sambil terus mencerabuti rumput bunga manis dengan belalainya. “Aku mau bertanya sesuatu…”, Rakun maju dua langkah memberanikan diri.
“Eeeuh, …menurut cerita, kaum gajah selalu ingat tentang apapun. Benarkah begitu ? Bagaimana bisa ? Hmmm… Apakah berarti kalian juga pendendam ?”, Rakun langsung merepet. Pertanyaan terakhir disampaikannya dengan sangat hati-hati sambil menerka-nerka tanggapan Gajah.
Betul saja, Si Gajah menghentikan suapan rumputnya lalu memandang Rakun dengan mata kecilnya yang terang dan tajam. Tentu saja pertanyaan dan sikap Rakun ini sedikit keterlaluan, tapi mengingat tabiat Rakun yang selalu penasaran, seperti pernah disebutkan oleh nenek moyangnya tentang sifat-sifat penghuni rimba, Gajah memakluminya dan berpendapat Rakun berhak tahu.
“Hei Rakun Kecil, tentu aku selalu ingat. Dengan tubuh dan kepala sebesar ini aku punya otak dan ingatan yang luas untuk menyimpan banyak pesan dan kenangan tentang banyak kejadian”, sahut Gajah dengan tenang. Rakun mengangguk-angguk tanda mengerti. Setelah mengunyah suapan berikut, Gajah melanjutkan “Mengenai pertanyaanmu yang terakhir… Aku mendengarnya”. Rakun berjengit. “Jangan kaupercayai perkataan buruk tentang makhluk lain sampai kausaksikan sendiri kebenerannya”, Gajah berpesan. “Baik Tuan Gajah…”, Rakun langsung menyanggupi.
“Nah, kau punya pertanyaan lain lagi?”, Gajah balik bertanya sambil melangkah perlahan ke arah pohon murbei hutan yang merambat. Dikutipnya serangkai arbei ranum di atas kepalanya. Lalu disodorkannya sebagian kepada Rakun, sedang sisanya dimakannya sendiri. Rakun bermata penasaran itu sigap menyambut uluran murbei dari Sang Gajah. Kemudian dia teringat hal lain yang ingin ditanyakannya sambil mengunyah buah pemberian itu.
“Tuan Gajah, benarkah kaum gajah takut kepada Tikus?” Gajah kembali memandangi Rakun dengan pandangan diam… Kemudian ia tersenyum sambil melanjutkan memetik dan mengunyah murbei. Setelah menelannya, Gajah kemudian berkata
“Ya, tentu saja… kami selalu menghindari Tikus-tikus. Mereka makhluk kecil dan lemah dibandingkan bangsa kami. Bagaimana menurutmu, apa yang terjadi jika kelompok kami melintasi ladang di mana mereka bersarang? Apa yang akan terjadi dengan bayi-bayi yang mereka sembunyikan di bawah rumpun-rumpun gelagah sambil menunggu dewasa?”
Rakun terhenyak, ia membayangkan anak-anak keluarga tikus yang masih sangat lemah, seperti juga bayi-bayi rakun yang masih menyusu. Mereka belum bisa bergerak ke mana-mana sendiri karena buta. Tiba-tiba ia merasa ngeri membayangkan kawanan gajah melintasi ladang di mana tikus-tikus bersarang. Ia jadi mengerti mengapa gajah menghindari jalur pilihannya jika ada tikus yang melintas di sana. Para Gajah itu akan mundur dan memilih jalan lain untuk mencapai tujuannya.
“Tuan, Tuan sungguh lembut hati…”, hanya itu yang bisa dikatakan Rakun dengan lirih.
“Menurutku, siapa yang lebih mampu harus melakukan sesuatu. Keluarga tikus sudah terlalu banyak beranak pinak. Tentu sulit bagi mereka memindahkan semuanya pada satu waktu. Sedangkan kaumku selalu berpindah-pindah dari musim ke musim. Kami tidak punya anak-anak yang terlalu banyak. Lebih mudah jika kami yang menghindarkan semua dari kerusakan”, demikian Sang Gajah membungkam pertanyaan Rakun.
Sesudahnya Rakun minta diri dengan takzim. Sedangkan Sang Gajah meneruskan istirahat siangnya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
gajah baik banget yah dan ternyata dia tidak takut tikus. ^_^
ReplyDelete