Ads (728x90)

Latest Post

Kesehatan

Tips


Bertualang Kekota Hantu Di Gunung Kawi



Gunung Kawi yang terletak di sebelah barat
Kota Malang di Jawa Timur selama ini
terkenal dengan mitos pesugihannya.

Makam keramat Eyang Jugo ini menjadi
tempat persinggahan para peziarah yang
datang dari berbagai kota di penjuru tanah
air.

Bahkan dari luar negeri banyak yang
berziarah dan ngalap berkah di makam ulama
yang konon merupakan pengikut Pangeran
Diponegoro tersebut.

Selama ini orang mengenal Gunung Kawi
sebagai tempat keramat yang cocok untuk
menjalankan ritual yang berhubungan dengan
masalah rezeki maupun usaha dan
perdagangan. Sehingga tak heran kalau
kebanyakan peziarah yang datang didominasi
oleh para warga keturunan.

Namun dibalik kekeramatan Gunung Kawi
sebagai tempat wisata ziarah, ternyata
terdapat hal lain yang merupakan misteri dari
keunikan Gunung Kawi seperti pengalaman
yang dialami oleh Murjiono dan teman-
temannya dari kota Surabaya.
Waktu malam Jumat Legi merupakan malam
yang menjadi puncak keramaian para
peziarah yang datang di Gunung Kawi. Para
peziarah sejak sore memadati kompleks
pemakaman Eyang Jugo nampak silih berganti
berdatangan dan berpindah tempat dari lokasi
makam kemudian ke lokasi air keramat yang
ada di belakang lokasi makam.

Kemudian para peziarah tersebut juga hilir
mudik di bawah pohon dewandaru yang
merupakan pohon keramat di lokasi tersebut.

Demikian pula halnya dengan Murjiono
dengan teman-temannya yang datang dari
Surabaya. Mereka bertiga Yudi, Haryono
serta Murjiono merupakan tiga sahabat yang
berusaha dalam jual beli computer dan spare
partnya.

Haryono dan Yudi tiap malam Jumat Legi
selalu menyempatkan diri untuk berziarah ke
Gunung Kawi. Lain dengan Murjiono,
kedatangannya ke Gunung Kawi ini
merupakan pertama kalinya.
Lain dengan kedua temannya yang memang
datang dengan niatan untuk berziarah,
Murjiono datang dengan niat untuk refresing
serta mencari hiburan. Selama ini ia selalu
mendengar tentang Gunung Kawi selain
terkenal mitos gaibnya tapi juga penuh dengan
pendatang yang kebanyakan amoi-amoi
cantik.

Ini merupakan kesempatan untuk menikmati
kehangatan Gunung Kawi begitu celotehnya
waktu diajak oleh kedua temannya untuk
berangkat.

Karena kesal menunggu kedua temannya yang
masih harus antri untuk bisa datang di depan
makam, Murjiono memutuskan untuk
menunggu di luar makam. Ia kemudian
berjalan menuju lokasi ciamsi yang terletak di
depan bekas tempat peribadatan yang pernah
terbakar.

Sifat mata keranjangnya mulai timbul
manakala melihat seorang gadis keturunan
yang sibuk melakukan ciamsi untuk
mengetahui peruntungan nasibnya.

Tanpa sadar ia pun ikut-ikutan melakukan
ciamsi.

“Nomor 13,” ucap sang pemandu waktu
melihat batang bambu Murjiono keluar.

Sang pemandu dari ritual ciamsi tersebut
kemudian memberikan kertas bertuliskan
ramalan tersebut dengan kening sedikit
berkerut.

“Hati-hati, Mas. Dan perbanyak doa agar
terhindar dari musibah,” ucapnya seraya
memberikan kertas tersebut kepada Murjiono.

Sekilas Murjiono membaca kertas ciamsi
tersebut. Waktu melihat kata-kata ramalan
tersebut mulutnya tersenyum sinis. “Ada-ada
saja.”
Kertas tulisan tersebut kemudian dibuangnya
tanpa menghiraukan pandangan prihatin dari
sang pemandu.

“Gara-gara ciamsi tadi aku kehilangan gadis
yang aku buru,”omelnya pelan. Matanya
berkeliaran mencari gadis yang dimaksud.

Tak dihiraukannya kertas ciamsi yang
bertuliskan “Hati-hati dalam melangkah.
Petaka datang membayang. Perbanyak doa
agar balak menjauh.”

Karena merasa kesal kehilangan buruannya
Murijono kemudian kembali ke kompleks
makam. Perjalanan yang jauh dari Surabaya
membuatnya merasa mengantuk.

“Aku beristirahat dulu di bawah pohon itu
saja,” ia kemudian melangkah ke arah
pendopo di samping makam tempat pohon
dewandaru berada.

“Dasar kurang pekerjaan orang-orang ini,”
gumannya waktu dilihatnya orang-orang yang
duduk di bawah pohon tersebut.

“Apa mungkin dengan kejatuhan ranting atau
daun pohon ini terus rejeki akan lancar,” ia
kembali mengomel melihat para peziarah yang
khusuk di bawah pohon tersebut.

Di Gunung Kawi ada semacam kepercayaan
mereka yang berziarah lalu bisa membawa
buah, ranting ataupun daun yang terjatuh dari
pohon peninggalan Eyang Jugo tersebut maka
keberuntungannya akan berubah.

Seperti halnya yang dialami seorang
konglomerat, yang berubah menjadi kaya
karena berhasil mendapatkan buah
dewandaru.

Dengan sinis, Murjiono menggoyang-goyang
pohon tersebut. “Lho jatuh semua daunnya,“ kata dia sambil tangannya menunjuk ke arah
daun yang berguguran karena pohon tersebut
diguncang-guncang dengan kedua tangannya.

Tiba-tiba ulahnya berhenti manakala melihat
pandangan mata marah dari mereka yang
berziarah di bawah lokasi pohon tersebut.

“Wah bisa dipukuli orang banyak aku,” kekehnya tanpa menghiraukan pandangan
marah dari mereka yang menatapnya. Ia
kemudian duduk di serambi pendopo.

Setelah berapa lama ia merasa mengantuk
dan tertidur. Dalam tidurnya tersebut, ia
merasa dibangunkan oleh seseorang.

Pundaknya diguncang-guncang. Spontan
Murjiono membuka matanya, mulutnya
tersenyum simpul waktu dilihatnya yang
memegang pundaknya tersebut adalah amoi
cantik yang ingin diajaknya kenalan waktu
ciamsi tadi.

“Bangun, Mas,” tegur gadis itu pelan.

Belum sempat Murjiono menjawab gadis tadi
menggamit tangannya. “Antarkan aku jalan-
jalan,” ucapnya lagi.

Murjiono bergegas bangkit pandangan
matanya terus tertuju pada gadis berkulit
putih dan bertubuh montok yang ada di
hadapannya.

Tanpa sadar ia mengiyakan gadis tersebut dan
kemudian mengikutinya. Mereka berjalan
menembus keramaian malam. Yang dilihatnya
sekarang adalah bangunan-bangunan megah,
entah kompleks pertokoan atau perbelanjaan
yang penuh dengan para pengunjung yang hilir
mudik.

Namun yang mengherankan semua penghuni
atau mereka yang ada, memakai pakaian
Jawa kuno. Sementara di sepanjang jalan raya
yang membentang lurus tampak mobil maupun
kendaraan dengan berbagai merk berjalan
melintas kesana kemari.

Baik pengemudi maupun mereka yang
berbelanja dan melintas memakai pakaian
tradisonal. Yang perempuan berkebaya. Ada
juga yang memakai pakaian cina kuno mirip
seperti gadis di sampingnya yang mengaku
bernama Ling Ling.

“Berada dimana aku?” bisiknya kepada gadis
tersebut .

“Di Gunung Kawi,” jawab sang gadis dengan
manjanya.

Murjiono seolah terhipnotis dengan
kecantikan gadis tersebut. Ia tidak
memikirkan hal-hal yang dirasanya aneh
tersebut. Dalam benaknya, kota yang besar
dan segala fasilitas layaknya Jakarta tersebut
memang sudah ada di Gunung Kawi.

.“Ke kafe yuk,” ajak gadis tersebut ke sebuah
tempat penuh dengan lampu warna-warni
serta suara musik yang hingar bingar.

Ia kemudian melangkah bersama Ling Ling
arah kafe yang dimaksud. Di dalam kafe
tersebut ia kemudian mengikuti gerakan Ling-
ling yang mulai bergoyang mengikuti irama
musik yang ada. Lama mereka bergoyang
sambil sesekali berpelukan.

Namun tiba-tiba terdengar suara dengusan
marah disampingnya. “Dia adalah manusia,
bukan dari golongan kita!”

Seorang berbadan tinggi besar berpakaian
prajurit dengan membawa tombak yang
terhunus kelihatan menunjuk ke arah
Murjiono. Namun Murjiono hanya diam
terpaku.

Ia baru menjerit dan melepaskan pegangan
tangannya waktu dilihatnya tubuh mulus Ling
Ling yang dipeluknya berubah menjadi
bersisik seperti kulit ikan. Matanya melotot
seperti mata ikan koki.

Namun ia kembali terdiam manakala orang
bertinggi besar yang meneriakinya tadi
menyuruh anak buah yang di belakangnya
untuk meringkus Murjiono.

Murjiono tak berkutik, manakala ia diseret
oleh ketiga orang tersebut. Jalan raya yang
tadinya penuh dengan orang-orang hilir
mudik, kini penuh dengan berbagai makhluk
yang berpenampilan aneh.

Ada yang bermata satu, ada juga yang
bertanduk. Bahkan ada perempuan berkepala
manusia tapi bertubuh kuda. Makhluk-
makhluk yang berkeliaran tersebut semakin
aneh, sebab ada yang naik mobil. Bahkan ada
berjualan di kakilima dengan fissik mereka
yang aneh.

Murjiono ketakutan melihat hal tersebut. Ia
kemudian dibawa menghadap ke arah sebuah
bangunan besar yang menyerupai istana. Lalu
ia dihadapkan kepada seseorang yang
berpakaian mirip raja, namun berbentuk aneh.

Kepalanya bertanduk dua, sementara
mulutnya penuh dengan taring runcing.

Ia kemudian diseret, setelah orang yang
dipanggil raja tersebut memutuskan hukuman.

Murjiono di bawa ke penjara. Namun ia
kembali menjerit-jerit ketakutan manakala
melihat pemandangan aneh dari penjara
tersebut.

Tampak anggota tubuh manusia yang
bergelantungan karena dipotong tangannya,
kakinya, bahkan kepalanya. Tubuh yang
terpotong-potong itu bergoyang-goyang
ketika terkena angin.

Murjiono semakin ketakutan manakala
melihat sang algojo yang berjalan
menghampirinya sambil membawa golok.

Bersiap-siap memotong-motong anggota
tubuhnya. Selanjutnya Murjiono tidak ingat
apa-apa lagi.

Tahu-tahu didengarnya suara seseorang.

“Beruntunglah ia masih bisa ditolong,” ucap
orang tua yang duduk di sampingnya.

“Dimana aku?” teriaknya waktu dilihatnya
Yudi dan Haryono tampak duduk di
sebelahnya.

Setelah berapa lama, orang tua tersebut
menerangkan kepada Murjiono bahwa tingkah
laku Murjiono yang iseng dengan
menggoyang-goyang pohon dewandaru
ternyata telah mengundang para lelembut
yang ada di kawasan Gunung Kawi merasa
terusik.

Ia kemudian terbawa ke alam mereka. Ia
dibawa jauh sampai ke puncak Gunung Kawi
yang masih berupa hutan lebat dan
merupakan pusat lelembut di Gunung Kawi.

Beruntung tubuhnya yang tergolek lemah
berhasil ditemukan pencari kayu. Dengan
bantuan orang pintar nyawa Murjiono berhasil
diselamatkan dari ancaman lelembut Gunung
Kawi.

Bertualang Kekota Hantu Di Gunung Kawi

Post a Comment