Ads (728x90)

Latest Post

Kesehatan

Tips

Bahaya Penjiplakan atau Plagiarisme Bagi Kemajuan Pendidikan - Kebobrokan intelektualitas diawali dari terpasungnya kreatifitas dan salah satu wujudnya adalah budaya penjiplakan. Fenomena penjiplakan ini semakin santer dibicarakan, baik kalangan praktisi pendidikan maupun masyarakat. Citra buruk ini, menggurita di dunia akademis, mahasiswa yang notabene adalah seorang penerus bangsa dan mampu menjadi contoh. Namun, sebaliknya mereka melanggar kode etik moral yang tertanam sejak dini.

Bahaya Penjiplakan atau Plagiarisme Bagi Kemajuan Pendidikan

Di tengarai kesalahan sistem berupa kurangnya ketegasan, pengawasan dan ketidak tanggapan dari pihak kampus menjadi faktor timbulnya budaya jiplak di kalangan akademisi. Dan nampaknya peribahasa “guru kencing berdiri, murid kencing berlari” bisa menggambarkan betapa runyamnya dunia pendidikian. Bagaimana tidak? Dosen saja jiplak, apalagi mahasiswanya?

Secara tidak langsung penjiplakan menjadi salah satu penghambat pengembangan akademik. Sadar atau tidak penjiplakan berorientasi pada kemandegan bahkan kemerosotan intelektualitas mahasiswa dan juga minimnya karya fenomenal dari anak bangsa.

Kenyataan membuktikan betapa karya ilmiah yang dijadikan sebagai titik tolak kemajuan ilmu pengetahuan tidak memperoleh tempat baik. Hal ini berbanding terbalik dengan harapan masyarakat yang menuntut produk mumpuni, namun pada kenyataannya para pelaku pendidikan terkadang tidak bisa menyediakan produk ilmu pengetahuan sebagaimana permintaan pasar.

Bagaimana rupa dunia pendidikan di masa depan tanpa pengawalan terhadap perilaku-perilaku yang melanggar norma dan tata aturan?

Hal ini bisa disiasati dengan menggalakkan tiga tradisi yakni dengan mentradisikan membuka ruang diskusi publik guna mengembangkan wacana, membiasakan menulis bisa melepaskan gagasan dan yang paling penting adalah giat membaca buku. Dengan demikian, jika ketiga instrument ini jika diejawantahkan maka intellectual movement (gerakan intelektual) akan semakin bermuara.

Namun, bukan berarti penjiplakan tidak bisa tumbuh lagi. Layaknya penyakit pasti ada antibiotiknya, begitu juga dengan epidemi penjiplakan. Apa solusinya? Pada fase awal bisa disosialisasikan UU No 19 Tahun 2002 tentang hak cipta agar pegiat akademik tidak buta aturan dan regulasi ini tidak muspro (tidak guna), hal inipun perlu diimbangi dengan sanksi tegas terhadap pelanggar dengan skorsing atau DO guna menekan tingkat penjiplakan. Fase kedua dengan binaan mental guna mengkonstruksi kembali rasa percaya diri, karena di indikasikan kemerbakan penjiplakan didasari oleh terkikisnya rasa percaya diri terhadap kompetensi pribadi. Dan fase ketiga adalah membentuk tim independent yang bertugas mengawasi dan mengevaluasi karya secara intens.

Post a Comment