I WISH...
Karya Justinus Ristoadi
Kesedihan adalah suatu saat di mana seseorang mendapati dirinya menangis di tengah-tengah kegembiraan, terdiam di tengah-tengah gegap gempita, dan mendapati dirinya seorang diri, terpuruk, dan hanya bisa tersenyum dengan senyum palsu.
Aku melihat bagimana orang lain mentertawakan, mencemooh, dan tak jarang juga yang menghina dengan kata-kata yang tak pantas diucapkan, tanpa mampu berbuat apa-apa. Aku terdiam seribu kata, bukan karena aku tak berani melawan mereka, aku hanya tak punya kata-kata untuk membalas ucapan mereka. Ucapannya begitu tajam hingga akupun tak bisa mengelak. Sekali lagi, aku hanya bisa mengasihani diriku, mengasihani kebodohanku, aku adalah seorang yang tak berarti apa-apa, aku adalah seorang yang kamu lirikpun aku tak layak. Aku memang adalah seorang yang pantas kau sebut pecundang.
***
I Wish.. |
“Hai?! Hari ini kamu terlihat murung, apa ada masalah?” sapa seseorang yang kemudian duduk ber-dekatan denganku. Aku melihat senyumnya hari ini sungguh indah. Entah bagaimana aku menulisnya dalam kata-kata, atau pun melukiskannya di atas kanvas. Aku mengaguminya. Sungguh!
Bella―yang sekarang menjadi lawan bicaraku. Nama itu akan dan selalu membekas di benakku, betapa tidak, sampai saat ini pun aku masih membayangkannya.
“Apakah aku terlihat murung saat ini, Bel?” kutatapnya lekat, kemudian mencoba menunjukkan senyum palsuku, senyum yang selalu aku tunjukkan untuk menutupi semua kesedihan dalam diriku.
Ia tersenyum, memamerkan lesung pipinya, me-mamerkan senyumnya yang indah itu lagi, hatiku semakin bergetar, bergejolak, menikmati keindahan senyumannya adalah suatu keberuntungan bagiku.
“Hei, apa kau bisa memperlihatkan senyum selain senyum seperti itu?! Aku benar-benar tak tertarik dengan senyummu,” ia kembali menatapku dengan cemberut lalu berganti dengan senyuman yang tersungging manis di pipinya.
“Sebenarnya aku tak berniat untuk se” belum sempat aku untuk melanjutkan kata-kataku, ia me-nempelkan jari telunjuk di bibirnya.
“Kamu memang masih seperti anak kecil, ya? Sudahlah, aku tak mau mendengarkan alasan-alasanmu itu, jadi mulai sekarang, belajar menjadi dirimu sendiri dan mulailah percaya pada hatimu saat ini,” ujarnya.
“Percaya pada hatiku, ya?” ucapku lirih.
Ia mengangguk pelan, lalu tersenyum. Aku hanya bisa menatapnya dengan pandangan tak pasti.
“Jujur, aku sangat tak ingin melihatmu terpuruk seperti ini, aku ingin kamu bangkit, bangkit dan berdiri tegak dengan kedua kakimu, dan melangkah pasti menuju apa yang selalu kamu impikan.”
Aku hanya memandangi wajahnya tanpa berkata, ia pun juga melakukan hal yang sama, pandagan kami beradu. Tak ada lagi kata yang terucap.
Aku beranjak dari situ, “Uhh, oke! Mari kita lihat seberapa hebatnya seorang Jonathan, apa dia bisa menaklukkan ini?!”
“Hahaha, ada-ada saja,” Bella terdiam sejenak, “Bagaimana dengan nilaimu di kelas? Tak terasa sebentar lagi kita akan lulus, ya?” lanjutnya.
Aku tertawa simpul, “Umm, ya begitulah, semuanya terasa begitu sangat cepat. Ayo, kita masuk, lima menit lagi kelas akan dimulai!”
Bella berjalan mendahuluiku, kelasnya cukup berjauhan dari tempat kami duduk tadi, alhasil ia berjalan dengan langkah yang cukup terburu-buru. Aku masih ingin melihat senyumnya. Tanpa sengaja, aku memanggilnya. Ia menghentikan langkahnya, lalu menoleh. “Ada apa, Jo?”
Aku berlari mendekatinya, “Umm, Bel…” aku terdiam sejenak.
“Ada apa, bicara yang jelas, dong?”
“Umm… Aku… Aku”
“Aku? Aku apa?” tanyanya penasaran.
Aku hanya bisa menggaruk kepalaku yang tak terasa gatal. “Umm… Apa aku bisa pinjam sebuah bolpen?”
Bella mendengus pelan. Lalu mengaduk-aduk isi tasnya. “Huh! Ini, ambil saja, hanya untuk sebuah bolpen ini saja kamu terbata-bata, apalagi untuk menyatakan cinta?”
“Uhh, terima kasih.” jawabku salah tingkah.
***
Aku duduk santai di jok Jeep-ku, memandangi layar ponsel yang sejak tadi kupegang. Akhirnya kuputuskan untuk menulis sebuah pesan singkat.
To : Bella
Aku antar pulang, mau?
Sent!
Selang beberapa menit, sebuah pesan masuk.
From : Bella
Boleh, aku tunggu di dpn
gerbang,y.
Tanpa pikir panjang, aku bergegas tancap gas keluar parkiran. Terlihat olehku Bella yang menunggu ke-panasan di luar, tangan mungilnya tak henti-henti mengusap peluh yang menetes.
Dalam perjalanan, kami hanyadiam seribu bahasa. Terdiam oleh pikran kami masing-masing, akupun bingung harus memulai pembicaraan seperti apa. Karena tak betah dengan suasana seperti ini, akhirnya aku mulai membuka sedikit percakapan.
“Akhir-akhir kamu terlihat mesra dengan yang namanya Dion itu, Bel? Sudah ada yang spesial, ya?” gurauku.
Bella tertawa kecil. “Apa seperti itu, ya, yang kamu lihat? Ahh, biasa saja, menurutku,”
“Mungkin menurutmu itu hal biasa, tapi bisa saja berbeda dengan pendapat orang lain,” aku menoleh sebentar ke arahnya.
Alisnya mengerut, “Apa pendapatmu juga termasuk, Jo?”
Aku mengertukan dahi, “Umm, bisa jadi, kan?”
Bella menarik napas pelan kemudian membuang pandangan keluar jendela. “Aku hanya berteman baik dengannya. Tak ada hubungan khusus di antara kami, kok. Kamu cemburu, ya?”
Senyumanku terasa getir. “Uhh, memang apa hubungannya denganku? Mengapa kamu bisa me-nyimpulkan kalau aku cemburu?”
Bella terdiam, lalu memaksakan untuk tersenyum. Aku sangat sadar, senyuman itu bukan senyuman yang biasa ia perlihatkan padaku. Senyumannya terasa kaku.
Tak terasa mobilku sampai juga di depan pagar rumahnya. Bella beranjak keluar mobil, lalu masuk ke dalam rumah. Ia pergi tanpa mengucap sepatah kata apapun padaku.
Kuhembuskan napas perlahan yang kurasa semakin berat. Ada apa sebenarnya dengan perempuan itu?, batinku. Tanpa menunggu lama, aku tancap gas dan kembali ke rumah kos-ku.
***
Jam di dinding kamar kos-ku sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari, dan parahnya aku tak kunjung juga untuk terlelap. Pikiranku melayang memikirkan apa yang kulakukan pada Bella, sehingga perempuan itu melengos siang tadi. Arrrggghh!!! Aku hanya bisa meremas rambutku sendiri. Dan sakit yang kurasakan. Ponsel yang sejak tadi diam tanpa suara dan tergeletak di sudut meja kini sudah berada di genggamanku. Beberapa deret kata tersusun rapi di layar ponsel.
To : Bella
Ada apa denganmu tadi? Apa ada yg
salah denganku?
Sent!
Aku tak mengharapkan jawabannya dan aku yakin ia takkan membalas pesan itu sekarang. Pastinya ia sedang terlelap bersama mimpinya, mimpi bermesraan dengan laki-laki yang bernama Dion itu. Jujur. Aku cemburu dengan kedekatan mereka. Entah mengapa, aku sendiri pun tak tahu. Ponsel-ku bergetar, ada satu pesan masuk.
From : Bella
Tidak. Kesalahan km satu2nya
adlh km tak bs memahami keadaan.
Sungguh pesan balasan yang singkat, padat dan membingungkan. Berulang-ulang kali aku membacanya, tapi tak ada satupun kata yang bisa aku cerna dan aku terjemahkan kedalam otakku. Saat ini, hanya Bella dan Bella yang memenuhi isi otakku, diperparah lagi dengan isi pesan itu. Alhasil, malam ini aku kurang tidur.
Kumatikan ponsel, lalu kubanting dengan kasar ke tempat tidur. Apanya yang salah? Apanya yang tak bisa memahami keadaan? Hah?!, teriakku kesal.
“Woy!! Ada masalah, kau, Jo?! Kenapa harus pakai teriak-teriak segala? Kau pikir ini kebun binatang, seenaknya saja kau berteriak-teriak!” maki teman kos yang merasa terganggu dengan teriakanku.
“Bukan urusanmu. Lebih baik, kau lanjutkan tidurmu itu.” ucapku sinis.
Ia hanya melengos, lalu pergi dari kamarku. Huh, menganggu saja!, gumamku kesal.
Kubaringkan tubuh ini agar bisa sedikit rileks. Sepertinya kantuk sudah mulai menjalar, dan aku mencoba untuk mencari posisi tidur yang enak. Saat subuh menjelang, aku baru bisa terlelap.
***
Keesokan harinya, aku terlambat. Yah, efek dari tak bisa tidur semalam. Setengah jam setelah bel berbunyi tadi, kantuk sudah mulai menyerangku. Mataku mulai terasa berat dan ditambah banyak menguap, sampai beberapa kali aku ditegur oleh guru―yang saat ini tak kuhiraukan celotehannya. Ahh, memang pelajar itu tak pantas untuk sering-sering begadang. Ya, inilah akibatnya.
Waktu senggang pada jam istirahat seperti ini, biasanya aku gunakan untuk membaca Sastra Klasik di taman sekolah, tepatnya di bawah pohon rindang yang ada di pusat taman. Seperti yang kulakukan saat ini. Halaman demi halaman kubaca dengan santai. Tanpa aku sadari, seseorang duduk berdekatan denganku, reflek aku mendongak dan sedikit terkejut, ternyata Bella sudah duduk manis di sampingku.
“Apa itu yang kamu baca? Sepertinya menarik, Jo?” ucapnya sambil sekali-kali melirik buku yang sedang kupegang.
Aku menoleh ke arahnya, meninggalkan sejenak bacaan yang hampir selesai aku baca. Beruntungnya aku, karena tiba-tiba saja terlintas untuk membaca sebuah kutipan menarik yang berasal dari buku itu dan sangat cocok menggambarkan Bella saat ini.
“Kadang-kadang seseorang yang sangat kau sayangi membuatmu kecewa, tetapi ia melakukannya karena mereka tak tahu bahwa apa yang ia lakukan itu mem-buatmu kecewa,” jawabku seraya tersenyum getir.
“Huh, kalimat macam apa itu?” balasnya sinis.
“Aku hanya mengutipnya, kalau kamu mau protes, jangan protes padaku, tapi proteslah dengan yang mengarang buku ini.” Aku kembali fokus dengan apa yang kubaca. Bella tampak kesal. Raut wajahnya berubah drastis, dan itu terlihat oleh ekor mataku. Aku hanya tersenyum dalam hati. Biarlah kamu belajar untuk menjadi seorang yang dewasa, batinku.
“Maumu, apa, Jo?!” teriak Bella tiba-tiba. Cukup membuatku tercengang rupanya.
“Apa maksudmu, bicaralah pelan-pelan, be calm down, please?” ujarku agak pelan.
PLAAAKKK!!!
Aku benar-benar terperanggah. Tanpa segan-segan Bella menamparku, mendaratkan tangannya dengan keras tepat ke pipiku. Aku memegangi pipiku yang sedikit berdenyut.
“Ada apa denganmu? Mengapa kau menjadi sangat arogan seperti ini? Kau tak bisa mengontrol emosimu? Akhir-akhir ini kamu berbeda,” ucapku dengan nada menggantung, kulihat dia masih bergeming, dan tak ada tanda-tanda bahwa ia akan meninggalkan tempatnya berdiri.
“Bel, kenapa hanya dengan kata-kata itu kamu marah? Kemarahanmu sangat tidak logis. Ini hanya sebuah buku, sebuah karangan fiktif orang Indonesia.” Kucoba untuk melunak, tapi…
BRUUUKKK!!!
Bella dengan sengaja dan emosi langsung meraih dan membuang buku yang aku pegang ke tanah.
“Terserah!! Aku takkan peduli denganmu ataupun dengan buku bodohmu itu!!” umpatnya keras. Kemudian ia berlalu.
Aku hanya bisa meratapi kepergiannya, sampai akhirnya hilang di belokkan koridor. Kuhembuskan napas perlahan, lalu memungut buku itu. Kotor, dan cukup banyak halaman yang lepas dari jilidnya. Setelah selesai dengan urusanku di tempat itu, aku beranjak dan kembali ke kelas.
Yang tak kuketahui, Bella diam-diam menangis, menangis karena menyesal telah melakukan apa yang seharusnya tak ia lakukan.
Aku bejalan gontai menuju kelas. Beberapa menit lagi kelas akan dimulai. Masih terbayang di benakku bagaimana Bella menamparku. Apa salahku? Apa aku salah bicara?, rutukku.
Aku melawati sisa-sisa waktu pelajaran dengan sedikit tidak konsentrasi. Entah mengapa pikiranku jauh menerawang ke arah Bella. Sepertinya bayangannya tak mau lepas dari benakku. Tanpa sadar, kelas pun berakhir.
Dengan langkah berat, aku menuju tempat mobilku terparkir. Terlihat olehku, Bella sudah bersandar di pintu mobil, ditambah dengan wajah yang masam semasam buah jeruk nipis yang belum matang. Aku muak melihat raut wajah seperti itu. Sesegera mungkin aku menghampirinya.
“Ada apa? Mau ku antar pulang?” tawarku agak ramah.
“Aku hanya ingin minta maaf, atas apa yang telah aku lakukan padamu tadi,” ucapnya lirih, hampir tak terdengar.
“Ummm, aku belum dengar. Bisa diulangi?” pintaku dengan senyum jahil. Sebenarnya aku tak mempersoalkan kejadian tadi, hanya merasa heran dengan apa yang ia lakukan. Sungguh sangat sulit untuk menebak perasaannya.
Bella cemberut, lalu sontak mencubit lenganku. “Bodoh! Telingamu kau taruh di mana? Apa sudah kamu masak bersama sup tadi pagi?”
Aku tertawa, lalu kami kembali terdiam. Sekali lagi, perempuan itu memang sulit untuk dimengerti.
“Bel?” aku mencoba membuka pembicaraan lagi.
“Iya?” jawabnya, tapi pandangan matanya tertuju ke arah lain.
“Apa yang membuat kamu menamparku tadi? Sampai sekarang pun rasa sakitnya masih membekas,” dengan nada memelas, berharap bisa sedikit mencairkan suasana.
“Ha? Kamu tunggu di sini dulu sebentar, oke? Sepertinya Dion memanggilku. Atau kalau kamu mau pulang lebih dulu, aku tidak masalah, kok. Nanti biar aku sekalian dengan Dion. Daah, Jo!” ucapnya terburu-buru.
Mataku mengikuti kemana ia pergi. Aku juga melihat Dion melambaikan tangannya ke arah Bella. Aku baru sadar, sejak tadi ternyata Bella memperhatikan Dion, ia sama sekali tak mengubrisku yang sejak tadi bicara dengannya. Sial!
Aku segera masuk ke dalam Jeep-ku, kemudian dengan cepat berlalu dari tempat itu. Sebenarnya, aku semakin muak dengan kedekatan mereka berdua. Kuraih ponsel-ku yang ada di dashboard, lalu mengetik sebuah pesan singkat.
To : Bella
Aku pulang.
Sent!
Ku kembalikan ponsel itu ke tempat semula. Tanpa sadar, aku mengingat kembali kenangan bersama Bella dulu, kenangan di mana kami menjalin suatu hubungan khusus. Hubungan di mana kami bisa saling mengenal diri kami masing-masing secara lebih dekat. Hari-hari kami lalui dengan segudang canda dan tawa, namun juga segudang duka dan lara. Aku tersenyum sendiri mengingat semua kenangan indah itu.
Tapi, semua harus berhenti hanya karena suatu kesalahan kecilku, yang sampai saat ini pun aku tak tahu. Ya, hubungan kami berakhir di tengah jalan. Sebenarnya, aku masih memiliki rasa kepadanya, entah rasa peduli, rasa sayang, ataupun rasa yang lain, aku sendiri pun tak tahu akan hal itu. Aku masih belum bisa menerjemahkan apa yang saat ini aku rasakan padanya. Tapi, jujur! Aku sangat mengharapkannya kembali, dan sayangnya, aku tak bagaimana harus mengungkapkan itu semua padanya. Sial!
Bella―yang sekarang menjadi lawan bicaraku. Nama itu akan dan selalu membekas di benakku, betapa tidak, sampai saat ini pun aku masih membayangkannya.
“Apakah aku terlihat murung saat ini, Bel?” kutatapnya lekat, kemudian mencoba menunjukkan senyum palsuku, senyum yang selalu aku tunjukkan untuk menutupi semua kesedihan dalam diriku.
Ia tersenyum, memamerkan lesung pipinya, me-mamerkan senyumnya yang indah itu lagi, hatiku semakin bergetar, bergejolak, menikmati keindahan senyumannya adalah suatu keberuntungan bagiku.
“Hei, apa kau bisa memperlihatkan senyum selain senyum seperti itu?! Aku benar-benar tak tertarik dengan senyummu,” ia kembali menatapku dengan cemberut lalu berganti dengan senyuman yang tersungging manis di pipinya.
“Sebenarnya aku tak berniat untuk se” belum sempat aku untuk melanjutkan kata-kataku, ia me-nempelkan jari telunjuk di bibirnya.
“Kamu memang masih seperti anak kecil, ya? Sudahlah, aku tak mau mendengarkan alasan-alasanmu itu, jadi mulai sekarang, belajar menjadi dirimu sendiri dan mulailah percaya pada hatimu saat ini,” ujarnya.
“Percaya pada hatiku, ya?” ucapku lirih.
Ia mengangguk pelan, lalu tersenyum. Aku hanya bisa menatapnya dengan pandangan tak pasti.
“Jujur, aku sangat tak ingin melihatmu terpuruk seperti ini, aku ingin kamu bangkit, bangkit dan berdiri tegak dengan kedua kakimu, dan melangkah pasti menuju apa yang selalu kamu impikan.”
Aku hanya memandangi wajahnya tanpa berkata, ia pun juga melakukan hal yang sama, pandagan kami beradu. Tak ada lagi kata yang terucap.
Aku beranjak dari situ, “Uhh, oke! Mari kita lihat seberapa hebatnya seorang Jonathan, apa dia bisa menaklukkan ini?!”
“Hahaha, ada-ada saja,” Bella terdiam sejenak, “Bagaimana dengan nilaimu di kelas? Tak terasa sebentar lagi kita akan lulus, ya?” lanjutnya.
Aku tertawa simpul, “Umm, ya begitulah, semuanya terasa begitu sangat cepat. Ayo, kita masuk, lima menit lagi kelas akan dimulai!”
Bella berjalan mendahuluiku, kelasnya cukup berjauhan dari tempat kami duduk tadi, alhasil ia berjalan dengan langkah yang cukup terburu-buru. Aku masih ingin melihat senyumnya. Tanpa sengaja, aku memanggilnya. Ia menghentikan langkahnya, lalu menoleh. “Ada apa, Jo?”
Aku berlari mendekatinya, “Umm, Bel…” aku terdiam sejenak.
“Ada apa, bicara yang jelas, dong?”
“Umm… Aku… Aku”
“Aku? Aku apa?” tanyanya penasaran.
Aku hanya bisa menggaruk kepalaku yang tak terasa gatal. “Umm… Apa aku bisa pinjam sebuah bolpen?”
Bella mendengus pelan. Lalu mengaduk-aduk isi tasnya. “Huh! Ini, ambil saja, hanya untuk sebuah bolpen ini saja kamu terbata-bata, apalagi untuk menyatakan cinta?”
“Uhh, terima kasih.” jawabku salah tingkah.
***
Aku duduk santai di jok Jeep-ku, memandangi layar ponsel yang sejak tadi kupegang. Akhirnya kuputuskan untuk menulis sebuah pesan singkat.
To : Bella
Aku antar pulang, mau?
Sent!
Selang beberapa menit, sebuah pesan masuk.
From : Bella
Boleh, aku tunggu di dpn
gerbang,y.
Tanpa pikir panjang, aku bergegas tancap gas keluar parkiran. Terlihat olehku Bella yang menunggu ke-panasan di luar, tangan mungilnya tak henti-henti mengusap peluh yang menetes.
Dalam perjalanan, kami hanyadiam seribu bahasa. Terdiam oleh pikran kami masing-masing, akupun bingung harus memulai pembicaraan seperti apa. Karena tak betah dengan suasana seperti ini, akhirnya aku mulai membuka sedikit percakapan.
“Akhir-akhir kamu terlihat mesra dengan yang namanya Dion itu, Bel? Sudah ada yang spesial, ya?” gurauku.
Bella tertawa kecil. “Apa seperti itu, ya, yang kamu lihat? Ahh, biasa saja, menurutku,”
“Mungkin menurutmu itu hal biasa, tapi bisa saja berbeda dengan pendapat orang lain,” aku menoleh sebentar ke arahnya.
Alisnya mengerut, “Apa pendapatmu juga termasuk, Jo?”
Aku mengertukan dahi, “Umm, bisa jadi, kan?”
Bella menarik napas pelan kemudian membuang pandangan keluar jendela. “Aku hanya berteman baik dengannya. Tak ada hubungan khusus di antara kami, kok. Kamu cemburu, ya?”
Senyumanku terasa getir. “Uhh, memang apa hubungannya denganku? Mengapa kamu bisa me-nyimpulkan kalau aku cemburu?”
Bella terdiam, lalu memaksakan untuk tersenyum. Aku sangat sadar, senyuman itu bukan senyuman yang biasa ia perlihatkan padaku. Senyumannya terasa kaku.
Tak terasa mobilku sampai juga di depan pagar rumahnya. Bella beranjak keluar mobil, lalu masuk ke dalam rumah. Ia pergi tanpa mengucap sepatah kata apapun padaku.
Kuhembuskan napas perlahan yang kurasa semakin berat. Ada apa sebenarnya dengan perempuan itu?, batinku. Tanpa menunggu lama, aku tancap gas dan kembali ke rumah kos-ku.
***
Jam di dinding kamar kos-ku sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari, dan parahnya aku tak kunjung juga untuk terlelap. Pikiranku melayang memikirkan apa yang kulakukan pada Bella, sehingga perempuan itu melengos siang tadi. Arrrggghh!!! Aku hanya bisa meremas rambutku sendiri. Dan sakit yang kurasakan. Ponsel yang sejak tadi diam tanpa suara dan tergeletak di sudut meja kini sudah berada di genggamanku. Beberapa deret kata tersusun rapi di layar ponsel.
To : Bella
Ada apa denganmu tadi? Apa ada yg
salah denganku?
Sent!
Aku tak mengharapkan jawabannya dan aku yakin ia takkan membalas pesan itu sekarang. Pastinya ia sedang terlelap bersama mimpinya, mimpi bermesraan dengan laki-laki yang bernama Dion itu. Jujur. Aku cemburu dengan kedekatan mereka. Entah mengapa, aku sendiri pun tak tahu. Ponsel-ku bergetar, ada satu pesan masuk.
From : Bella
Tidak. Kesalahan km satu2nya
adlh km tak bs memahami keadaan.
Sungguh pesan balasan yang singkat, padat dan membingungkan. Berulang-ulang kali aku membacanya, tapi tak ada satupun kata yang bisa aku cerna dan aku terjemahkan kedalam otakku. Saat ini, hanya Bella dan Bella yang memenuhi isi otakku, diperparah lagi dengan isi pesan itu. Alhasil, malam ini aku kurang tidur.
Kumatikan ponsel, lalu kubanting dengan kasar ke tempat tidur. Apanya yang salah? Apanya yang tak bisa memahami keadaan? Hah?!, teriakku kesal.
“Woy!! Ada masalah, kau, Jo?! Kenapa harus pakai teriak-teriak segala? Kau pikir ini kebun binatang, seenaknya saja kau berteriak-teriak!” maki teman kos yang merasa terganggu dengan teriakanku.
“Bukan urusanmu. Lebih baik, kau lanjutkan tidurmu itu.” ucapku sinis.
Ia hanya melengos, lalu pergi dari kamarku. Huh, menganggu saja!, gumamku kesal.
Kubaringkan tubuh ini agar bisa sedikit rileks. Sepertinya kantuk sudah mulai menjalar, dan aku mencoba untuk mencari posisi tidur yang enak. Saat subuh menjelang, aku baru bisa terlelap.
***
Keesokan harinya, aku terlambat. Yah, efek dari tak bisa tidur semalam. Setengah jam setelah bel berbunyi tadi, kantuk sudah mulai menyerangku. Mataku mulai terasa berat dan ditambah banyak menguap, sampai beberapa kali aku ditegur oleh guru―yang saat ini tak kuhiraukan celotehannya. Ahh, memang pelajar itu tak pantas untuk sering-sering begadang. Ya, inilah akibatnya.
Waktu senggang pada jam istirahat seperti ini, biasanya aku gunakan untuk membaca Sastra Klasik di taman sekolah, tepatnya di bawah pohon rindang yang ada di pusat taman. Seperti yang kulakukan saat ini. Halaman demi halaman kubaca dengan santai. Tanpa aku sadari, seseorang duduk berdekatan denganku, reflek aku mendongak dan sedikit terkejut, ternyata Bella sudah duduk manis di sampingku.
“Apa itu yang kamu baca? Sepertinya menarik, Jo?” ucapnya sambil sekali-kali melirik buku yang sedang kupegang.
Aku menoleh ke arahnya, meninggalkan sejenak bacaan yang hampir selesai aku baca. Beruntungnya aku, karena tiba-tiba saja terlintas untuk membaca sebuah kutipan menarik yang berasal dari buku itu dan sangat cocok menggambarkan Bella saat ini.
“Kadang-kadang seseorang yang sangat kau sayangi membuatmu kecewa, tetapi ia melakukannya karena mereka tak tahu bahwa apa yang ia lakukan itu mem-buatmu kecewa,” jawabku seraya tersenyum getir.
“Huh, kalimat macam apa itu?” balasnya sinis.
“Aku hanya mengutipnya, kalau kamu mau protes, jangan protes padaku, tapi proteslah dengan yang mengarang buku ini.” Aku kembali fokus dengan apa yang kubaca. Bella tampak kesal. Raut wajahnya berubah drastis, dan itu terlihat oleh ekor mataku. Aku hanya tersenyum dalam hati. Biarlah kamu belajar untuk menjadi seorang yang dewasa, batinku.
“Maumu, apa, Jo?!” teriak Bella tiba-tiba. Cukup membuatku tercengang rupanya.
“Apa maksudmu, bicaralah pelan-pelan, be calm down, please?” ujarku agak pelan.
PLAAAKKK!!!
Aku benar-benar terperanggah. Tanpa segan-segan Bella menamparku, mendaratkan tangannya dengan keras tepat ke pipiku. Aku memegangi pipiku yang sedikit berdenyut.
“Ada apa denganmu? Mengapa kau menjadi sangat arogan seperti ini? Kau tak bisa mengontrol emosimu? Akhir-akhir ini kamu berbeda,” ucapku dengan nada menggantung, kulihat dia masih bergeming, dan tak ada tanda-tanda bahwa ia akan meninggalkan tempatnya berdiri.
“Bel, kenapa hanya dengan kata-kata itu kamu marah? Kemarahanmu sangat tidak logis. Ini hanya sebuah buku, sebuah karangan fiktif orang Indonesia.” Kucoba untuk melunak, tapi…
BRUUUKKK!!!
Bella dengan sengaja dan emosi langsung meraih dan membuang buku yang aku pegang ke tanah.
“Terserah!! Aku takkan peduli denganmu ataupun dengan buku bodohmu itu!!” umpatnya keras. Kemudian ia berlalu.
Aku hanya bisa meratapi kepergiannya, sampai akhirnya hilang di belokkan koridor. Kuhembuskan napas perlahan, lalu memungut buku itu. Kotor, dan cukup banyak halaman yang lepas dari jilidnya. Setelah selesai dengan urusanku di tempat itu, aku beranjak dan kembali ke kelas.
Yang tak kuketahui, Bella diam-diam menangis, menangis karena menyesal telah melakukan apa yang seharusnya tak ia lakukan.
Aku bejalan gontai menuju kelas. Beberapa menit lagi kelas akan dimulai. Masih terbayang di benakku bagaimana Bella menamparku. Apa salahku? Apa aku salah bicara?, rutukku.
Aku melawati sisa-sisa waktu pelajaran dengan sedikit tidak konsentrasi. Entah mengapa pikiranku jauh menerawang ke arah Bella. Sepertinya bayangannya tak mau lepas dari benakku. Tanpa sadar, kelas pun berakhir.
Dengan langkah berat, aku menuju tempat mobilku terparkir. Terlihat olehku, Bella sudah bersandar di pintu mobil, ditambah dengan wajah yang masam semasam buah jeruk nipis yang belum matang. Aku muak melihat raut wajah seperti itu. Sesegera mungkin aku menghampirinya.
“Ada apa? Mau ku antar pulang?” tawarku agak ramah.
“Aku hanya ingin minta maaf, atas apa yang telah aku lakukan padamu tadi,” ucapnya lirih, hampir tak terdengar.
“Ummm, aku belum dengar. Bisa diulangi?” pintaku dengan senyum jahil. Sebenarnya aku tak mempersoalkan kejadian tadi, hanya merasa heran dengan apa yang ia lakukan. Sungguh sangat sulit untuk menebak perasaannya.
Bella cemberut, lalu sontak mencubit lenganku. “Bodoh! Telingamu kau taruh di mana? Apa sudah kamu masak bersama sup tadi pagi?”
Aku tertawa, lalu kami kembali terdiam. Sekali lagi, perempuan itu memang sulit untuk dimengerti.
“Bel?” aku mencoba membuka pembicaraan lagi.
“Iya?” jawabnya, tapi pandangan matanya tertuju ke arah lain.
“Apa yang membuat kamu menamparku tadi? Sampai sekarang pun rasa sakitnya masih membekas,” dengan nada memelas, berharap bisa sedikit mencairkan suasana.
“Ha? Kamu tunggu di sini dulu sebentar, oke? Sepertinya Dion memanggilku. Atau kalau kamu mau pulang lebih dulu, aku tidak masalah, kok. Nanti biar aku sekalian dengan Dion. Daah, Jo!” ucapnya terburu-buru.
Mataku mengikuti kemana ia pergi. Aku juga melihat Dion melambaikan tangannya ke arah Bella. Aku baru sadar, sejak tadi ternyata Bella memperhatikan Dion, ia sama sekali tak mengubrisku yang sejak tadi bicara dengannya. Sial!
Aku segera masuk ke dalam Jeep-ku, kemudian dengan cepat berlalu dari tempat itu. Sebenarnya, aku semakin muak dengan kedekatan mereka berdua. Kuraih ponsel-ku yang ada di dashboard, lalu mengetik sebuah pesan singkat.
To : Bella
Aku pulang.
Sent!
Ku kembalikan ponsel itu ke tempat semula. Tanpa sadar, aku mengingat kembali kenangan bersama Bella dulu, kenangan di mana kami menjalin suatu hubungan khusus. Hubungan di mana kami bisa saling mengenal diri kami masing-masing secara lebih dekat. Hari-hari kami lalui dengan segudang canda dan tawa, namun juga segudang duka dan lara. Aku tersenyum sendiri mengingat semua kenangan indah itu.
Tapi, semua harus berhenti hanya karena suatu kesalahan kecilku, yang sampai saat ini pun aku tak tahu. Ya, hubungan kami berakhir di tengah jalan. Sebenarnya, aku masih memiliki rasa kepadanya, entah rasa peduli, rasa sayang, ataupun rasa yang lain, aku sendiri pun tak tahu akan hal itu. Aku masih belum bisa menerjemahkan apa yang saat ini aku rasakan padanya. Tapi, jujur! Aku sangat mengharapkannya kembali, dan sayangnya, aku tak bagaimana harus mengungkapkan itu semua padanya. Sial!
Melihat kedekatannya pada Dion, semakin mem-buatku hanya mampu berangan-angan untuk meminta-nya kembali. Aku melihat bagaimana caranya ia memanggil, berbicara, dan semua yang Bella lakukan dengan Dion, cukup membuatku merasa risih.
Pikiranku semakin jauh melayang. Aku dengan Dion memang jauh berbeda. Dion punya segalanya untuk memikat hati seorang perempuan. Mobil yang selalu ia bawa adalah selalu keluaran terbaru, maklum, ayahnya adalah seorang pengusaha terkaya dan tersuskses di kota ini. Kalau ia mau, ia bisa saja membeli seluruh sekolah ini beserta isi-isinya. Selain itu, ia juga punya kharisma tersendiri, yang mungkin membuat sebagian besar anak-anak perempuan di sekolah ini mengaguminya. Hah, apa peduliku?!
Aku melirik jam tanganku, masih pukul 04.00 sore, kuputuskan untuk sekedar berkeliling, menikmati jalan-jalan perbukitan, di sekitar kota. Ya, kota ini memiliki beberapa tempat yang sangat indah yang sangat sayang jika tak dinikmati. Mobilku melaju cukup pelan, dan tak terasa sampai di perbukitan pinus. Cahaya matahari mulai redup dan hanya sedikit berkas-berkas cahaya yang menyeruak di antara dahan-dahan pinus, ditambah hawa dingin yang mulai berhembus.
Aku mempercepat laju mobilku, aku hanya tak ingin pulang sampai larut ditambah badanku yang mulai gerah dan lengket memaksaku untuk cepat-cepat sampai ke kos.
***
Suatu siang di sekolah…
Kuhabiskan waktu itu seperti biasa, duduk di bawah pohon di pusat taman, membaca buku Sastra Klasik. Beberapa menit awal aku merasa biasa-biasa saja. Namun beberapa menit pikiran-pikiran tentang Bella kembali menerobos pertahananku. Kualihkan pikiran-pikiran itu dengan membaca halaman demi halaman dengan sangat dan sangat fokus, sampai-sampai hal itu membuatku pening. Aku sedikit melemaskan otot-otot tengkukku dengan menengadah. Merilekskan otot-otot yang kaku, lalu menerawang jauh, entah apa yang aku pikirkan, akupun tak tahu. Tanpa sadar, seseorang menepuk bahuku.
“Kamu melamun lagi? Ada apa dengannmu?” ternyata Bella yang menepuk bahuku tadi.
“Eh, Oh, aku? Aku… Aku tak melamun,” ucapku sedikit terbata-bata. Entah mengapa semua badanku bisa digerakkan sekarang. Aku sungguh berterima kasih pada Bella yang ternyata menyelamatkanku dari keadaan yang sungguh bisa membuatku gila.
“Kenapa wajahmu pucat seperti itu, Jo?! Kau sakit hari ini?” ujarnya sedikit khawatir.
“Aku tak apa-apa, mungkin hanya kelelahan membaca ini, ceritanya cukup berat.” elakku. Aku tak ingin tertangkap basah sedang memikirkannya. Ia hanya mengangguk pelan. Tapi tatapannya terlihat ia tak percaya dengan apa yang aku katakan. Aku berharap ia tak sadar bahwa aku sedang berbohong padanya.
“Umm, aku ke sini ingin membicarakan sesuatu padamu, Jo.” ucap Bella tiba-tiba.
“Uhh! Aku juga, Bel. Ada hal penting, dan sudah lama ingin aku katakan padamu.” balasku seraya meletakkan buku yang sejak tadi aku pegang.
“Apa itu? Aku ingin mendengarnya, dan kali ini pasti aku dengarkan” wajah Bella berubah menjadi serius. Aku sedikit ragu untuk mengungkapkannya.
“Ra… Sejak kamu memutuskan hubungan kita, aku sungguh merasa kehilangan. Sungguh!” aku terdiam sejenak, mengumpulkan segenap tenaga untuk melanjutkan kata-kataku. “Aku sadar, akulah yang bersalah, aku memang tak pantas untuk disebut kekasih yang baik. Aku sungguh minta maaf. Aku memang laki-laki yang bodoh, karena tak bisa menjagamu, tak bisa membuatmu merasa aman bila di dekatku. Aku minta maaf. Aku sungguh minta maaf.”
Bella tersenyum. “Jadi?” lanjutnya.
“Umm… Jadi…. Maukah kamu menjadi kekasihku? Lagi?” ucapku gugup.
Bella lagi-lagi tersenyum. Memamerkan senyumnya yang indah itu. “Aku bisa menjadi kekasih-mu lagi, asalkan kau mau berkata jujur. Sepele, kan?”
Aku mengrenyitkan dahi, bingung lebih tepatnya. Apa aku ini kurang jujur dalam mengungkapkan pe-rasaanku?, batinku. “Aku sudah mengungkapkan semua apa yang kurasakan padamu, bukan? Jangan membuatku bingung,”
“Iya, benar! Tapi ada satu hal yang belum kau ungkapkan padaku, Jo?” Bella tersenyum jahil.
“Apa itu?” hal itu semakin membuatku bingung dan penasaran.
“Apa kamu cemburu tentang kedekatanku dengan Dion??
“Ummm… Itu… Itu… Kalau soal itu―”
“Hmmm?” Bella sepertinya tak sabar menunggu jawabanku.
“Iya. Aku cemburu. Kuakui, aku memang cemburu melihat kamu dengan Dion. Tapi setelah tahu kalau kamu hanya berteman dengannya, aku mendadak jadi lega.” ujarku.
“Apa yang kamu suka dariku? Aku telah banyak melukaimu, menjahatimu. Tapi kenapa, kenapa kamu masih menyukaiku? Apa alasannya?” Bella mulai berkaca-kaca.
Tanganku reflek mengusap air matanya yang mulai mengalir turun ke pipinya. “Memang banyak perempuan di sana yang lebih darimu, tapi hanya kamu, ya, hanya kamu yang punya tempat spesial di hati ini.”
Bella tersenyum. “Terima kasih, Jo.”
T A M A T
PROFIL PENULIS
Nama : Justinus Ristoadi
Umur : 17 tahun
Umur : 17 tahun
Baca juga Cerpen Cinta yang lainnya.
Post a Comment