Pada jaman dulu ketika pulau Jawa banyak didatangi para pedagang dari India, berkembang pulalah ajaran agama Hindu yang dibawa mereka. Para raja dan rakyat hampir diseluruh pulau Jawa menganutnya. Sebelum agama Hindu, belum ada ajaran agama yang berkembang di pulau Jawa. Mungkin inilah penyebab mengapa agama Hindu cepat sekali diterima di pulau ini.
Setelah berkembang bertahun lamanya, agama Hindu melahirkan banyak pemuka agama yang dikenal dengan sebutan brahmana. Para brahmana merupakan panutan bagi masyarakat dan sangat disegani. Bahkan para raja menjadikan brahmana sebagai penasihat mereka. Para raja menganggap brahmana adalah orang suci yang diturunkan dewa ke bumi.
Pada masa itu di Kediri yang terletak dibagian timur pulau Jawa berdiri Kerajaan Daha. Di sana hidup seorang brahmana suci yang sangat bijaksana bernama Sidi Mantra. Ia dikenal sebagai brahmana yang sangat tekun bersemedi. Selain bijaksana, Brahmana Sidi Mantra juga terkenal memiliki budi yang luhur. Karena sifatnya yang sangat baik, bukan hanya warga kerajaan yang menyayanginya namun para dewa juga mencintainya terutama Batara Syiwa. Batara Syiwa mengabulkan apa saja yang diminta Sidi Mantra. Seorang istri yang cantik dan harta yang berlimpah telah diberikan Batara Syiwa kepadanya.
Walaupun telah menjadi seorang yang kaya, Brahmana Sidi Mantra jauh dari sifat angkuh. Ia dan istrinya senantiasa membantu siapa saja yang membutuhkan pertolongan mereka. Kebiasaannya bersemedipun tidak ia tinggalkan. Hal ini menyebabkan Batara Syiwa semakin menyayanginya.
Telah bertahun Brahmana Sidi Mantra dan istrinya mengarungi bahtera perkawinan tetapi mereka belum juga dikaruniai seorang anak. Satu waktu istri Brahmana Sidi Mantra menyampaikan kegundahan hatinya kepada suaminya. Ia ingin sekali menimang seorang anak. Karena dirinya juga merasakan hal yang sama, maka Brahmana Sidi Mantra lebih tekun lagi bersemedi dan menyampaikan keinginannya kepada Batara Syiwa. Ia yakin keinginannya pasti terkabul.
Setelah lewat beberapa waktu, keinginan Brahmana Sidi Mantra dan istrinya terkabul. Dengan sukacita mereka menyambut kehadiran calon anak mereka yang mulai tumbuh di rahim sang istri. Tiada henti Brahmana mengucap syukur atas anugerah yang diterimanya. Rona kebahagiaan senantiasa terpancar diwajahnya.
Tak terasa Sembilan bulan telah berlalu. Tibalah saat istri Brahmana Sidi Mantra untuk melahirkan. Seorang bayi laki-laki nan tampan berkulit putih telah hadir menyemarakkan rumah tangga sang brahmana. Sidi Mantra menamai putranya Manik Angkeran.
Waktu berlalu sangat cepat. Manik Angkeran telah tumbuh menjadi seorang pemuda. Namun demikian tersembunyi sifat buruk di balik wajahnya yang tampan. Segala permintaan Manik Angkeran harus dipenuhi kedua orang tuanya. Hal ini bukanlah sepenuhnya kesalahan sang pemuda, melainkan kedua orang tuanyalah yang membiasakan hal itu dari dirinya masih kanak-kanak. Mungkin karena memiliki harta yang berlimpah, Brahmana Sidi Mantra dan istrinya sangat memanjakan anak semata wayang mereka.
Bukan hanya sifatnya yang buruk, kebiasaan burukpun mulai dilakukan Manik Angkeran. Hal ini bermula ketika dirinya mulai gemar mengunjungi tempat orang menyabung ayam dan bermain judi. Dari semula hanya sebagai penonton, lama lama ia ikut turun sebagai penyabung ayam dan penjudi.
Sayang sekali Brahmana Sidi Mantra dan istrinya tidak mengetahui kebiasaan buruk putra mereka. Dengan dalih untuk membantu orang –orang miskin, Manik Angkeran senantiasa meminta uang dari orang tuanya. Seperti biasa pula, ayah dan ibunya selalu memenuhi permintaannya. Mereka berpikir betapa eloknya sifat Manik Angkeran, dalam usianya yang masih muda ia sudah mampu merasakan penderitaan orang lain dan ingin membantu.
Sepandai pandainya tupai melompat, satu saat pasti jatuh juga. Inilah peribahasa yang cocok untuk Manik Angkeran. Warga kerajaan yang melihat perbuatannya memberitahu Brahmana Sidi Mantra akan kebiasaan buruk anaknya. Mereka kasihan pada Sidi Mantra yang hartanya terkuras dan dibohongi oleh putranya sendiri.
Walaupun sangat terkejut dan kecewa atas kelakukan Manik Angkeran, Brahmana Sidi Mantra dan istrinya tidak mampu berbuat apa apa. Manik Angkeran semakin jarang berada di rumah. Ia pulang hanya untuk meminta uang dari orang tuanya. Sudah beberapa kali ia mengaku sadar dan mengakui kesalahannya tetapi tetap saja ia kembali lagi melakoni kebiasaan buruknya berjudi dan menyabung ayam.
Tak terasa harta berlimpah yang dimilki Brahmana Sidi Mantra terkuras habis. Mereka jatuh miskin. Keadaan orang tuanya tidak juga mampu membuat Manik Angkeran sadar. Bahkan kini kebiasaan buruknya semakin bertambah. Karena orang tuanya tidak mampu lagi memberikannya uang, ia mulai berani berhutang untuk memenuhi keinginannya berjudi. Namun demikian nasib sial masih belum mau beranjak darinya. Manik Angkeran selalu saja kalah.
Karena hanya janji janji yang diberikan Manik Angkeran kepada orang orang yang meminjaminya uang, mereka mulai kehilangan kesabaran dan mendatangi Brahmana Sidi Mantra untuk menagih hutang anaknya. Betapa terkejut dan malunya Sidi Mantra menghadapi kenyataan ini. Hatinya bertambah gelisah karena para penagih hutang mengancam akan membunuh Manik Angkeran jika hutangnya tidak dilunasi. Dengan sangat terpaksa akhirnya Brahmana Sidi Mantra berjanji akan melunasi hutang anaknya dalam beberapa hari walaupun ia sendiri belum tau bagaimana caranya. Rasa cintanya yang mendalam pada Manik Angkeran membuat Brahmana Sidi Mantra bertekad untuk menolong putranya itu.
Setelah lama berpikir akhirnya Brahmana Sidi Mantra memutuskan untuk meminta pertolongan pada Batara Syiwa. Ia yakin Batara Syiwa pasti memberi jalan keluar atas masalah yang ia hadapi. Dengan keyakinan itulah Brahmana Sidi Mantra mulai bersemedi di ruang peribadatannya. Setelah berhari hari bersemedi, suatu malam ia mendengar bisikan agar ia melangkahkan kakinya ke Gunung Agung. Disana hidup seekor naga sakti bernama Besukih. Ia adalah penjaga gunung Agung yang dapat memberikan Sidi Mantra uang emas dan permata guna melunasi hutang Manik Angkeran.
Setelah mendengar bisikan gaib yang diyakini Brahmana Sidi Mantra sebagai petunjuk dari Batara Syiwa, seketika itu juga ia berhenti semedi. Keesokan harinya, pagi pagi sekali Brahmana Sidi Mantra sudah meninggalkan rumahnya menuju Gunung Agung yang terletak di sebelah timur Kerajaan Daha. Perjalanan ke Gunung Agung sangat jauh dan melelahkan, tapi Brahmana Sidi Mantra berjalan dengan semangat. Terbayang betapa ia akan segera dapat melunasi seluruh hutang Manik Angkeran. Perasaan itu membuatnya ingin cepat sampai di sana.
Akhirnya tiba jualah Brahmana Sidi Mantra di puncak Gunung Agung. Tanpa membuang waktu, ia langsung duduk bersila sambil menatap lubang kepundan di depannya. Disinilah rupanya sang naga berdiam, pikirnya sejenak sambil mengeluarkan genta kecil yang biasa dimiliki oleh para brahmana. Ia segera membunyikan genta tersebut sambil merapal mantra. Semoga sang naga mendengar dan segera keluar menemuinya, harap Sidi Mantra.
Tak lama kemudian telinga Brahmana Sidi Mantra menangkap suara berdesis dari dalam kepundan. Semakin lama suara itu semakin keras sampai akhirnya menjadi suara gemuruh yang sangat keras diikuti dengan keluarnya Naga Besukih. Sosok sang naga yang sangat besar dihadapannya membuat Brahmana Sidi Mantra terpana. Taringnya yang tajam, lidahnya yang menjulur keluar, dan kepulan asap yang keluar sari hidungnya membuat Naga Besukih terlihat sangat menyeramkan.
Naga Besukih segera menanyakan maksud kedatangan Brahmana Sidi Mantra walaupun Batara Syiwa sudah memberitahukannya. Dengan suara terbata dan menahan malu yang sangat, Brahmana Sidi Mantra memohon bantuan Naga Besukih agar memberikannya uang emas dan permata untuk melunasi hutang anaknya, Manik Angkeran. Walaupun berat hati untuk menolong seorang penjudi, namun Naga Besukih mengabulkan permintaan Brahmana Sidi Mantara. Ia teringat titah Batara Syiwa kepadanya agar menolong Brahmana Sidi Mantra.
Segera saja Naga Besukih mengerak gerakkan badannya . Brahmana Sidi Mantra terkesima melihat kepingan uang emas dan intan permata yang berjatuhan dari sela sela sisik Naga Besukih. Jumlahnya banyak sekali hingga menimbulkan suara gemerincing yang sangat nyaring.
Naga Besukih menuruh Brahmana Sidi Mantra untuk segera mengambil uang emas dan intan permata yang berserakan. Dengan cekatan Brahmana Sidi Mantra memungut benda benda berharga tersebut dan memasukkannya ke dalam kantong yang dibawanya dari rumah. Betapa senang hatinya. Pemberian Naga Besukih lebih dari cukup untuk melunasi hutang Manik Angkeran. Tak menunggu lama, Brahmana Sidi Mantra beranjak pulang setelah berkali kali mengucapkan terima kasih kepada Naga Besukih.
Sesampainya di Daha, Brahmana Sidi Mantra segera melunasi hutang Manik Angkeran. Ia tak menyangka hutang anak semata wayangnya itu banyak sekali. Tak terasa kepingan uang emas dan intan permata pemberian Naga Besukih hanya tersisa sedikit dalam sekejap. Brahmana Sidi Mantra menggunakannya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sehari hari.
Rasa takut yang dulu dirasakan Manik Angkeran atas ancaman para penagih hutang juga mulai hilang. Rupanya ia rindu akan kebiasaannya berjudi dan menyabung ayam. Mungkin rasa penasaran yang membuat seorang penjudi seperti Manik Angkeran susah untuk melupakan kegemarannya bertaruh. Hanya dalam hitungan hari, Manik Angkeran kembali membohongi kedua orang tuanya. Dengan dalih mau membantu orang miskin, uang yang diberikan ayahnya dipakainya untuk berjudi.
Nasib sial belum mau meninggalkan Manik Angkeran. Ia selalu saja kalah. Dapat ditebak tidak berapa lama kemudian ia kembali terlilit hutang. Kali ini jumlahnya lebih banyak. Pertolongan ayahnya justru membuatnya berani berhutang lebih banyak.
Brahmana Sidi Mantra dan istrinya yang baru saja merasakan hidup tenteram beberapa saat kembali didatangi para penagih hutang. Mereka tidak mau menagih hutang kepada Manik Angkeran. Percuma saja. Mereka percaya Brahmana Sidi Mantra mampu melunasi hutang anaknya seperti sebelumnya.
Karena takut akan keselamatan jiwa anaknya yang terancam, Brahmana Sidi Mantra memutuskan untuk meminta bantuan lagi kepada Naga Besukih. Hanya itu satu satunya jalan keluar, pikirnya. Rasa malu yang menderanya dikuburnya dalam dalam. Bagaimanapun buruknya kelakukan Manik Angkeran, Brahmana Sidi Mantra sangat menyayangi putranya itu. Ia tidak mau Manik Angkeran celaka.
Setelah menempuh perjalanan yang melelahkan, tibalah Brahmana Sidi Mantra di puncak Gunung Agung. Ia membunyikan genta kecil miliknya sambil merapal mantra untuk memanggil Naga Besukih keluar dari lubang kepundan. Suara genta yang nyaring membuat sang naga segera keluar dari tempat persembunyiannya.
Naga Besukih heran melihat tamunya. Untuk apa Brahmana Sidi Mantra datang menemuinya lagi, pikirnya. Ia tak menyangka kalau Manik Angkeran kembali mengulangi perbuatannya. Naga Besukih sangat marah mendengar cerita Brahmana Sidi Mantra tentang anaknya yang terlilit hutang untuk kedua kalinya. Kebiasaannya berjudi tak juga hilang. Ancaman para penagih hutang yang hendak membunuhnya tak membuatnya jera.
Semula Naga Besukih menolak dengan tegas permohonan Brahmana Sidi Mantra. Dari semula ia memang tak sudi menolong penjudi seperti Manik Angkeran. Tapi karena dilihatnya air mata Brahmana Sidi Mantra yang terus bercucuran sambil memohon pertolongannya, akhirnya hatinya luluh juga. Bagaimanapun Brahmana Sidi Mantra adalah brahmana kesayangan Batara Syiwa.
Naga Besukih mulai menggerakkan badannya. Seperti yang pernah terjadi sebelumnya, kepingan uang emas dan intan permata berjatuhan dari sela sela sisiknya. Kali ini jumlahnya jauh lebih banyak. Atas ijin Naga Besukih, Brahmana Sidi Mantra segera memungut benda benda berharga itu dan memasukkannya ke dalam kantong yang dibawanya. Dengan rasa terima kasih yang sangat besar, Brahmana Sidi Mantra pamit pulang.
Begitu tiba di Daha, Brahmana Sidi Mantra segera mendatangi rumah para penagih hutang satu persatu dan melunasi seluruh hutang Manik Angkeran. Walaupun uang emas dan intan permata pemberian Naga Besukih seketika itu juga habis, hatinya merasa senang. Ia dapat hidup tenang lagi bersama keluarganya.
Walaupun gembira karena ayahnya telah melunasi seluruh hutangnya, rupanya terselip rasa ingin tau di hati Manik Angkeran darimana ayahnya memperoleh semua uang emas dan intan permata itu. Rasa penasaran membuatnya berdiam diri di rumah. Ia menduga ayahnya masih memiliki harta yang banyak. Tapi dimanakah ayah menyimpan semua itu ? tanyanya dalam hati.
Akibat rasa penasaran yang terus menderanya, akhirnya Manik Angkeran memberanikan diri bertanya kepada Brahmana Sidi Mantra. Dengan penuh kesabaran Brahmana Sidi Mantra menyatakan bahwa ia tidak dapat menyebutkan asal benda benda berharga itu. Yang terpenting buatnya sekarang adalah Manik Angkeran telah bebas dari hutang yang melilitnya.
Dengan hati kesal karena tidak puas akan jawaban sang ayah, Manik Angkeran terus saja berpikir mengenai segala kemungkinan darimana ayahnya memperoleh semua itu. Mungkinkah ayah berpura pura jatuh miskin padahal masih memiliki banyak harta ? tapi dimana ayah menyimpannya ? ia kembali terbentur pertanyaan yang sama. Setelah berdiam diri berhari hari di rumah, suatu ketika datanglah teman Manik Angkeran berkunjung. Sang teman bertanya mengapa Manik Angkeran tidak pernah terlihat berkumpul dengan teman temannya. Manik Angkeran yang merasa menemukan teman bicara mengutarakan apa yang dipikirkannya selama ini. Tak disangka temannya memberitahu bahwa ada seseorang yang pernah melihat ayahnya berjalan kea rah Gunung Agung. Bukan main senangnya hati Manik Angkeran mendengar cerita temannya. Tapi dia heran ada apa di Gunung Agung ? apalagi jaraknya sangat jauh dari Daha. Tanpa ragu temannya bercerita tentang keberadaan Naga Besukih yang berdiam di puncak Gunung Agung. Betapa naga yang sakti itu dapat mengeluarkan kepingan uang emas dan intan permata dari sela sela sisiknya. Sayang tidak semua orang dapat menemui sang naga, hanya para brahmanalah yang dapat memanggilnya keluar dengan genta yang mereka miliki.
Terpecahkan sudah teka teki yang memenuhi benak Manik Angkeran selama ini. Segera saja ia merencanakan untuk pergi ke Gunung Agung menemui Naga Besukih guna meminta banyak harta. Terbayang sudah ia bisa berjudi kapan saja ia mau. Nafsu yang menguasai dirinya membuat ia nekad mencuri genta milik ayahnya. Dengan mengendap endap ia berhasil mengambil genta yang ditaruh Brahmana Sidi Mantra dibawah bantal selagi ia tertidur. Malam itu juga Manik Angkeran mulai berjalan kea rah Gunung Agung.
Begitu sampai di puncak Gunung Agung , Manik Angkeran yang merasa sangat lelah duduk beristirahat sambil menatap lubang kepundan. Disinilah rupanya berdiam Naga Besukih yang sakti itu, gumamnya. Tanpa mau membuang waktu, ia segera mengeluarkan genta milik ayahnya dan mulai membunyikannya. Dengan rasa tak sabar ia menunggu kemunculan Naga Besukih.
Tak lama Manik Angkeran menunggu, sang naga yang dinanti keluar dari persembunyiannya. Manik Angkeran sangat terkejut melihat sosok Naga Besukih yang sangat besar. ‘Siapa kau ?’, bentak Naga Besukih yang merasa asing dengan Manik Angkeran. Dengan suara gemetar Manik Angkeran memperkenalkan diri. Rupanya ini dia si penjudi yang tidak tau diri itu, pikir Naga Besukih sambil mengamati Manik Angkeran. ‘Apa maksudmu memanggilku ?’ tanya Naga Besukih dengan nada tidak senang.
Manik Angkeran mulai menjalankan aksinya. Dia berbohong dengan mengatakan Brahmana Sidi Mantra yang menyuruhnya menemui Naga Besukih. Ia mengatakan dirinya terlilit hutang lagi dan sang ayah yang memberinya petunjuk untuk memohon pertolongan pada sang naga. Untuk lebih meyakinkan hati Naga Besukih, Manik Angkeran mengiba iba sambil menangis.
Lama lama Naga Besukih tidak tega melihat Manik Angkeran yang terus memohon pertolongannya sambil mencucurkan air mata. Akhirnya ia mengabulkan permohonan Manik Angkeran setelah si pemuda berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Perlahan lahan Naga Besukih mulai menggerakkan badannya. Tak lama kemudian Manik Angkeran melihat kepingan uang emas dan intan permata mulai berjatuhan dari sela sela sisik naga raksasa itu. Terkesima ia melihat semua itu. Setelah Naga Besukih menyuruhnya mengambil semua harta benda yang berjatuhan di tanah itu, Manik Angkeran bergegas memungut dan memasukkannya ke dalam kantong yang dibawanya. Walaupun Naga Besukih telah memberinya banyak benda berharga, keserakahan masih saja menguasai hati Manik Angkeran. Matanya menangkap sebuah permata besar nan indah yang menempel di ekor sang naga. Jika aku bisa memiliki permata itu tentu aku akan kaya raya, pikirnya.
Naga Besukih yang merasa telah cukup memberikan kepingan uang emas dan intan permata segera menyuruh Manik Angkeran pulang. Begitu ia membalikkan badan hendak beranjak kembali ke lubang kepundan, dengan secepat kilat Manik Angkeran memotong ekor Naga Besukih tempat menempelnya batu permata yang sangat besar dengan kerisnya. Setelah itu ia berlari kencang menuruni Gunung Agung.
Manik Angkeran tidak menyadari bahwa dirinya telah melakukan perbuatan yang terkutuk. Mencelakai seekor naga sakti, apalagi yang telah banyak menolongnya, sungguh perbuatan yang sangat buruk. Ia tidak sadar sebentar lagi dirinya akan celaka. Benar saja, Naga Besukih yang menyadari ekornya dipotong, murka bukan alang kepalang. “Pasti ini perbuatan anak durjana itu”, geramnya sambil menahan rasa sakit. Darah segar bercucuran dimana mana. Segera ia menelusuri jejak kaki Manik Angkeran. Dengan kesaktian yang dimilki tidak sulit bagi Naga Besukih membuat Manik Angkeran yang sedang berlari menuruni lereng Gunung Agung jatuh terguling guling. Tak lama kemudian terlihat tubuhnya mulai hangus terbakar api. Jeritan minta tolong Manik Angkeran tak dihiraukan Naga Besukih sama sekali. Ia merasa puas telah membunuh orang yang berlaku jahat padanya. Dalam sekejab tubuh Manik Angkeran telah berubah menjadi abu. Naga Besukihpun kembali pulang ke puncak Gunung Agung.
Sementara itu Brahmana Sidi Mantra yang menyadari gentanya telah hilang, mulai gelisah. Ia menduga Manik Angkeran telah mencurinya. ‘Tapi bagaimana dia tau kegunaan genta itu ?’ pikirnya bertanya tanya. Kegelisahannya semakin menjadi begitu tau dari istrinya kalau Manik Angkeran tidak pulang selama beberapa hari. Setelah bertanya pada teman teman Manik Angkeran, yakinlah ia anaknya itu telah pergi menemui Naga Besukih di puncak Gunung Agung.
Dengan tergesa Brahmana Sidi Mantra meninggalkan rumahnya di Daha menuju Gunung Agung. Firasat buruk menghantuinya selama dalam perjalanan. ‘Jangan jangan sesuatu yang buruk telah menimpa anakku’, pikirnya. Begitu sampai di puncak Gunung Agung, Naga Besukih yang mengetahui maksud kedatangan Brahmana Sidi Mantra langsung menceritakan kejadian yang telah menimpa anaknya. Menangislah Brahmana Sidi Mantra sambil memohon agar Naga Besukih mau memaafkan anaknya dan membuatnya hidup kembali.
Tangisan pilu Brahmana Sidi Mantra yang kehilangan anaknya membuat Naga Besukih trenyuh. Dengan berat hati ia bersedia membuat Manik Angkeran hidup kembali dengan satu syarat, anak itu harus tinggal bersamanya di puncak Gunung Agung. Itulah satu satunya jalan agar Manik Angkeran tidak terjerumus kembali pada kebiasaan lamanya yang gemar berjudi.
Brahmana Sidi Mantra setuju dengan syarat yang diajukan oleh Naga Besukih. Inilah jalan terbaik, pikirnya. Suka citanya amat besar begitu didapati tubuh anaknya yang telah menjadi abu tiba tiba hidup kembali. Ia memeluk anaknya sebelum meninggalkannya bersama Naga Besukih.
Dalam perjalanan kembali ke Daha, Brahmana Sidi Mantra menengok ke belakang dan memandang Gunung Agung. Pada saat itu pulau Jawa dan Bali masih menjadi satu daratan. Ia berpikir alangkah baiknya jika Gunung Agung dipisahkan dengan Daha oleh suatu genangan air yang tak dapat dilewati Manik Angkeran. Dengan begitu tertutuplah sudah kesempatan Manik Angkeran untuk kembali ke Daha.
Dengan kesaktian yang dimiliki, Brahmana Sidi Mantra mulai menarik garis pemisah antara Gunung Agung dan Daha dengan tongkatnya. Keajaibanpun terjadi. Alam bergejolak. Garis pemisah yang dibuat Brahmana Sidi Mantra membelah bumi dan menciptakan rekahan yang sangat besar. Genangan airpun memenuhi rekahan tersebut yang semakin lama semakin lebar. Akhirnya terbentuklah sebuah selat yang sekarang dikenal dengan Selat Bali. Daratan tempat Gunung Agung berada dikenal dengan nama Pulau Bali
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Post a Comment