Ads (728x90)

Latest Post

Kesehatan

Tips

SYAIR CINTA MELATI AIR
Karya Rofi'iyati

Malam ini hujan turun begitu derasnya, rintik hujan terlihat menetes di tepi jendela kamar. Angin berhembus lembut, serasa malam berjalan seperti di kutub utara. Dingin menemani malam santriwati asal Rembang itu, sambil menghafal ayat-ayat Al Qur’an ia menatap hujan yang menenangkan malamnya sembari duduk di pinggir jendela. Usai menghabiskan malamnya dengan lantunan-lantunan suci, ia melanjutkan dengan menggoreskan tinta pada secarik kertas yang ada di atas meja belajar kamarnya. Mengukir kata hati menjadi sebuah karya berarti, saat itu hatinya tak menentu dengan kepadatan rasa yang ada dalam benaknya. Zahra meluapkan segala rasa yang ada dalam benaknya ke dalam syair yang dibuatnya, ntah apakah itu mungkin tentang rasa cinta yang dipendamnya.

Syair Cinta Melati Air
Zahra seorang yang sangat menyukai bunga melati, mungkin pendapat orang lain melati itu penuh dengan arti misteri dan sangatlah mistis. Namun baginya melati itu bunga yang sederhana namun tetap indah. Melati ini juga sebagai filosofi hidupnya, bahwa kesederhanaan itu tetap akan lebih indah dari pada kesempurnaan yang hanya dibuat-buat semata. Zahra memaknai syair yang dibuatnya sebagai curhatan tentang hidupnya, karena memang ia tak begitu bercerita pada sekitarnya. Dan orang-orang pun tak heran jika acap kali menjumpai Zahra membawa sekeranjang penuh dengan bunga melati.
“Zahra ayo turun, makan dulu sini. Bu dhe sudah masak enak buat kamu dan pak dhe mu.” Seru bu dhe Zahra dari lantai bawah menyuruh Zahra segera makan malam.

Segera Zahra bergegas merampungkan syair yang telah dibuatnya, dan memakai jilbab dan segera turun untuk makan malam bersama pak dhe dan bu dhenya dan Lekas-lekas ia menutup pintu kamarnya.
“njeh bu dhe, sekedap. Zahra segera turun.” Jawab Zahra yang lekas turun menapaki tangga.
Zahra ialah seorang santriwati yang mondok di Pondok Pesantren Al Ulumsyi Solo Jawa Tengah yang tak lain milik pak dhe nya sendiri. Zahra sudah mondok sekitar 3 tahun disitu, dengan program hafalan atau yang nantinya disebut hafidzoh. Abah dan Umi Zahra mengabdi di Rembang sebagai pengasuh pesantren juga, namun berbeda dengan pesantren pak dhe nya. Abah Zahra mengasuh sebuah pesantren khusus mempelajari kitab-kitab klasik.

Setelah makan malam selesai, terdengar lantunan salam dari arah ruang tamu depan. Setelah bu dhe Zahra membuka pintunya ternyata Zaka, anak dari teman Pak dhe Zahra yakni putra dari Kyai Husein Fadli yang juga mempunyai sebuah pondok pesantren di Jombang. Ia Berkunjung untuk bersilaturrahim dengan Pak dhe yang 2 hari yang lalu baru sembuh dari sakitnya.
“Wa’alaikumsalam. Oalah, nak Zaka to. Monggo-monggo masuk.” Sambut Bu dhe sembari mempersilahkan duduk.
“Kyai Syarif ada umi? Saya ingin menjenguk beliau. Saya dengar kemarin usai sembuh dari sakitnya.” Tutur Zaka dengan lembut dan santunnya pada Bu dhe.
Tak lama kemudian Kyai Syarif pun datang dengan aura wibawa dari raut wajah beliau dan bersalaman dengan Zaka. Lama mereka berbincang, Zahra menghiraukan apa yang mereka obrolkan, karena memang agama mengharamkan menguping perbincangan seseorang. Zahra meninggalkannya dan kembali ke kamar.

Zaka ternyata tak hanya berkunjung untuk menjenguk Kyai Syarif, namun juga menanyakan tentang kelangsungan terbitnya majalah Al Fikroh untuk tahun ini. Ia dipilih sebagai Ketua tim redaksinya, tak heran jika ia dipilih karena memang ia ahli dalam berorganisasi dan ahli dalam bidang sastra. Dan dia sangat bijaksana dan selalu berfikir logis.
“Pak kyai, saya mau Tanya untuk tema majalah Al Fikroh kita bagusnya apa? Soalnya terus terang saya kebingungan mencari tema”. Tanya Zaka dengan seksama
“Oalah nang, tema kok bingung-bingung. “Santri modern dengan sastra klasik”, itu aja tema yang gunakan”. Jawab pak Kyai alias pak dhe Zahra itu dengan tegas nan bijak.
Usai Zaka silaturahim ke rumah pak Kyai, dia menyusuri jalan pulangnya menuju hujroh putra miliknya sembari berpikir keras dengan tema yang sudah ditentukan pak Kyai tadi. Nampaknya beban yang dipikir begitu berat hingga dia tak konsen saat membuat rubrik-rubrik untuk mengisi majalah Al Fikroh.
Tepat jam 8 malam Zaka duduk manis sambil mencoret-coret pensil sederhananya pada secarik kertas putih. Dalam keheningan malam bersama orchestra alam dan jangkrik-jangkrik yang merdu itu, ia teringat bahwa ia tak sendirian mengemban tugas itu dan masih ada Zahra keponakan Kyai Syarif yang juga pandai dalam bidang sastra. Ia tak kepikiran sama sekali untuk mengajaknya bekerja sama.
~~~

Pagi pun menjelang saat kokok ayam bersenandung dipagar pinggir jendela, mengusik para penghuni bumi tuk bangun membuka dunia di esok hari. Membawa sedikit demi sedikit semburat sinar mentari menghangatkan jiwa yang sedari malam menusuk menjerumus dalam mimpi. Zaka terlihat sudah bersih dan rapi, melangkah menuju ndalem menemui pak Kyai kembali untuk meminta izin mengajak Zahra bergabung membuat majalah Al Fikroh bersamanya.
Saat Zaka segenap membawa kitab tafsir yang ada digenggamannya sambil mulutnya terlihat menggerutu menghafal ayat-ayat Al Qur’an. Tiba-tiba pak Kyai menepuk pundak Zaka, hingga Zaka tersingkap kaget dalam benaknya.
“Assalamu’alaikum, antum mau kemanakah? Kelihatannya lekas buru-buru sekali nak?”.
“Wa’alaikumsalam pak Kyai, kebetulan saya mau ketemu pak Kyai. Saya mau izin mengajak Zahra ikut bergabung dalam pembuatan majalah kita pak Kyai, boleh tidakkah?.”
“Oh, ya ajak saja dia. Tapi ingat masih dalam batasan syara’ lho ya bekerja samanya”. Tutur pak Kyai mengingatkan.

Dengan hati riang gembira Zaka pun beranjak langsung ke rumah pak Kyai. Sesampainya didepan pintu, terlihat dari sudut rumah, Zahra sedang mengintip ke arah dimana Zaka berdiri.
“Oalah nak Zaka to, mari masuk”. Sambut bu. Nyai membukakan pintu.
“Njeh umi, saya ingin ketemu Zahra untuk mengajaknya bekerjasama membuat majalah AL Fikroh kita bu Nyai”. Tutur Zaka pelan dan lembut.
Tak sengaja mendengar perkacapan Zaka dengan bu dhe nya Zahra terkejut sembari mengernyitkan dahinya dan berkata dalam hati “Apa?, aku bekerjasama sama Zaka membuat majalah itu?”. Zahra memang jelas kaget, karena selama ia mondok tidak pernah bertatap muka dengan lawan jenisnya. Hingga ajakan Zaka tadi membuat hatinya bergetir kaku.
Bu dhe Zahra pun menyetujuinya, dan membiarkan Zahra meluapkan kreatifitasnya ke dalam majalah tahunan pondoknya. “Oh, ya nak Zaka. Silahkan saja, asal tidak melebihi batas kewajaran”.
~~~

Rencananya majalah Al Fikroh akan diterbitkan 3 bulan lagi, hingga Zaka pun berfikir keras dengan Zahra bagaimana merampungkan majalah itu. Di senja hari saat mentari telah terbujur kaku menanti sang rembulan. Zaka dan Zahra terlihat asyik beragumentasi diteras rumah pak dhe Zahra.
“Neng, gimana nih majalah kita. Apa ide cemerlangmu?”. Tanya Zaka membuka pembicaraan.
“Emm kemarin kan kata pak dhe tema nya “Santri modern dengan sastra klasik”. Gimana kalau kita buat rubric dan artikel-artikel yang menyangkut pesantren kita sendiri ?. Mulai dari jadwal kegiatan, system pembelajaran dan segala macamnya”. Jawab Zahra dengan argumennya yang lugas itu.
“Oke, bagus itu idemu. Tak salah aku mengajakmu bekerjasama”. Sahut Zaka begitu riang.
Waktu demi waktu pun berlalu, hingga semua konsep dan bahan untuk majalah Al Fikroh telah terkumpul dengan sempurna. Tak ketinggalan atas dasar bantuan santri lainnya juga. Akan tetapi disini Zaka merasakan sebuah getaran rasa yang tak pernah ia rasa sebelumnya saat menatap Zahra keponakan pak Kyai itu.
Dia merasa Zahra ialah sosok yang begitu tercipta sempurna. Cerdas, anggun nan lembut, aqidahnya tetancap kuat dalam badannya. Cinta, ya mungkin inilah yang dirasa Zaka terhadap Zahra. Sampai apa yang ia rasakan membuatnya tak menentu dalam hidupnya. Tanpa basa – basi ia mengirimkan sepucuk surat untuk Zahra, lewat teman karib Zahra yaitu Luthfa. Seorang pengurus ndalem di pondok Al Ulumsyi yang terkenal crewet dan berparas imut itu.
Untukmu
Ya ukhty. . .Khaurotuyyasmin
Senyummu telah mengubah hari-hariku lebih berwarna
Mengubah kelabu dalam impianku, menjadi cerita putih nan bersih
Tetesan madu dari bibirmu, membarengi jalan kehidupanku
Seakan seorang bidadari yang menuntun lika-liku Qolbuku
Dalam Sujudku, Ku ucap syukur pada Robby
Yang telah mengirimkan intan permatanya di siang jua malamku
Dan untukmu ya khaura
Ku tunggu kau dipertigaan cintaku…
Air,
malam Rabu dibawah gemerlap bintang
Tak kuasa Zaka menahan rasanya, ia pun mengirimkan surat dengan rentetan syair indah itu. Sesampainya Zahra membuka dan membaca surat itu, Tak sadar airmatanya mengucur deras dari bola mata nya. Merasakan haru dalam benaknya. Zahra menatap dalam hatinya, ia merasakan hal yang sama pada Zaka. Menatap sang bintang penuh pesona nan rembulan begitu manjanya. Ia membalas surat Zaka dengan ukiran disudut kertas putih sembari merangkai kata manja nan nyata.
Untukmu
Ya akhy…
Untukku kau persembahkan syair itu,
Hingga bahagianya hati sungguh tak terkira
Hatiku bernajat agar akhi selalu dilimpahkan rasa bahagia
Saat kelopak melati tlah merekah
Ku harap akhi menyambutnya dengan senyuman anugrah
Walau setiap kali sunyi tak henti menyapa
Terima kasih akhi, telah berikan rasa tulus padaku
Atas dasar Robby ku buka pintu hati
Siap menjadi pembeda dari yang sebelumnya
Walau sederhana, ku harap akhi menerimanya dengan ikhlas
Ku akan datang hingga saatnya tiba…
Melati,
Di Pelita malam Rabu
Nan penuh kesyukuran

Lama mereka berjibaku dalam riangnya hati layaknya remaja, seiring tugas bersama yang mereka kerjakan. Ukhuwah pun semakin merekat dengan lekat, hingga akhirnya mereka merampungkan dan usai menerbitkan majalah Al Fikroh.
“Alhamdulillah ya Kang, tugas kita telah selesai.” Ucap Zahra ditaman belakang asrama.
“iya, tapi ku rasa tugasku belum selesai deh”. Sahut Zaka membuat heran Zahra
“Hm.? Memang masih ada tugas yang belum terselesaikan?, ayo ku bantu”. Tanya Zahra begitu dalamnya.
“Ah kau ini, tugasku meminangmu belum tuh? hehe”. Jawab Zaka dengan guyonan asyiknya.
“Apa ini akang, bisa aja atuh. Tanya dulu sama abah, hehe”.
“Tapi, ntar ah belajar dulu sampai Al Azhar Mesir”.
Begitulah mereka, guyon tapi serius, namun dalam ukhuwah mereka ternyata diam-diam abah Zahra telah menjodohkannya dengan seseorang. Namun Zahra belum tau dengan siapa dia dijodohkan.
~~~

Saat pagi kembali menyapa, mentari ternsenyum manis seusai fajar terjadwal. Terlihat embun masih pekat menyelimuti, perlahan Zahra membuka jendela kamarnya memandang cerah harinya pagi itu. Kembali bergegas ia untuk mandi dan sarapan pagi bersama pak dhe dan bu dhenya. Namun tak seperti biasanya, terdengar perbincangan serius dari ruang tamu, dan ternyata kedua orang tua Zahra menyambangnya. Yah, Kyai Fikri dan Bu Nyai Fatimah ternyata. Orang tua Zahra membicarakan tentang perjodohannya kepada bu dhe dan pak dhe nya.
Zahra terheran, “dengan siapa aku mau dijodohin?”. Sahutnya mengagetkan perbincangan antar keluarganya itu.
“Oh neng Zahra, sini. Abah sama umi mu ingin membicarakan sesuatu”. Sambut umi Zahra.

Sambil mengecup kedua tangan orang tuanya dan duduk bersama. “Iya, tapi apa yang ingin abah sama umi bicarakan?, Zahra dengar Zahra akan dijodohkan apa benar begitu ? Namun dengan siapa ?”.
“Tenanglah Zahra, abah mau menjodohkan kamu dengan putra teman abah kok. 3 minggu lagi saat khataman bilghoib abah akan kembali menjemputmu. Usaikan dulu hafalanmu sama bu dhe dengan bagus”. Jawab abah menjelaskan dengan panjang lebar.

Tersentak hati Zahra mendengarnya, saat Zahra sudah menaruh rasa pada santri putra yaitu Zakariya Chusain Nawawi yang tak lain ialah Zaka. Merasa asa nya telah pupus, Zahra pun hanya mengangguk pasrah.
“Tapi abah, kenapa tidak dari kemarin-kemarin?, ini terlalu cepat”. Ucap Zahra bernada sedih.
“Sudahlah Zahra, ini pilihan terbaik untukmu”. Jawab abah menegaskan.
~~~

3 minggu pun berlalu, hingga khataman Qur’an khusus bilghoib terlaksana. Namun disini tak terlihat batang hidung Zaka yang sudah di nanti-nanti Zahra sedari tadi. Zahra terlihat lesu tanpa adanya Zaka, ditambah lagi ia masih dibayang-bayang dengan perkataan abah kalu dia akan dijodohkan. Dalam hati Zahra merontak, ingin rasanya menangis kencang, namun tak bisa dilakukannya.
“Zahra, kamu tidak siap-siap untuk khataman nanti?”. Tanya Luthfa memecah lamunan Zahra yang sedang duduk ditaman belakang asrama.
“Eh Luthfa, iya ini sebentar lagi aku mau kesana. Luthfa aku habis ini mau pulang ke Rembang, kamu baik-baik ya disini”.
“Loh, kenapa kok langsung pulang?, ndak beberapa bulan lagi kamu disini?”.
“nggak fa, kata abah aku mau dijodohin, namun dengan siapa aku tak tau”.
“Ya sudah, terima saja dengan ikhlas. Mungkin ini memang jalanmu”. Jawab Luthfa menenangkan
Khataman pun selesai, tiba waktunya Zahra untuk pulang. Menitihkan air mata saat berpamitan dengan pak dhe dan bu dhe nya, tak ketinggalan dengan temannya Luthfa.
Terik begitu menyengat kala perjalanan pulang ke Rembang, menyusuri jalan berbukit di bawah sinar mentari. Setelah hampir sehari perjalanan, Zahra pun tiba malam hari di rumahnya, Nampak letih menghujam seluruh badaannya. Hingga Zahra terlelap dikamarnya.
~~~

Symfoni alam pagi bersenandung riang memenuhi syair cerita hidup Zahra, pagi nan cerah, embun jua tak begitu terasa kala pagi itu, semburat mentari perlahan menampakkan el0k sinarnya, kicau burung di dedaunan menambah merdu suara dzikir zaman, langit cerah terbungkus kain biru nan indah, dengan segala karyaNya, penuh syukur menjalani indah dunia. Zahra sudah siap dengan tatanan rapi untuk harinya, diatas tempat tidur Zahra mengulang lagi hafalan Qur’annya. Karena tak ingin lupa begitu saja dan karena ia sudah menjadi hafidzoh, yang memang menuntutnya untuk selalu hafal.
Terdengar salam dan ketukan pintu yang membuyarkan hafalan dari bibir Zahra, segera ia membuka pintu dengan menggenggam Al Qur’an ditangannya. Dan tak disangka ternyata Kyai Husein teman pak dhe Zahra, disusul belakangnya Zaka dan ibundanya bernama Siti Aisyah. Dengan tatap muka kaget ia tak menyangka bahwa Zaka akan datang kerumahnya, pertanyaan pun membuncah dikepalanya. “Ada apa ini?, apa yang terjadi? Kenapa Zaka sampai rumahku?”.

Abah Zahra pun jua menyusul menyambut kedatangan keluarga Zaka, Zahra menuju kedapur menyiapkan minuman dan cemilan kecil untuk mereka. Setelah itu duduk penuh keheranan diantara mereka.
“Zahra, inilah maksud abah kemarin”.
“maksud abah yang mana?, Zahra jadi bingung”.
“Abah akan menjodohkanmu dengan nak Zaka, putra Kyai Husein ini”. Terang umi Zahra menjelaskan.

Hati Zahra pun semakin bingung, apa arti semua ini. Seakan langit yang awalnya mendung menjadi cerah, terang temerang memerkikkan suara alam riang. Dan merangkai obat akan kekecewaan yang dirasanya. Yang ada difikirannya pun hanyalah ucap syukur, yang awalnya kecewa karena perasaannya tak sampai dengan Zaka sekarang begitu membahagiakan. Masa lalu yang dulu bagai pelangi ternyata hanyalah ilusi.
“Masya Allah, dengan Zaka? Zaka sendiri kok tidak bercerita denganku tentang hal ini?”. Tanya Zahra pada Zaka.
“Aku sengaja membuat narasi seperti ini, agar kamu tahu bagaimana menyikapi sebuah keadaan dengan baik dan bijak”. Jawab Zaka dengan nada pelan.
“Iya Zahra, Abah jua sengaja tak memberitahumu agar menjadi kejutan untukmu”. Imbuh Abah Zahra.
“Namun, dulu Zaka pernah bilang kalau akan belajar dulu sampai Mesir”. Tanya Zahra kembali.
“Memang aku akan belajar dulu hingga tamat menjadi sastrawan sejati, rencananya besok akan berangkat ke Mesir. Hehe, ini Cuma sebagai penyambung tali silaturrahmi kita saja”. Jawab Zaka sambil tersenyum ringan.
Mereka pun berbincang cukup lama, dan usai itu Zaka dan kelurganya berpamitan untuk pulang dan menandakan salamnya untuk hari esok sebelum dia pergi ke Mesir. Zahra kembali tersirat sedih dalam parasnya, namun dia mengerti semua keadaan ini.
~~~

Lama menunggu, dari tahun ke tahun pun terlewati. Zaka kembali untuk Zahra, tepat dipertigaan depan rumah, Zaka memanggil Zahra dengan nada rindu yang tak terkira.
“Fatimah Nailatuz Zahra, syair cintaku berlanjut untukmu”.

Dengan raut kaget Zahra menoleh ke arah Zaka, menyuguhkan senyum simpul menyimpan rindu. Mereka pun kembali bertemu merangkai narasi hidup dengan syair nan indah. Menciptakan sebuah karya hidup yang tak pernah terbatas arti, memahami kondisi setia mereka jalani hingga akhir yang abadi. Berjalan bersama menuju teras rumah dengan hati penuh rasa bahagia
“nak Zaka sudah pulang to, kenapa ndak mengabari umi”. Sapa umi Zahra dari depan pintu.
“Nggeh umi, kemarin baru sampai dari bandara”. Jawab Zaka.
“Oalah, ya sudah beristiratlah dahulu disini. Zahra rindu sekali tuh padamu”. Sambung umi menyudutkan Zahra dan membuatnya tersipu malu.

Hari demi hari pun ia jalani bersama dengan ikatan suci nan bersih. Saling bersilang pendapat satu sama lain menambah wawasan masing-masing, melengkapi kekurangan dengan kelebihan masing-masing, itulah yang sering mereka lakukan bersama dalam cerita hidup mereka. “jiwaku adalah jiwamu dalam rupa yang berbeda”. Ya mungkin itu yang tepat untuk Zahra dan Zaka.
Sebuah cerita syair cinta sang pecinta melati air, menyuguhkan petuah tersembunyi dari balik tirai kehidupan. Dari fajar menjelang hingga senja menutup sang raja terang dengan begitu indah nan mengagungkan.

PROFIL PENULIS
Nama : Rofi'iyati
Asal Kota : Kudus, Jawa Tengah

No. Urut : 948
Tanggal Kirim : 02/05/2013 16:54:48
Baca juga Cerpen Cinta yang lainnya.

Post a Comment