Karena depresi itu sering merupakan masalah yang terjadi berulang-ulang, maka kadang-kadang episode depresi sebelumnya diinterpretasikan sebagai dasar untuk suatu episode yang berikutnya; dan dengan demikian, menghasilkan suatu gagasan bahwa suatu "kepribadian depresif' menghasilkan suatu gangguan depresif. Akan tetapi, dewasa ini pada umumnya orang menerima bahwa depresi yang ringan tidak dapat dijadikan dasar untuk depresi patologik yang berikutnya (Akiskal, et al., 1983).
Suatu karakteristik kepribadian pra-abnormal yang rupanya berperan dalam perkembangan depresi adalah introversi (Akiskal, et al., 1983; Hirschfeld, et al., 1983). Introversi mungkin ikut menyebabkan depresi karena individu yang introvert mungkin kurang mendapat dukungan sosial dan menggunakan strategi-strategi yang kurang efektif untuk menangani stres; dan faktor-faktor tersebut membuat individu-individu lebih mudah diserang oleh pengaruh-pengaruh stres yang dapat menimbulkan depresi.
Ada bukti bahwa perbedaan-perbedaan dalam kepribadian bisa mempengaruhi pola simtom yang berkembang. Juga ditunjukkan bahwa para wanita yang obsesif dan mengalami depresi, dengan demikian prihatin akan kehilangan kontrol, memiliki kemungkinan yang lebih besar dalam memperlihatkan simtom-simtom agitasi dan kelihatannya mengalami depresi yang lebih hebat dibandingkan dengan para wanita yang mengalami depresi meskipun tidak obsesif (Lazare & Klerman, 1968).
Sebagai kesimpulan dapat dikatakan, tidak ada bukti yang kuat bahwa setiap sifat kepribadian tertentu yang pra-abnormal menimbulkan depresi secara langsung. Akan tetapi, sifat-sifat kepribadian pra-abnormal bisa ikut menyebabkan secara tidak langsung perkembangan depresi dengan menciptakan lingkungan-lingkungan interpersonal (dukungan sosial kurang, stres kehidupan) yang dapat menyebabkan depresi. Selanjutnya, karakteristik-karakteristik kepribadian pra-abnormal dapat mempengaruhi gambaran simtom yang berkembang.
Pustaka
Kesehatan Mental 2 Oleh Drs.Yustinus Semiun, OFM
Post a Comment