Kegiatan memaknai dan menerjemahkan serta menyampaikan sesuatu pesan ternyata telah dilakukan wali-wali terdahulu kita khususnya yang berada di tanah jawa. Mereka mampu menggunakan bahasa yang lunak guna menyebarkan dakwah di tanah jawa ini sepertihalnya menyiratkan pesan syariat, hakikat, hingga makrifat dalam kidung ataupun tembang guna menyesuaikan tingkat pemahaman (understanding) jemaat (addressee). Kegiatan translation (menerjemahkan, memaknai, translasi) yang dikenal sebagai wahana penyampaian arti dari naskah sumber ke bahasa sasaran tidak selalu dilakukan dengan bahasa yang ekstrim dan harus persis sesuai sumber. Memang dalam menerjemahkan, sering terjadi degradasi arti baik penambahan makna (increase in meaning) ataupun pengurangan makna (decrease in meaning). Hal itu sangatlah lumrah dan tentunya tidak luput dari pengaruh faktor-faktor non kebahasaan (extralinguistic factor), situasi ataupun budaya misalnya.
Para wali terdahulu, selain memiliki karomah juga memiliki seni dalam berdakwah. Mereka benar-benar bisa membaca situasi ataupun budaya saat itu. Katakanlah pada abad ke 16 di Tanah Jawa terjadilah pemberontakan Majapahit yang secara berangsur-angsur mulai runtuh dan bergantilah menjadi kerajaan Demak. Transformasi tersebut memang tidak terlepas dari influence para wali yang mengenalkan Islam pada mereka khususnya kaum praja. Para wali mampu membaca, memaknai, dan menyampaikan dengan bahasa simbolis yang mampu diserap oleh rakyat pada waktu itu walaupun pemaknaannya tidak langsung bisa dieksploitasi seketika. Perwujudan bahasa yang semiotis saat itu dimunculkan oleh wali (sunan) seperti kidung ataupun tembang salah satunya adalah tembang lir-ilir.
Lir-ilir, tembang ataupun lagu yang sering dinyanyikan banyak orang, sering sekali tidak dikupas maknanya, hanya mungkin begitu akrab saja ditelinga anak-anak SD. Makna yang terkandung dalam lagu itu sebenarnya diambil dari beberapa surat alquran yang kemudian Sunan Kalijaga meramunya dengan bahasa semiotis yang mampu diterima masyarakat hindu yang sedang bermuallaf ke agama islam. Penyebaran agama Islam saat itu benar-benar tidak ada sedikitpun kekerasan ataupun pemaksaan malahan media dakwah begitu menyentuh dan menyiratkan makna yang begitu dalam. Untuk lebih jelasnya marilah kita kupas lebih jauh bagaimanakah analisis kidung itu secara linguistic.
Awal bait lagu tersebut dimulai dengan kata seruan “lir-ilir” yang berarti seruan untuk mengajak sadar, hidup, dan bangun. Penggunaan kata tersebut merupakan pemilihan diksi yang begitu estetik karena selain memiliki makna tekstual kata itu juga memiliki makna kontekstual yang terjadi pada saat itu. Sunan Kalijaga ingin menyampaikan pesan kepada mereka yang berada dalam tengah keruntuhan kerajaan krisis kepamimpinan dan ketidakstabilan politik di kerajaan majapahit pada saat itu. Sunan kalijogo sudah memiliki pandangan futuristik bagaimana keaadan kerajaan majapahit tersebut. Dalam seruannya, Sunan hanyalah mengajaknya bangun, bangkit dan hidup. Secara sastra seruan “lir-ilir” tersebut dipilih sunan guna mendeskrisikan keaadaan tanah jawa yang begitu indahnya tentunya kata seruan itu tidaklah jauh dari frase angin sumilir. Angin yang bertiup sepoi-sepoi. Teknik metafora digunakan sunan dalam baris pertama tembang tersebut. Sunan juga menggunakan tactile imagery sebagaimana angin itu meniupkan dengan kelembutan yang kemudian diadopsinya kata itu.
Baris kedua, tandure wus sumirlir, tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar penggunaan rhyming yang sepadan “…ir, …ir” sesuai dengan seruan pada bait pertama. Arti sebnarnya adalah setelah kita bangkit berdzikir, maka kekuatan itulah dapat menumbuhkan tanaman/ pohon yang subur nan hijau. “Tak senggo temanten anyar” lagi-lagi sunan Kalijogo menggunakan figurative language, yaitu menggunakan imaginasi daripada arti yang literal. Dalam teknik figurative language, Sunan menggunakan metafora untuk membandingkan tanndure wis sumilir, tak ijo royo-royo dengan menggunakan kata “tak senggo” kalau dalam bahasa Indonesia bisa diterjemahkan bak, seperti dan dalam bahasa Inggris bisa di terjemahkan as, like dsb. Arti secara kontekstual yakni, Sunan ingin merumpamakan pohon itu memiliki banyak manfaat yang signifikan dan “tak senggo temanten anyar” dia menggunakan majas metafora guna menyimbolkan bahwa raja-raja pada masa pemerintahan Majapahit sedang mengalami transformasi ke agama Islam maka diumpamakan mereka adalah temanten anyar. Temanten/ pengantin adalah, seseorang yang dihalalkan untuk menggauli wanita/atau pria yang sudah dinikahinya dan kesan alienation sangat identik saat mereka berhubungan. “Cah angon cah angon penekno blimbing kuwi” dalam hal ini sunan merumpamakan raja-raja yang memeluk agama itu adalah orang yang menggembala. Kenapa menggembala? Karena orang menggembala adalah orang yang menjadi panutan atas apa yang iya gembalakan. Penggembala adalah pemimpin dan pemimpin secara harfiah tidaklah harus berada di depan. Pemimpin/penggembala bisa berada di depan, ditengah ataupun dibelakang tergantung situasi dan kondisi serta siapa yang dipimpinnya. Misalnya, seorang pemimpin upacara bendera, selalu memimpin ditempatkan di depan, seorang penggembala bebek mereka akan selalu berada di belakang, akan tetapi pemimpin kesebelasan/ kapten sepak bola bisa berada di depan, belakang ataupun ditingah yang dipimpinya. Fenomena tersebut diibaratkan sunan pemimpin itu adalah cah angon, angon siapa? ya angon rakyat..
Kemudian cah angon/pemimpin tersebut di susul dengan kata kerja dan objek “penekno blimbing kuwi” yang artinya tunaikan rukun Islam yang lima. Kenapa bisa begitu? Sunan Kalijaga menggunakan pesan untuk menunailan syahadat, sholat, puasa, Zakat, haji dengan menyimbolkan dalam sebuah belimbing yang memiliki lima sudut itu. Semiotis memang, sunan Kalijaga tidak langsung menyampaikan kepada addresse secara langsung untuk bersyahadat, berpuasa, berzakat, berhaji dsb melainkan Sunan hanyalah berpesan kepada mereka untuk memanjatkan pohon belimbing itu. Bagaimana yang terjadi bila doktrin agama islam itu langsung dicekokkan kepada raja-raja tanpa mengolah arti dan menyimbolkan dengan belimbing itu? Tentunya mereka emoh untuk beragama islam dan mereka pasti meng kick out Sunan. Kemudian bait itu diikuti dengan adverbial (kata keterangan) “lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodotira”
Kemudian dilanjutkan dengan “dodotiro dodotiro, kumitir bedah ing pinggir”, yang berarti kain-kain itu sudah mulai robek di pinggirnya. Kenapa sunan menggunakan metafora dodotira atau kain yang digunakan selimut atau pakaian raja-raja tanah jawa? hal itu dikarenakan kata agama itu merupakan loan word yang kemudian mengalami akulturasi budaya dan dalam dalam bahasa jawa diterjemahkan ‘ageman”, Nah ageman (dodotiro) tersebutlah dimajaskan (dimetaforakan) oleh Sunan guna merumpamakan layaknya agama yang sempurna adalah agama yang didalamnya dipanjatkan belimbing (rukun islam yang lima). Kemudian, “dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore” artinya sulamlah, tambalah, sempurnakanlah agama itu agar jikala matahari tenggelam di ufuk barat (umurmu sudah senja) bekal agamanya sudah sempurna untuk menghadapnya. “Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane” artinya mumpung masih ada kesempatan, masih ada kelapangan marilah kita berbenah. Baris terakhirnya adalah “yo surako surak hiyo” berarti sambutlah dengan sorak-sorai atau hati yang bahagia.
Sangat dahsyat tembang itu, liriknya penuh dengan lirik yang indah dan memiliki makna yang dalam baik tekstual maupun kontekstual. Ajaran syariat hingga makrifat terangkup dalam setiap baris tembang itu dari mulai menjalankan syariat hingga makrifat yaitu hablu minallah yang kemudian dalam lirik terakhirnya “yo surako surak hiyo” saat syakaratul maut menghadap, bukanlah materi lagi yang dibutuhkan untuk menghadapNya melainkan dodotira yang disulam dan diperbaikinya (agama) dan kita harus menyambutnya dengan “surako surak hiyo” memiliki makna bahwa ikhlas dan tanpa beban lagi saat maut menjemput.
Simple memang, tak terlalu bertele-tele, mudah di ingat, easy listening, sarat makna dan kaya akan teknik sastra. Begitu hebat Sunan Kalijaga saat itu meski belum ada sekolah formal, pendidikan bahasa, ataupun Fakultas Sastra akan teteapi Sunan Kalijaga meramunya, menyusunnya, menerjemahkannya, menyimbokan dan menyampaikan pesan makrifat untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Hal itulah yang mempesona para umat saat itu, Sunan Kalijaga tak pernah sekalipun memaksakan untuk masuk ke agama Islam, akan tetapi sunan memiliki bargaining power untuk mengajak rakyat hingga para praja dengan bahasa persuasive yang dia miliki. Kita umat manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya tak terasa kenikmatan Islam telah kita nikmati walaupun tanpa sedikitpun menegok latar belakang historis kenapa kita bisa Islam dan cukupkah Islam kita hanya untuk islam-islaman? Mengklaim bahwa islam inilah yang benar dan kelompok inilah yang benar. Sangat SALAH Marilah kita bersandar sejenak, merenungkan dari mana dan akan kemanakah kita, dan siapakah yang mengenalkan kita pada Muhammad dan Allah SWT Tuhan kita? Jawabnya adalah para waliyullah.. Sunan Kalijaga mengenalkan kita akan pesan Alquran dengan metodenya yaitu budaya, sastra dan seni tanpa menghilangkan skeptism rakyat Jawa dengan mencekokkan pesan Islam yang kearaban.
Post a Comment