AYO KITA BERPERANG!!!
Karya Arasy Nurjatmika
Kisahku berawal ketika aku menjadi relawan di sebuah panti asuhan. Dia yang mengantarku ke kantor Bunda ~kepala panti~. Seorang ODHA yang “dibuang” keluarganya. Abi namanya. Abimanyu Aryasena tepatnya. Dia tampan, tinggi, kulitnya agak cokelat, suaranya agak serak, pipinya tirus, badannya tegap dan perfect. Umurnya 5 tahun lebih tua dariku tapi setelah aku mengenalnya lebih dalam sama sekali tidak ada jarak diantara kami. Dan sekarang aku telah menjalin “hubungan” dengannya. Aku tidak tahu apa status hubungan kami itu, yang aku tau dia mencintaiku dan aku mencintainya. Abi tidak pernah mau berkomitmen denganku. Abi bilang dia akan meninggalkanku suatu saat nanti. Abi tidak mau menganggap hubungan kami adalah pacaran. Tapi setiap saat Abi selalu bilang dia cinta sama aku. Aku bingung ketika harus mengenalkan Abi ke teman-temanku. Sebelum aku mengenalkan dia ke teman-temanku dia sudah mengenalkan diri dengan mengucapkan “Abi, teman Karin” padahal aku tau kami lebih dari sekedar teman. Tapi aku tidak peduli.
***
Kisahku berawal ketika aku menjadi relawan di sebuah panti asuhan. Dia yang mengantarku ke kantor Bunda ~kepala panti~. Seorang ODHA yang “dibuang” keluarganya. Abi namanya. Abimanyu Aryasena tepatnya. Dia tampan, tinggi, kulitnya agak cokelat, suaranya agak serak, pipinya tirus, badannya tegap dan perfect. Umurnya 5 tahun lebih tua dariku tapi setelah aku mengenalnya lebih dalam sama sekali tidak ada jarak diantara kami. Dan sekarang aku telah menjalin “hubungan” dengannya. Aku tidak tahu apa status hubungan kami itu, yang aku tau dia mencintaiku dan aku mencintainya. Abi tidak pernah mau berkomitmen denganku. Abi bilang dia akan meninggalkanku suatu saat nanti. Abi tidak mau menganggap hubungan kami adalah pacaran. Tapi setiap saat Abi selalu bilang dia cinta sama aku. Aku bingung ketika harus mengenalkan Abi ke teman-temanku. Sebelum aku mengenalkan dia ke teman-temanku dia sudah mengenalkan diri dengan mengucapkan “Abi, teman Karin” padahal aku tau kami lebih dari sekedar teman. Tapi aku tidak peduli.
***
Ayo Kita Berperang!!! |
Abi bertemu Vino...
“Karin!” suara Vino memanggilku dari belakang.
“Hei!” jawabku.
“Sibuk ngga? Butuh bantuan ngerjain makalah nih!”
“Gue mau ke panti sih, ada janji sama anak-anak.”
“Oh yaudah nanti malem gue ke rumah lo aja boleh?”
“Kalo ngerjain di panti aja gimana?”
“Serius gapapa? Gue ngga ganggu?”
“Gapapa kok tenang aja.”
“Yaudah yuuuk!”
Panti sudah menjadi rumah kedua untukku. Aku lebih merasa nyaman di panti ketimbang di rumahku sendiri. Kepuasan batin setelah melihat anak-anak tertawa yang membuatku nyaman di panti. Terlebih kesibukan mami dan papi membuatku tidak betah di rumah. Sesampai di panti, aku meminta Vino menungguku di ruang tamu sementara aku menepati janjiku dengan anak-anak. Disana Vino bertemu Abi. Selesai menepati janjiku kepada anak-anak aku kembali ke ruang tamu. Abi masih di sana. Aku tidak tau apa yang mereka bicarakan.
Hari semakin sore. Vino pamit pulang sementara aku masih di panti. Aku menghampiri Abi di kamarnya. Dia baru selesai mandi. Wangi sabun mentol menyerbak seisi kamar. Ia tersenyum melihatku lalu menghampiriku dan duduk di sebelahku sambil menyeruput teh hangat.
“Kamu mau juga?” tanyanya. Aku menggeleng. Ia letakkan cangkir tehnya di meja.
“Vino suka sama kamu.” Katanya tiba-tiba. Aku terkejut mendengarnya.
“Tau darimana?” tanyaku.
“Dari cara dia cerita tentang kamu ke aku tadi.” Jadi daritadi mereka membicarakan aku.
“Emang dia bilang apa aja?”
“Banyak. Dan dari semua itu aku narik kesimpulan kalo dia kagum banget sama kamu.”
“Terus kenapa kalo dia suka sama aku?”
“Dia bisa temenin kamu lebih lama daripada aku.”
“Kamu nyuruh aku ninggalin kamu? Never Bi!”
“Karin kamu lupa suatu saat nanti aku pasti ninggalin kamu?”
“Iya aku inget. Aku ngga akan pernah ninggalin kamu. Kalaupun kita harus pisah, biar kamu aja yang ninggalin aku.”
“Aku pengen ada yang jagain kamu terus Karin!”
“Kamu masih di sini kan? Kamu masih bisa jagain aku kan? Kalau kamu ninggalin aku nanti itu masalah nanti Bi. So please! Sekeras apapun kamu nyuruh aku ninggalin kamu sekeras itu juga aku akan tetap bertahan sama kamu. Dan aku minta kita ngga usah bicarain soal kematian lagi.” Kataku dengan sedikit emosi dan langsung pergi meninggalkan Abi. Abi tau aku marah. Dia memanggilku tapi tidak kuhiraukan.
***
Janji Abi....
“Karin! Ada Abi tuh!” kata Mami mengetuk pintu kamarku. Aku keluar dan menemui Abi di ruang tamu.
“Mami mau kemana?” tanya Abi melihat Mami keluar.
“Ngga tau.” Jawabku singkat.
“Masih marah ya?” tanyanya. Aku terdiam. Dia pindah duduk di sofa sebelah kananku dan duduk menghadapku.
“Maafin Abi yah?” suaranya yang khas membuatku terperangkap di dalamnya. Yang tadinya aku tidak mau melihat matanya kini aku melihat matanya.
“Abi sayang sama Karin.” Katanya sambil mengelus pipiku. Tangannya yang kasar lagi-lagi membuatku terperangkap di dalamnya.
“Abi ngga mau liat Karin sendirian.” Aku masih terdiam. Kini Abi menggenggam kedua tanganku.
“Maafin Abi yah?” katanya lagi.
“Aku ngga suka Abi ngomongin tentang itu terus.” Akhirnya aku buka suara.
“Iya maafin Abi yah? Aku janji ngga akan ngomongin itu lagi.”
“Janji ya?”
“Janji!” kata Abi sambil menyodorkan kelingking seperti anak kecil yang baru berbaikan setelah bertengkar.
***
Aku tampar dia....
Tak ada yang kuinginkan lagi setelah seharian lelah di kampus selain bertemu anak-anak di panti dan Abi. Hari ini aku ada janji sama Abi. Aku telpon Abi. Ternyata dia masih dalam perjalanan pulang dari bekerja. Abi bekerja di sebuah toko bunga. Saat aku berjalan menuju parkiran, Riko memanggilku.
“Kariiiiin!” teriaknya sambil berlari ke arahku.
“Mau kemana lo?” tanya Riko.
“Kenapa emangnya?”
“Inget ngga kita udah janji mau nonton hari ini? Tuh anak-anak udah pada nunggu. Yuuuuk!” katanya sambil menunjuk ke arah teman-temanku yang ada di seberang jalan.
“Yaaaah gue ngga bisa.”
“Mau kemana emangnya?”
“Mau ke panti. Ada janji gue.”
“Sama kita juga lo udah janji, Rin!”
“Next time aja ya, beneran deh.”
“Lagian lo masih aja sih hubungan sama si ODHA itu. Hey Kariin lo itu cantik, smart, anak orang kaya lagi, banyak yang mau sama lo. Kenapa harus sama si ODHA itu sih?” mendengar Riko menyebut Abi dengan sebutan ‘si ODHA itu’ aku emosi dan reflek aku menamparnya. Teman-temanku yang lain menghampiri aku termasuk Vino.
“Jangan sekali-kali lo sebut Abi dengan sebutan ‘si ODHA itu’!” Riko akan bicara lagi namun ditahan oleh Vino.
“Ko udah ko udah! Rin maafin Riko ya?” Vino langsung mengajakku pergi. Ia mengantarku ke mobilku. Aku menangis. Dia memelukku.
“Ngga usah dengerin Riko, Rin! Dia ngga kenal Abi siapa jadi dia ngomong gitu.”
“Mau gue anter pulang?” tanyanya. Aku menggeleng. Aku masuk mobil dan bergegas ke panti. Sepanjang jalan tidak dapat ku tahan air mataku. Hingga tiba di panti aku masih menangis. Ku parkir mobilku dan mencoba menenangkan diriku sendiri. Seorang anak penghuni panti melihatku menangis di dalam mobil dan dia berlari ke arah kamar Abi. Tak lama kemudian Abi datang menghampiriku. Dia mengetuk kaca mobilku. Aku keluar dan menangis di hadapannya. Dia memelukku. Berkali-kali dia bertanya ada apa tapi aku tidak sanggup menceritakannya. Dia mengajakku duduk di ruang tamu. Aku mulai tenang.
“Kenapa sayang?” tanyanya perlahan. Aku menggeleng.
“Bohong ah. Masa ngga apa-apa nangis.”
“Ngga bisa cerita Abii..... emang ada something tapi aku ngga bisa cerita. Butuh kamu aja di sini.”
“Yaudah ngga apa-apa.” Dia memelukku lagi.
***
Pesan Abi kepada Vino...
Abi memang tidak pernah mengeluh. Tapi aku tau dia sedang kesakitan. Dia terbaring di tempat tidur di kamarnya. Tubuhnya lemah, tidak seperti biasanya. Aku duduk di sebelahnya. Aku pegang tangannya. Abi berkata pelan kepadaku.
“Bisa tolong telfon Vino? Suruh dia kesini!” aku menurut. Aku telepon Vino dan memintanya datang. Dia bersedia. Tak lama Vino sampai. Aku membuatkan Vino minum dan kutinggal mereka berdua. Saat aku kembali Abi berkata serius kepadaku. Muka Vino sudah berubah.
“Kariiiiin......!”
“Iya?”
“Kamu tau kan aku sayang banget sama kamu. Sayaaaang banget. Tapi kamu juga tau kan aku ngga bisa temenin kamu terus. Aku pengen ada yang bikin kamu bahagia, aku pengen ada yang jagain kamu, aku pengen ada yang gantiin peran aku di hidup kamu. Dan orang itu Vino, Rin!” aku tau tujuan dari percakapan ini.
“Aku cuma rela kamu sama Vino. Aku ngga rela kamu sama yang lain. Cuma Vino orang yang tepat.” Katanya lagi. Aku masih terdiam.
“Vino tulus sayang sama kamu. Dan aku juga tau kamu sayang kan sama Vino? Mungkin sekarang cuma sayang sebagai sahabat. Tapi aku yakin seiring berjalannya waktu kamu pasti sayang sama Vino lebih dari sahabat. Kamu sayang kan sama Vino?” aku mengangguk. Aku memang sayang sama Vino tapi sebagai sahabat. Abi dan Vino dua orang yang sangat berarti di hidupku.
“Vin, gue titip Karin ya!”
“Pasti Bi! Tanpa lo minta gue pasti jaga Karin. Pasti!” Abi tersenyum. Aku dan Vino pun tersenyum.
***
Dan Abi pergi...
Kondisi Abi semakin parah. Tapi dia tidak pernah mau ke rumah sakit. Dia hanya ingin menghabiskan sisa waktunya di panti bersamaku, Bunda dan anak-anak lainnya. Jumat siang itu aku tiba di panti. Aku bergegas ke kamar Abi. dia tersenyum melihat kedatanganku. Dia menyuruhku berbaring di sebelahnya. Aku menurut. Dia menggenggam tanganku. Aku merasakan setiap helaan nafasnya. Rasanya nyaman sekali. Sangat nyaman.
“Karina Adinda Putri. Makasi ya.” Katanya pelan.
“Makasi juga Abimanyu Aryasena, udah kasih sejuta cinta tanpa status ke aku.”
“Hidup aku berubah 180 derajat karna kamu. Kamu kasih aku dunia baru yang jauh dari kata kesedihan, kepedihan dan kesengsaraan. Cuma kebahagiaan yang kamu kasih ke aku. Makasih.”
“Makasih juga kamu udah jadi guardian angel buat aku. Kamu bener-bener malaikat aku Bi.”
“Abi cuma punya Karin. Abi cuma sayang Karin. Abi cuma cinta Karin. Maaf kalo selama ini aku jauh dari kesempurnaan.”
“Kamu lebih dari sempurna buat aku.”
“Pokoknya kamu harus bahagia sama Vino. Kalau kamu kecewain Vino sama aja kamu kecewain aku.”
“Makasih udah kasih guardian angel buat aku. Maaf ngga bisa jadi yang terbaik buat kamu.”
“Abi cinta Karin. Cinta sekaliii....”
“Karin juga cinta Abi.” aku merasa Abi sudah tidak kuat. Nafasnya tersengal. Semakin lama semakin jarang. Dan nafasnya berhenti. Abi pergi. Meninggalkan aku. Tangannya masih menggenggam tanganku. Aku terdiam. Tidak menangis. Tidak berbicara apapun. Hanya terdiam. Bunda datang tapi aku masih terdiam. Aku kuatkan diriku. Aku bangun. Bunda memelukku sambil menangis, tapi aku tidak. Aku tatap Abi. bunda melepaskan pelukannya. Aku cium kening Abi. aku cium tangan Abi. aku sangat ingin mencium bibir Abi. Tapi Abi tidak pernah mengizinkan. Abi tidak mau aku tertular HIV. Aku peluk Abi. Aku baringkan kepalaku di dadanya. Aku baru menangis. Menangis sejadi jadinya. Tidak dapat lagi aku merasakan helaan nafasnya. HIV udah ambil cinta aku. HIV udah siksa cinta aku. HIV jahat. Aku bersumpah untuk bermusuhan dengannya. Aku mengutuknya. Aku bersumpah aku berperang dengannya. Dan aku berharap tidak ada lagi yang mengidap HIV. Aku berharap lagi tidak ada ‘Abi-Abi’ yang lain. Agar tidak ada yang merasa seperti yang aku rasa. HIV! AYO KITA BERPERANG!!!!!!
S E L E S A I
“Karin!” suara Vino memanggilku dari belakang.
“Hei!” jawabku.
“Sibuk ngga? Butuh bantuan ngerjain makalah nih!”
“Gue mau ke panti sih, ada janji sama anak-anak.”
“Oh yaudah nanti malem gue ke rumah lo aja boleh?”
“Kalo ngerjain di panti aja gimana?”
“Serius gapapa? Gue ngga ganggu?”
“Gapapa kok tenang aja.”
“Yaudah yuuuk!”
Panti sudah menjadi rumah kedua untukku. Aku lebih merasa nyaman di panti ketimbang di rumahku sendiri. Kepuasan batin setelah melihat anak-anak tertawa yang membuatku nyaman di panti. Terlebih kesibukan mami dan papi membuatku tidak betah di rumah. Sesampai di panti, aku meminta Vino menungguku di ruang tamu sementara aku menepati janjiku dengan anak-anak. Disana Vino bertemu Abi. Selesai menepati janjiku kepada anak-anak aku kembali ke ruang tamu. Abi masih di sana. Aku tidak tau apa yang mereka bicarakan.
Hari semakin sore. Vino pamit pulang sementara aku masih di panti. Aku menghampiri Abi di kamarnya. Dia baru selesai mandi. Wangi sabun mentol menyerbak seisi kamar. Ia tersenyum melihatku lalu menghampiriku dan duduk di sebelahku sambil menyeruput teh hangat.
“Kamu mau juga?” tanyanya. Aku menggeleng. Ia letakkan cangkir tehnya di meja.
“Vino suka sama kamu.” Katanya tiba-tiba. Aku terkejut mendengarnya.
“Tau darimana?” tanyaku.
“Dari cara dia cerita tentang kamu ke aku tadi.” Jadi daritadi mereka membicarakan aku.
“Emang dia bilang apa aja?”
“Banyak. Dan dari semua itu aku narik kesimpulan kalo dia kagum banget sama kamu.”
“Terus kenapa kalo dia suka sama aku?”
“Dia bisa temenin kamu lebih lama daripada aku.”
“Kamu nyuruh aku ninggalin kamu? Never Bi!”
“Karin kamu lupa suatu saat nanti aku pasti ninggalin kamu?”
“Iya aku inget. Aku ngga akan pernah ninggalin kamu. Kalaupun kita harus pisah, biar kamu aja yang ninggalin aku.”
“Aku pengen ada yang jagain kamu terus Karin!”
“Kamu masih di sini kan? Kamu masih bisa jagain aku kan? Kalau kamu ninggalin aku nanti itu masalah nanti Bi. So please! Sekeras apapun kamu nyuruh aku ninggalin kamu sekeras itu juga aku akan tetap bertahan sama kamu. Dan aku minta kita ngga usah bicarain soal kematian lagi.” Kataku dengan sedikit emosi dan langsung pergi meninggalkan Abi. Abi tau aku marah. Dia memanggilku tapi tidak kuhiraukan.
***
Janji Abi....
“Karin! Ada Abi tuh!” kata Mami mengetuk pintu kamarku. Aku keluar dan menemui Abi di ruang tamu.
“Mami mau kemana?” tanya Abi melihat Mami keluar.
“Ngga tau.” Jawabku singkat.
“Masih marah ya?” tanyanya. Aku terdiam. Dia pindah duduk di sofa sebelah kananku dan duduk menghadapku.
“Maafin Abi yah?” suaranya yang khas membuatku terperangkap di dalamnya. Yang tadinya aku tidak mau melihat matanya kini aku melihat matanya.
“Abi sayang sama Karin.” Katanya sambil mengelus pipiku. Tangannya yang kasar lagi-lagi membuatku terperangkap di dalamnya.
“Abi ngga mau liat Karin sendirian.” Aku masih terdiam. Kini Abi menggenggam kedua tanganku.
“Maafin Abi yah?” katanya lagi.
“Aku ngga suka Abi ngomongin tentang itu terus.” Akhirnya aku buka suara.
“Iya maafin Abi yah? Aku janji ngga akan ngomongin itu lagi.”
“Janji ya?”
“Janji!” kata Abi sambil menyodorkan kelingking seperti anak kecil yang baru berbaikan setelah bertengkar.
***
Aku tampar dia....
Tak ada yang kuinginkan lagi setelah seharian lelah di kampus selain bertemu anak-anak di panti dan Abi. Hari ini aku ada janji sama Abi. Aku telpon Abi. Ternyata dia masih dalam perjalanan pulang dari bekerja. Abi bekerja di sebuah toko bunga. Saat aku berjalan menuju parkiran, Riko memanggilku.
“Kariiiiin!” teriaknya sambil berlari ke arahku.
“Mau kemana lo?” tanya Riko.
“Kenapa emangnya?”
“Inget ngga kita udah janji mau nonton hari ini? Tuh anak-anak udah pada nunggu. Yuuuuk!” katanya sambil menunjuk ke arah teman-temanku yang ada di seberang jalan.
“Yaaaah gue ngga bisa.”
“Mau kemana emangnya?”
“Mau ke panti. Ada janji gue.”
“Sama kita juga lo udah janji, Rin!”
“Next time aja ya, beneran deh.”
“Lagian lo masih aja sih hubungan sama si ODHA itu. Hey Kariin lo itu cantik, smart, anak orang kaya lagi, banyak yang mau sama lo. Kenapa harus sama si ODHA itu sih?” mendengar Riko menyebut Abi dengan sebutan ‘si ODHA itu’ aku emosi dan reflek aku menamparnya. Teman-temanku yang lain menghampiri aku termasuk Vino.
“Jangan sekali-kali lo sebut Abi dengan sebutan ‘si ODHA itu’!” Riko akan bicara lagi namun ditahan oleh Vino.
“Ko udah ko udah! Rin maafin Riko ya?” Vino langsung mengajakku pergi. Ia mengantarku ke mobilku. Aku menangis. Dia memelukku.
“Ngga usah dengerin Riko, Rin! Dia ngga kenal Abi siapa jadi dia ngomong gitu.”
“Mau gue anter pulang?” tanyanya. Aku menggeleng. Aku masuk mobil dan bergegas ke panti. Sepanjang jalan tidak dapat ku tahan air mataku. Hingga tiba di panti aku masih menangis. Ku parkir mobilku dan mencoba menenangkan diriku sendiri. Seorang anak penghuni panti melihatku menangis di dalam mobil dan dia berlari ke arah kamar Abi. Tak lama kemudian Abi datang menghampiriku. Dia mengetuk kaca mobilku. Aku keluar dan menangis di hadapannya. Dia memelukku. Berkali-kali dia bertanya ada apa tapi aku tidak sanggup menceritakannya. Dia mengajakku duduk di ruang tamu. Aku mulai tenang.
“Kenapa sayang?” tanyanya perlahan. Aku menggeleng.
“Bohong ah. Masa ngga apa-apa nangis.”
“Ngga bisa cerita Abii..... emang ada something tapi aku ngga bisa cerita. Butuh kamu aja di sini.”
“Yaudah ngga apa-apa.” Dia memelukku lagi.
***
Pesan Abi kepada Vino...
Abi memang tidak pernah mengeluh. Tapi aku tau dia sedang kesakitan. Dia terbaring di tempat tidur di kamarnya. Tubuhnya lemah, tidak seperti biasanya. Aku duduk di sebelahnya. Aku pegang tangannya. Abi berkata pelan kepadaku.
“Bisa tolong telfon Vino? Suruh dia kesini!” aku menurut. Aku telepon Vino dan memintanya datang. Dia bersedia. Tak lama Vino sampai. Aku membuatkan Vino minum dan kutinggal mereka berdua. Saat aku kembali Abi berkata serius kepadaku. Muka Vino sudah berubah.
“Kariiiiin......!”
“Iya?”
“Kamu tau kan aku sayang banget sama kamu. Sayaaaang banget. Tapi kamu juga tau kan aku ngga bisa temenin kamu terus. Aku pengen ada yang bikin kamu bahagia, aku pengen ada yang jagain kamu, aku pengen ada yang gantiin peran aku di hidup kamu. Dan orang itu Vino, Rin!” aku tau tujuan dari percakapan ini.
“Aku cuma rela kamu sama Vino. Aku ngga rela kamu sama yang lain. Cuma Vino orang yang tepat.” Katanya lagi. Aku masih terdiam.
“Vino tulus sayang sama kamu. Dan aku juga tau kamu sayang kan sama Vino? Mungkin sekarang cuma sayang sebagai sahabat. Tapi aku yakin seiring berjalannya waktu kamu pasti sayang sama Vino lebih dari sahabat. Kamu sayang kan sama Vino?” aku mengangguk. Aku memang sayang sama Vino tapi sebagai sahabat. Abi dan Vino dua orang yang sangat berarti di hidupku.
“Vin, gue titip Karin ya!”
“Pasti Bi! Tanpa lo minta gue pasti jaga Karin. Pasti!” Abi tersenyum. Aku dan Vino pun tersenyum.
***
Dan Abi pergi...
Kondisi Abi semakin parah. Tapi dia tidak pernah mau ke rumah sakit. Dia hanya ingin menghabiskan sisa waktunya di panti bersamaku, Bunda dan anak-anak lainnya. Jumat siang itu aku tiba di panti. Aku bergegas ke kamar Abi. dia tersenyum melihat kedatanganku. Dia menyuruhku berbaring di sebelahnya. Aku menurut. Dia menggenggam tanganku. Aku merasakan setiap helaan nafasnya. Rasanya nyaman sekali. Sangat nyaman.
“Karina Adinda Putri. Makasi ya.” Katanya pelan.
“Makasi juga Abimanyu Aryasena, udah kasih sejuta cinta tanpa status ke aku.”
“Hidup aku berubah 180 derajat karna kamu. Kamu kasih aku dunia baru yang jauh dari kata kesedihan, kepedihan dan kesengsaraan. Cuma kebahagiaan yang kamu kasih ke aku. Makasih.”
“Makasih juga kamu udah jadi guardian angel buat aku. Kamu bener-bener malaikat aku Bi.”
“Abi cuma punya Karin. Abi cuma sayang Karin. Abi cuma cinta Karin. Maaf kalo selama ini aku jauh dari kesempurnaan.”
“Kamu lebih dari sempurna buat aku.”
“Pokoknya kamu harus bahagia sama Vino. Kalau kamu kecewain Vino sama aja kamu kecewain aku.”
“Makasih udah kasih guardian angel buat aku. Maaf ngga bisa jadi yang terbaik buat kamu.”
“Abi cinta Karin. Cinta sekaliii....”
“Karin juga cinta Abi.” aku merasa Abi sudah tidak kuat. Nafasnya tersengal. Semakin lama semakin jarang. Dan nafasnya berhenti. Abi pergi. Meninggalkan aku. Tangannya masih menggenggam tanganku. Aku terdiam. Tidak menangis. Tidak berbicara apapun. Hanya terdiam. Bunda datang tapi aku masih terdiam. Aku kuatkan diriku. Aku bangun. Bunda memelukku sambil menangis, tapi aku tidak. Aku tatap Abi. bunda melepaskan pelukannya. Aku cium kening Abi. aku cium tangan Abi. aku sangat ingin mencium bibir Abi. Tapi Abi tidak pernah mengizinkan. Abi tidak mau aku tertular HIV. Aku peluk Abi. Aku baringkan kepalaku di dadanya. Aku baru menangis. Menangis sejadi jadinya. Tidak dapat lagi aku merasakan helaan nafasnya. HIV udah ambil cinta aku. HIV udah siksa cinta aku. HIV jahat. Aku bersumpah untuk bermusuhan dengannya. Aku mengutuknya. Aku bersumpah aku berperang dengannya. Dan aku berharap tidak ada lagi yang mengidap HIV. Aku berharap lagi tidak ada ‘Abi-Abi’ yang lain. Agar tidak ada yang merasa seperti yang aku rasa. HIV! AYO KITA BERPERANG!!!!!!
S E L E S A I
PROFIL PENULIS
Nama : Arasy Nurjatmika
Tempat, tanggal lahir : Jakarta, 3 Juli 1995
Facebook : Arasy Nurjatmika
Tempat, tanggal lahir : Jakarta, 3 Juli 1995
Facebook : Arasy Nurjatmika
Baca juga Cerpen Cinta yang lainnya.
Post a Comment