Jakarta - Pembelian tank Leopard dilakukan tanpa rekanan. Laporan dari dekat perundingan jual-beli senjata.
Aroma masakan Nusantara menguar dari dalam perahu motor yang temaram. Meski udara luar sangat menusuk, sekitar 2 derajat Celsius, cruise yang siap menyusuri sepotong kanal Amsterdam itu terasa nyaman dengan mesin penghangat. Di meja kecil terhidang nasi, gado-gado, tempe goreng, sate ayam, juga bakwan udang. Kerupuk dan emping melinjo ditempatkan di dalam stoples di meja lain.
Di atas kapal yang romantis, canal cruise dinner Rabu malam 1 Februari 2012 itu membicarakan bisnis peranti militer: jual-beli 80 tank berat Leopard 2A6. Tuan rumahnya Defence Materiel Organization Belanda, yang dipimpin Direktur Pengadaan A.GJ. Van fe Geijn. Tamunya: rombongan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat pimpinan Wakil Kepala Staf Letnan Jendral Budiman.
“Kita akan menyusuri malam di atas kanal,” kata Nicole Hooft, asisten mengurusi logistik militer Belanda itu. Berangkat dari halaman belakang Hotel Hilton, Apollolaan, Amsterdam, perahu menyusuri Reijnier Vinkeleskade, Josef Israelskade, dan memutar kembali di Weesperzijde.
Van de Geijn Dan Budiman duduk di sofa melingkar di bagian anjugan perahu. Disitu ada pula Kapten Rutger Poerlakker (account manager marketing and sales badan logistic militer Belanda), Mayor Jendral Subekti (Asisten Perencanaan Kepala Staf TNI Angkatan Darat) dan Brigadir Jendral Purwadi Mukson (Komandan Pusat Persenjataan Kavaleri TNI).
Satu setengah jam kemudian, perahu tiba kembali di halaman belakang Hilton. Semua terlihat gembira. Sebelum berpisah, sambil menyalami Budiman, Van De Geijn berujar, “Suatu ketika saya akan pergi ke Pare.” Ia mengatakan memiliki kerabat di suatu daerah di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, itu. Semua tertawa.
Makan malam dengan menu Indonesia di atas kanal Amsterdam itu menjadi semacam perayaan atas hasil negosiasi pada petang harinya. Kedua tim membicarakan harga jual-beli tank di business centre Hotel Hilton, tempat rombongan menginap. Tuan rumah, yang berniat melepas sebagian besar peralatan militernya akibat krisis ekonomi Eropa, diwakili Van De Geijn, Kepala Pemasaran dan Penjualan Letnal Kolonel Jo Fick, dan Rutger Poelakker. Pemerintah Indonesia diwakili Direktur Jendral Strategi Pertahanan Mayor Jendral Ediwan Prabowo; Subekti; Atase Pertahanan di Belanda, Kolonel Pnb Julexi Tambayon; dan atase pertahanan di Jerman, Kolonel Fachri Adamy.
Tim dari Jakarta datang dengan perkiraan harga US$ 2,2 juta per unit. Menurut Budiman, angka itu dibuat berdasarkan basis perhitungan ekonomi, termasuk usia tank. Leopard 2A6 merupakan main battle tank alias tank berat buatan Jerman pada 2003. Namanya diambil dari hewan lincah macan tutul. Angkatan bersenjata Belanda memiliki 150 unit yang disimpan di pusat logistik Tweente. Tank itu dideretkan di hangar besar. Semua terlihat bersih.
Tim yang terdiri atas delapan orang, termasuk Letnan Jendral Budiman, memeriksa satu per satu tank Leopard di gudang itu. Mereka memeriksa roda, memanjat bagian kanon, masuk ke ruang penumpang, juga melihat persediaan suku cadangnya.
Semua anggota tim mencoba mengendarai tank di area yang sengaja dibikin bergelombang dan tertutup salju. Kendaraan baja itu enteng saja melewati tanggul setinggi dua meter dalam kecepatan 60 kilometer per jam. “Malah lebih nyaman daripada BMW Seri 5,” kata Duta Besar Indonesia di Belanda, Retno Marsudi, yang juga ikut mencoba tank. Dalam perundingan di Hotel Amsterdam, wakit pemerintah Belanda membukan penawaran US$ 2,5 juta per unit. Budiman, yang memantau negosiasi dari kamarnya, mengintruksikan perundingan untuk berhenti pada harga US$ 1,818 juta. “Kalau harga dapat ditekan, kita bisa memperoleh tank lebih banyak,” ia memberi alasan.
Kolonel Fachri Adamy, yang berasal dari Padang, menjadi ujung tombak perundingan. “Ia menggunakan gaya Padangnya untuk menawar,” kata Mayor Jendral Subekti seusai perundingan. Negosiasi ditutup sekitar 18.00 waktu setempat. Ketika kedua tim perunding kemudian makan malam di atas kanal, posisi harga mulai mencapai titik temu. Tuan rumah berhenti di harga US$ 1,9 juta per unit, dan calon pembeli tak menaikkan tawarannya. Pada akhirnya, pemerintah Belanda memberi harga lebih rendah: US$ 1,8 juta per unit.
Selain menginginkan tank tempur, pemerintah sebenarnya juga hendak membeli tank jembatan, pengankut tank, dan perangkat bengkel untuk perawatan. Total pembelian diperkirakan sekitar US$ 280 juta atau hampir Rp. 2,8 triliun. Angkatan darat berharap tank-tank bekas Belanda ubu sudah tiba di Tanah Air pada hari ulang tahun Tentara Nasional Indonesia, 5 Oktober 2012.
Dalam usaha mendatangkan tank berat itu ke Tanah Air, Angkatan Darat melakukan negosiasi langsung. Tak terlihat rekanan yang terlibat. Tempo diberi kesempatan mengamati proses ini dari dekat, meski penerbitan tulisan diembargo hingga kontrak jual-beli ditandatangani. Tapi kontrak tersebut ternyata tak pernah diteken karena parlemen Belanda tak menyetujui penjualan peralatan militer ke Indonesia.
Penolakan parlemen itu dimuat di halaman muka De Telegraaf, koran terbesar di Belanda, pada Rabu, 20 Juni 2012. Di situ ditulis, pemimpin Partai Buruh Diederik Samson menolak kunjungan Duta Besar Retno Marsudi. “Samson bersikap keras terhadap Ibu Duta Besar,” koran itu menulis. Mengutip kebiasaan diplomatik, De Telegraaf menyimpulkan penolakan itu sebagai penghinaan.
Kepada De Telegraaf, Retno Marsudi menanggapi penolakan itu dengan tenang. Ia mengatakan agenda Diederik Samson bisa jadi sangat padat. “Saya bisa menunggu. Saya tidak cepat tersinggung,” katanya. Kunjungan itu dilakukan sehari sebelum parlemen menggelar debat untuk membahas keputusan kabinet untuk menjual tank bekas ke Indonesia. Mayoritas suara di parlemen menentang keputusan itu karena menganggap situasi hak asasi manusia di Indonesia masih buruk.
Pemerintah Belanda kecewa terhadap gagalnya penjualan Leopard ke Indonesia. Padahal uang US$ 250 juta dianggap bisa membantu mengatasi krisis keuangan mereka. Menurut Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, mereka meminta jadwal pembelian diundurkan. “Kami tidak mau. Sebab, kalau diundurkan, target selesai 2014 tidak akan tercapai,” kata Sjafrie kepada Tempo.
Di tengah ketidakpastian pembelian dari Belanda, Markas Besar Angkatan Darat menjalankan skenario kedua : membeli langsung Leopard dari negara pembuatnya, Jerman. Ada dua perusahaan pembuat Leopard di negeri itu, yakni KMW dan Rheinmetall-dua perusahaan pemerintah yang bersaing. Mereka melancarkan berbagai lobi yang, menurut Sjafrie, “Bisa hitam,putih, atau abu-abu.”
Pada juli 2012, Letnan Jendral Budiman membawa anggota tim yang sama ke Jerman. Mereka melakukan negosiasi harga dengan manajemen KMW dan Rheinmetall. Pada akhirnya, Rheinmetall dipilih karena memberi harga lebih rendah dengan tambahan peralatan yang lebih banyak.
Tim kali ini memperoleh ”belanjaan” 61 tank Leopard Revolusioner dengan harga US$ 1,7 juta per unit dan 42 Leopard 2A4 seharga US$ 700 ribu per unit. Ditambah dengan lima tank recovery, tiga tank jembatan, tiga tank zeni, 72 tank Marder bonus 10 gratis, suku cadang lengkap untuk keperluan tiga tahun, amunisi dengan teknologi terbaru, serta dua transporter. Total belanjaan tetepa US$ 280 juta.
Dari sisi perlengkapan, menurut seorang anggota tim, Leopard RI lebih mutakhir dibandingkan 2A6. Tapi jarak tembak Leopard lebih jauh karena menggunakan laras L55-lebih panjang 1,3 meter daripada laras L44 Leopard RI. Ia menyebutkan tank yang dibeli pemerintah bisa diganti dengan laras yang lebih panjang.
Sjafrie mengatakan 44 tank yang siap pakai akan tiba November ini. Selama empat tahun akan dilakukan proses transfer teknologi. “Jadi,” kata dia, “begitu garansi habis, kita sudah bisa servis sendiri.”.
Sumber : Majalah Tempo Halaman 40-41/MIK/WDN
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Post a Comment