Ads (728x90)

Latest Post

Kesehatan

Tips

"The making of kretek involves three principal ingredients—tobacco, cloves, and sauce. The first two were brought together as the extraordinary consequence of history and chance, while the third reflects the traditional Indonesian predilection for spicing things up a little". (Hanusz: 2003)

Rokok Kretek
Kretek awalnya dikenal dengan ‘keretek’ atau, dalam bahasa Jawa, kumréték. Istilah ‘kretek’ diambil dari bunyi keréték-keréték yang timbul ketika sigaret dibakar dan diisap. 

Dari bunyi yang khas itulah nama ‘kretek’ berasal (onomatopoeic). Sebelum istilah ini dipakai, masyarakat mengenalnya dengan sebutan ‘rokok cengkeh’. 

Istilah ini muncul karena perbedaan antara kretek dengan jenis sigaret yang lain. Jika rokok putih, American Blends, hanya memakai tembakau (tembakau Virginia, Burley, dan tembakau Oriental), kretek merupakan racikan antara tembakau dengan cacahan cengkeh dan tambahan saus. 

Tembakau yang digunakan untuk sigaret kretek pun sangat beragam, bahkan mencapai lebih dari tiga puluh jenis tembakau. Inilah yang membuat sigaret kretek memiliki rasa dan aroma yang beragam dan unik.

Rokok Kretek
Secara historis, tembakau berasal dari Amerika dan mulai ditanam di Indonesia pada awal abad XVII. Alkisah, Christophorus Columbus, seorang pelaut Spanyol, lah yang membawa tembakau dari Amerika ke Eropa. 

Dalam ekspedisi Navidad yang dibiayai oleh Raja Ferdinand II & Ratu Isabella, itu Colombus menemukan the New World, tempat di mana ia bertemu dengan suku Lucayan, suku di Amerika yang menghidupi ritus menikmati daun tembakau. 

Colombus akhirnya pulang dengan membawa hasil perjalanan, termasuk diantaranya tembakau. Sejak perempat akhir abad ke- 16 itu, tembakau mulai dikenal di daratan Eropa. Kelak, bangsa Eropa pula yang kemudian menanamnya di nusantara, “Dunia Tua”; the Old World, demikian mereka menyebut tanah kita, surganya rempah-rempah.

Rokok Kretek
Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa Portugis-lah yang mengantar tembakau hingga Nusantara. Misalnya De Candolle, menurutnya tembakau pertama kali diperkenalkan oleh Portugis di Jawa tahun 1600. 

Ditegaskan pula oleh Prof G. Schlegel, bahwa kata “tembakau” dekat dengan “tabaco” atau “tumbaco”, kata yang dalam bahasa Portugis digunakan untuk menyebut tanaman tembakau. Sedangkan Hanusz mengajukan pendapat yang berbeda, menurutnya Belanda-lah yang telah melakukan penanaman tembakau secara besar-besaran di Jawa, Sumatera, Bali, dan Lombok.

Pendapat lain dikemukakan B.H.M Vlekke dalam Nusantara: a History of Indonesia, menurutnya tembakau dibawa ke Asia oleh Spanyol melalui Filipina dan mulai diketahui di Indonesia pada akhir kurun abad ke-16. 

Rokok Kretek
Senada dengan Vlekke, Tijdschrift voor Nederlandsche-India dalam artikel berjudul “Lets Over de Tabakskultuur op Java” menyatakan, tanaman tembakau telah diketahui di Hindia Belanda pada akhir abad ke-16, namun ketika itu Kompeni belum tertarik untuk membudidayakan. Para penduduk asli pada waktu itu menanam tembakau sebatas untuk kepentingan mereka sendiri.

Campur tangan Belanda muncul ketika tembakau tengah mendapat banyak perhatian dunia. Ketika itu, di Eropa dan Asia tengah banyak beredar sejumlah tulisan maupun praktik yang mengungkapkan manfaat tanaman tembakau bagi kesehatan. 

Di Jepang misalnya, tahun 1605, tembakau digunakan untuk kepentingan pengobatan. Tahun 1610, Edmund Gardener, seorang praktisi pengobatan Inggris, menulis The Triall of Tobacco yang berisi manfaat tembakau dalam semua pengobatan. Juga di Cina, pada zaman Dinasti Ming (sebelum tahun 1620), tembakau juga dipuji manfaatnya sebagai tanaman untuk pengobatan. 

Rokok Kretek
Sejak itulah, tepatnya beberapa saat setelah armada laut Belanda mendarat di Banten dan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) baru saja didirikan, Belanda mulai tertarik untuk membudidayakan tanaman tembakau di Hinda Belanda.

Pada dua dasawarsa awal abad XVII pula, Portugis dan Spanyol, dua bangsa yang menguasai pasar Eropa, mulai membudidayakan tembakau di Filipina, Jepang, India, dan banyak tempat lainnya. Budidaya tembakau di Nusantara oleh Belanda diadaptasi dari apa yang telah dilakukan Portugis dan Spanyol sebelumnya. Periode ini menjadi titik awal budidaya tembakau yang dengan sendirinya diikuti dengan tumbuhnya kebiasaan mengonsumsi rokok di Nusantara.

Kebiasaan merokok di Nusantara, menurut TS Raffless dalam History of Java, diperkenalkan oleh orang Belanda tahun 1601. Dalam Babad Ing Sangkala juga disebutkan bahwa kebiasaan merokok muncul berbarengan dengan mangkatnya Panembahan Senopati, yakni antara tahun 1601-1602. Di belahan pulau lain, dalam catatan seorang sumber Eropa, pada tahun 1603 penguasa Aceh dikisahkan telah terbiasa mengisap tembakau. Pada tahun yang sama, keberadaan perokok suku Jawa mulai terlihat di Banten.

Rokok Kretek
Namun Kebiasaan merokok di periode awal ini baru sebatas di kalangan Belanda, keraton dan priyayi. Baru sepanjang kurun abad XVI, yaitu periode awal kerajaan Mataram Islam, tindakan merokok mulai tampak lazim dikalangan masyarakat. 

Masa Mataram Islam, kebiasaan merokok memang telah meluas di kalangan masyarakat Jawa. Tetapi dua abad sebelumnya, kebiasaan merokok hanya lazim dilakukan oleh kalangan Keraton Mataram, Sultan Agung.  

Dalam Serat Centhini, yang digurat oleh tiga pujangga atas prakarsa putra mahkota Kerajaan Surakarta, Pangeran Adipati Anom Hamengkunegoro III, sekira tahun 1814, dikisahkan:

“Sekembalinya ke mesjid, Modin dan Bodin menggelar tikar dan meletakkan di atasnya pelita, kulit jagung dan tembakau, menyan madu sebesar biji kemiri, pisau untuk mengirisnya serta sebuah kendi. “Ayo, mari kita merokok dan minum seadanya!” Para tamu mencabik kulit jagung, merapikannya dengan pisau, menaruh tembakau dan kemenyan lalu melintingnya.”

Pun demikian dalam catatan Dr. H. De Haen, duta VOC, yakni ketika kunjungan audiensinya ke Keraton Mataram, ia menyaksikan Sultan Agung terus merokok menggunakan pipa berlapis perak. Seorang perutusan VOC yang lain juga pernah melihat Sultan Agung terus-menerus merokok ketika sedang memeriksa latihan perang-perangan. 

Tradisi mengisap tembakau dengan pipa juga diikuti oleh pengganti Sultan Agung, Sunan Amangkurat I, seperti dikabarkan oleh duta VOC Zebald Wonderer dan Jan Barentszoon yang mengunjungi Keraton Mataram di tahun 1645. Sedang sebuah informasi dari kurun yang lebih muda, yakni awal abad XVIII, menyebutkan hal serupa dilakukan oleh raja Mataram Sunan Pakubuwono I (1703-1719), putra Sunan Amangkurat I. 

Catatan mengenai ini dibuat oleh seorang pendeta VOC, F. Valentijn, yang pernah mengunjungi istana Mataram pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono I. Menurut Valentijn, di samping para penjaga, sejumlah abdi juga selalu berjaga di dekat Sri Baginda, masing-masing dengan tugas khusus. Salah seorang di antaranya membawa sepotong buluh, alat merokok Sri Baginda, dan seorang yang lain membawa tempurung kelapa untuk menaruh tembakau yang oleh duta VOC disebut “boengkoezen” (bungkus), yakni tembakau yang telah digulung menggunakan daun.

Rokok Kretek
Dalam beberapa catatan duta VOC selama tahun 1622 dan 1623 banyak mengisahkan hal serupa. Tak hanya di Sultan Agung, ditulis oleh Solichin Salam dalam Kudus dan Sejarah Rokok Kretek, bahwa tahun 1624, para pembesar Jawa di Keraton Kartasura juga gemar menghisap rokok dari tembakau. 

Sedangkan kebiasaan yang lazim dilakukan oleh rakyat jelata dalam menikmati tembakau pada masa itu masih berupa mengunyah sirih pinang.

Menginang menjadi bagian kebudayaan Nusantara dan merupakan jenis narkose yang paling digemari. Boleh dibilang menginang merupakan cikal bakal perkenalan orang Indonesia dengan kretek. Terutama ketika tradisi ini, di kemudian hari, disertai dengan penggunaan kapur (injet), gambir, dan tembakau. Apalagi, dari segi unsurnya, bahan-bahan dasar untuk ‘menginang’ bisa dibilang sama persis dengan apa yang terkandung dalam kretek. Tembakau untuk campuran sirih pinang dikenal dengan nama “tembakau sugi”. Orang-orang Jawa menyebutnya mbako susur.

Rokok Kretek
Di kalangan masyarakat Jawa umumnya, diperkirakan perdagangan sigaret baru berlangsung beberapa tahun kemudian. Perkiraan ini, sebagaimana disebutkan dalam Rokok Kretek: Lintasan Sejarah dan Artinya Bagi Pembangunan Bangsa dan Negara (Amen Budiman & Onghokham, 1987), tergambar dalam riwayat Pranacitra, mengenai kisah Rara Mendut di kesultanan Mataram pada paro pertama abad ke-17.

Kisah tentang Rara Mendut bermula ketika kafilah Sultan Agung, yang dipimpin oleh Tumenggung Wiraguna, berhasil menumpas pemberontakan Pati tahun 1627. Rara Mendut  adlah salah satu dari berbagai harta rampasan yang dibawa pulang Pasukan Mataram. Singkat cerita, Sultan Agung kemudian menghadiahkan Rara Mendut kepada Tumenggung Wiraguna. 

Ketika akan dipersunting, Rara Mendut menampik lamaran Wiraguna. Kontan, sang Tumenggung pun menjatuhkan hukuman kepada Rara Mendut berupa kewajiban membayar pajak tiga real sehari. Kalau tidak sanggup, Rara Mendut harus bersedia menjadi istri Wiraguna.

Rokok Kretek
Dikisahkan, Rara Mendut menyanggupi dengan mengajukan syarat, ia minta dibekali modal untuk berdagang rokok kelobot. Disebut rokok kelobot karena racikan tembakaunya dibungkus dengan kelobot (daun jagung yang dikeringkan), yang oleh orang Belanda disebut strootje. 

Sang tumenggung memberi izin, dengan syarat warung Rara Mendut mesti ditabir supaya penjual tak terlihat oleh banyak orang. Maka, dengan bekal 10 real dari Tumenggung Wiraguna (padahal Rara Mendut meminta tiga real), lengkap dengan tembakau sompok dari Imogiri, daun kelobot, bumbu-bumbu, dan ‘wur’ pemberian Nyai Ageng, Rara Mendut pun memulai usahanya.

Oleh Roro Mendut, kelobot hasil lintingan dijual setengah rupiah per batang, harga ini jauh lebih mahal di atas di pasaran. Puntungnya ia jual lebih mahal lagi. Rara Mendut beralasan, sebagaimana dituliskan oleh Budiman & Onghokham:

“Harga puntung rokoknya menurut panjang dan pendek ukurannya. Ada yang dua real sebatang, ada juga yang dua setengah real, tiga real dan empat real. …. Mau tahu sebabnya? Tentu saja, karena puntung rokok itu bekas kena bibirku dan telah leceh dengan air ludahku yang manis dan harum.”

Dengan sekejap orang-orang pun berebut membeli kelobot Rara Mendut. Jika tak ada uang, barang seperti kain, ikat pinggang, ikat kepala, keris, pedang, atau barang dagangan juga mereka berikan. Alhasil, penghasilan Rara Mendut sudah lebih dari cukup. 

Kisah ini dijelaskan secara panjang dalam Rokok Kretek: Lintasan Sejarah dan Artinya Bagi Pembangunan Bangsa dan Negara karya Amen Budiman & Onghokham dan Pranatjitra; Een Javaansche Liefde karya Dr. C.C Berg. Menurut Budiman dan Onghokham, naskah Pranacitra, yang menjadi sumber buku C.C Berg, berasal dari zaman Kartasura (1681-1743).

Rokok Kretek
Dengan demikian bisa disimpulkan, setidaknya setelah tahun 1627, rokok telah dikonsumsi oleh rakyat kebanyakan. Dugaan ini diperkuat oleh tulisan J.W. Winter, “Beknopte Beschrijving Van Het Hof Soerakarta In 1824”, catatan tentang cara hidup kebanyakan orang Jawa, di mana seorang laki-laki Jawa menghabiskan sejumlah uang yang cukup besar untuk konsumsi tembakau. 

Kebiasaan merokok klobot tidak dilarang oleh para penguasa Belanda, sebab menurut Prof. PM Laksono, tembakau merupakan jenis narkose yang mampu membuat rakyat melupakan ‘rasa penderitaan’, dan efeknya membuat mereka lebih giat bekerja. Tembakau sendiri, pada masa itu, jelas bukan komoditas yang sulit diakses.

Pada kurun berikutnya, yang tidak terpaut lama, pecah di Jawa, yang diikuti kebangkrutan VOC. Kongsi dagang yang menguasai seantero Hindia Belanda ini dilikuidasi tahun 1799. Belanda dirundung masa sulit. Hingga Akhirnya Johannes van den Bosch menerapkan Cultuurstelsel atau Tanam Paksa di HIndia Belanda.

Rokok Kretek
Gayung bersambut, setelah tahun 1830, Tanam Paksa pun akhirnya turut memunculkan perkebunan-perkebunan tembakau di daerah-daerah baru, seperti Kediri, Rembang, Madiun, Surabaya, Madura, Kepulauan Kai dan sekitarnya. 

Daerah-daerah yang lebih berhasil dalam pembudidayaan tembakau adalah di sekitar Klaten, daerah-daerah kesultanan, Jember dan Basuki. 

Untuk daerah Kedu, pada periode ini, Pemerintah Hindia-Belanda berusaha menanam tembakau dengan bibit luar negeri, yakni jenis Havana dan Maryland, dengan tujuan kepentingan ekspor Eropa. Antara tahun 1836 sampai 1845, tembakau menjadi salah satu tanaman yang wajib ditanam di bawah sistem Tanam Paksa, selain tanaman ‘tiga besar’ lainnya: tebu, kopi, dan nila.

Sedangkan di wilayah Sumatera, perkebunan tembakau yang berorientasi ekspor baru dimulai setelah tahun 1863, yakni ketika seorang juragan perkebunan Belanda bernama Jacobus Neinhuys menanam tembakau di Deli, Sumatera Utara. Karena kualitas daunnya yang bagus untuk membungkus cerutu, tembakau Deli akhirnya menjadi salah satu jenis tembakau terbaik di dunia. Alhasil, pada akhir abad 19, tembakau telah menjadi salah satu sumber utama pendapatan pemerintah Hindia Belanda.

Pemberlakuan Tanam Paksa di beberapa wilayah Nusantara turut memperluas persebaran konsumsi tembakau di kalangan masyarakat. Tak pelak, kebiasaan merokok pun akhirnya membudaya. Dan tembakau, meskipun bukan tanaman indigenous Indonesia, dalam kurun dua abad telah menjadi salah satu produk pertanian Nusantara yang diunggulkan. 

Rokok Kretek
Tembakau Jawa termasuk salah satu varietas paling kompleks yang sulit dipahami di dunia internasional. Terdapat sekitar seratusan jenis tembakau Jawa, yang masing-masing memiliki karakteristiknya yang khas. 

Tembakau paling legendaris dalam khasanah kretek nusantara adalah tembakau Temanggung. Sampai-sampai muncul klaim, kretek terbaik mestilah mengandung tembakau Temanggung.

Serupa namun tak sama, demikian antara tembakau dan cengkeh. Perjalanan historis rempah indigenous Nusantara ini juga menjalani nasib yang tidak jauh berbeda. Rempah ini pun menjadi komoditas yang paling diburu karena khasiat dan kegunaannya. 

Di Barat (Eropa dan Amerika), cengkeh digunakan untuk mengawetkan bahan makanan dan campuran masakan. Sedangkan masyarakat Timur lebih mengenal cengkeh sebagai tanaman obat. Sebagaimana diungkapkan oleh Hanusz, di Cina, cengkeh telah masyhur digunakan untuk berbagai macam kebutuhan pengobatan. Biji cengkeh juga dikembangkan sebagai terapi bagi penyakit jantung.

Tanaman ini telah tumbuh di Nusantara jauh sebelum tembakau dibudidayakan. Kendati belum ada kesepakatan dari para ahli botani mengenai asal muasal cengkeh, seorang saudagar Venesia bernama Nicolo Conti mengatakan bahwa cengkeh berasal dari Banda.  Pohon cengkeh tertua, konon, ditemukan di Pulau Ternate. Hingga abad kedelapan belas, Maluku menjadi penghasil cengkeh terbesar di dunia. Bisa dikatakan, tanaman ini menjadi rempah paling powerfull masa itu.

Rokok Kretek

Karena cengkeh dan pala pulalah, selama masa jabatan tiga gubernur jenderal VOC yang pertama: Pieter Both (1610-1614), Gerard Reynst (1614-1615) dan Dr. Laurens Reael (1615-1619), pusat kegiatan VOC ditempatkan di Benteng Oranje, Ternate.

Cengkraman VOC atas cengkeh terus berlanjut, dorongan untuk terus menanam cengkeh terus ditekankan. Hingga pada tahun 1650, De Vlaming, mencurigai adanya potensi kelebihan produksi cengkeh. 

Akhirnya ia membuat sebuah perjanjian dengan raja Ternate, Mandarsyah, yang berisi larangan menanam cengkeh kecuali Ambon dan daerah kekuasaan VOC. Pengendalian VOC atas cengkeh berlangsung hampir dua abad. Hingga tahun 1798, hegemoni VOC atas persediaan cengkeh dunia terus  bertahan. Baru ketika Inggris menjajah Bengkulu, budidaya cengkeh di luar Kepulauan Maluku mulai dilakukan.

Penanaman cengkeh yang semula merupakan kegiatan yang disukai oleh penduduk Ambon-Lease secara turun temurun, akibat sistem Tanam Paksa berubah menjadi kegiatan yang memberatkan. Monopoli dan Tanam Paksa cengkeh di Ambon-Lease berakhir tahun 1863. Namun sampai dengan tahun 1868, pemerintah Hindia Belanda terus berusaha membeli cengkeh hasil produksi Ambon-Lease.

Dalam khasanah rokok di nusantara, cengkeh manjadi unsur yang mengambil peranan penting setelah tembakau. Perjumpaan antara tembakau dan cengkah memunculkan berbagai kualitas rasa rokok di negeri ini. Sejak awal kebiasaan mengonsumsi rokok mulai populer, telah banyak jenis rokok asli Indonesia yang beredar, seperti kretek, rokok diko, klembak menyan, kelobot, rokok kawung, dan ico dari Bugis. 

Rokok Kretek
Rokok diko merupakan kembangan dari rokok klembak menyan yang ditemukan seorang mantri keraton Sala, Mas Ngabehi Irodiko. 

Rokok yang dibungkus dengan daun nipah ini berisi campuran tembakau dengan berbagai bahan seperti klembak, kemenyan, kemukus, kayu manis, pala, adas, pulosari, pucuk, cendana, ganti, tegari, mesoyi, waron, klabet, dupa, dll. 

Dalam penuturan Van der Reijden, Mas Ngabehi mengawali industri rokok di wilayah kerajaan Surakarta pertama kali ketika membuat rokok diko ini tahun 1890. ‘rokok nipah’ yang telah lazim dipakai orang pada waktu itu, hanya dilinting sendiri oleh para pemakainya.

Dari semua jenis rokok asli Indonesia, yang paling ‘tua’ adalah kelobot. Dalam catatan J.W. Winter, juga tersurat dalam Serat Centhini, dikisahkan bahwa rokok kelobot telah lazim terlihat antara tahun 1824 dan 1825, dan diperkirakan bahkan telah dimulai pada pertengahan abad XVII. Dalam “Geneeskundige Topographie van Samarang” bagian I karya Dr. P. Bleeker disebutkan, bahwa selain kelobot, pembungkus yang juga dipakai untuk membuatnya ialah daun pandan.

Rokok Kretek
Sebagai sebuah produk kebudayaan, kelobot juga pernah dianggap sebagai penanda identitas. Andreas Maryoto, dalam tulisannya di Harian Kompas, menyitir penggalan sebuah berita di harian Bintang Timoer yang dibukukan dalam Student Indonesia di Eropa :

“Kopinya bukan kopi saringan, tetapi kopi tubruk sebab kopi ini katanya nationaal, gulanya gula jawa. Susu tidak dipakai sebab tidak nationaal. Rokoknya kelobot. Selamatan nationaal ini terus (berlangsung—ed.) sampai pagi hari.” Tulisan ini menggambarkan bahwa sejarah pernah mencatat kelobot, sebagai salah satu simbol pergerakan nasional, ketika mahasiswa-mahasiswa Indonesia menimba ilmu di Belanda.

Lebih setengah abad kemudian, baru kretek atau rokok cengkeh ditemukan oleh Djamhari, diikuti dengan rokok diko ciptaan Mas Ngabehi Irodiko, dan rokok kawung di Jawa Barat. 

Rokok Kretek
Rokok kawung dibuat dengan pembungkus daun kawung (pohon aren). Penemunya adalah seorang Tionghoa penduduk Bandung pada 1905. Sedangkan klembak menyan adalah racikan tembakau dengan akar klembak, tumbuhan obat laksatif (menenangkan), dengan kemenyan. 

Rokok “klembak menyan” populer di kalangan masyarakat Kabupaten Purworejo, Kebumen dan Banyumas. Kemudian muncul rokok ico, rokok khas Bugis Sulawesi Selatan, yang dikreasikan oleh Haji Palerei pada 1970 di Wanua Barae. Rokok berupa gulungan tembakau kering bercampur ico dengan saus gula merah (dari pohon aren) dan membakarnya di dalam bambu (timpo).

Di antara sekian rokok asli khasanah Nusantara, yang hingga kini terus berkibar adalah kretek. Kretek, bagaimanapun,  identik dengan kota Kudus. Selain karena di kota inilah industri rumahan kretek dimulai, di sini pula sebagian besar raja kretek seperti Nojorono, Djambu Bol, dan Djarum membangun dan mengembangkan industrinya.

Ada beberapa pendapat mengenai siapa yang mula-mula menciptakan kretek, yang paling populer adalah Hadji Djamhari. Kisah tentang Hadji Djamhari dan kretek ibarat kumpulan keping-keping pazel yang dituturkan kembali secara terpisah-pisah oleh penduduk Kudus. 

Riwayatnya bermula ketika Hadji Djamhari menderita sakit dada yang berepanjangan. Untuk mengobatinya, ia mencoba menggosokkan minyak cengkeh di bagian dada dan punggungnya, ternyata merangsur-angsur tubuhnya membaik. Lantas ia mencoba mengunyah cengkeh, hasilnya jauh lebih baik. Kemudian terlintas dalam pikirannya untuk mencampurkan rempah-rempah ini dengan tembakau yang dipakainya untuk merokok. Hasilnya, penyakit dadanya Djamhari menjadi sembuh.

Cara pengobatan ini dengan cepat menyebar. Djamhari pun meracik dan menjualnya, hingga akhrnya ia kebanjiran permintaan. Karena memiliki kualitas pengobatan, kretek pun dijual di toko-toko obat. Hingga akhir dekade 80-an, kretek masih diposisikan sebagai obat. Terbukti pada beberapa kemasan merek sigaret kretek di masa itu yang tertulis: “Kalau Anda batuk dan isep ini rokok, maka batuk Anda akan sembuh.” Penemuan Hadji Djamhari ini kemudian menumbuhkan para produsen kretek berskala rumahan di Kudus.

[Tom Standage dalam bukunya tentang jenis-jenis minuman paling berpengaruh di dunia: A History of World in 6 Glasses (Walker Publishing Company, New York: 2006) mengisahkan ihwal minuman ini dalam satu bab khusus dan mengaitkannya dengan kebangkitan Amerika. Merek minuman terkenal ini diciptakan pada era yang nyaris berbarengan dengan kretek, ditemukan oleh seorang ahli obat paten bernama John Pemberton, dan—mirip dengan kisah penemuan kretek—mula-mula diklaim sebagai penyembuh penyakit saraf dan sakit kepala.]

Rokok Kretek
Budiman dan Onghokham memperkirakan kelahiran industri kretek di Kudus terjadi antara tahun 1870 sampai tahun 1880, sementara Hanusz secara pasti menyebut “awal tahun 1880” sebagai masa kelahiran kretek. Kretek, bagaimanapun, membutuhkan kreativitas intuitif untuk membubuhkan serpihan cengkeh ke dalam sigaret. Demikian yang dilakukan oleh pribumi bernama Haji Djamhari.

Jika sebagian orang percaya, dengan Coca-Cola Amerika menguasai dunia, Indonesia sesungguhnya memiliki ‘ramuan’ yang tak kalah dahsyat. Demikian Hanusz mendeskripsikan ramuan luar biasa yang terkandung dalam sebatang kretek:

“Often the sauce recipe for a popular brand of kretek is known to only two or three members of a company, which would make it a more closely guarded secret than the formula for Coca-Cola.”

Seturut yang diungkapkan Hanusz, terdapat sekurang-kurangnya lima puluh sampai dengan lebih dari seratusan rasa berbeda dalam saus kretek. Saus dalam kretek mencirikan selera dan kepekaan masyarakat, yakni kegemaran untuk menambahkan perasa pada apa sajian. Kegemaran khusus ini sesungguhnya tecermin pula dalam tradisi mengunyah sirih pinang, sebab orang bumiputera biasa menambahkan cengkeh dan rempah lainnya untuk menemani bahan-bahan utamanya.

Setidaknya ada dua alasan utama mengapa Saus menjadi penting bagi kretek. Pertama ialah mencirikan karakter rasa dan merek rokok. Saus, dalam hal ini, ditambahkan demi memperkuat rasa racikan berbagai jenis tembakau di dalamnya, sekaligus sebagai ‘bumbu penyedap’, yang mencirikan keunikan masing-masing kretek. Kedua, yang tak kalah penting dan lebih fundamental, ialah bahwa sebagian besar tembakau kering tak langsung ‘siap saji’, karena tingginya kandungan kadar alkohol. Karenanya saus dalam hal ini berperan menetralisir rasa tembakau yang masih kasar, sekaligus menjaga dan menstabilkan konsistensi rasanya.

Freek, Max, dan Hans Columbijn dalam Kreteks Crackle in Children’s Hands menyebutkan, saus telah digunakan sejak kretek pertama kali ditemukan. Sementara menurut Tarmidi dalam Changing Structure menyebut penemuan kretek mula-mula hanya melibatkan unsur tembakau dan cengkeh (tanpa saus). Secara umum, tidak ada informasi pasti kapan saus pertama kali dijadikan sebagai bahan dasar kretek. 

Rokok Kretek
Pada masa awal perkembangan industri kretek, bahan-bahan yang digunakan untuk meracik saus terdiri dari esens buah-buahan lokal yang mudah didapat, seperti pisang, nangka, kayumanis, panili, dan lain-lain. Setelah berkembang menjadi besar, sejumlah produsen kretek mulai memesan bahan-bahan perasa makanan dari luar negeri. Kerahasiaan ramuan saus untuk setiap merek kretek memang dijaga betul dan kerap kali rahasia dapur ini hanya diketahui oleh pemilik perusahaan dan peramu senior di perusahaan tersebut.

Pasar dengan selera yang berbeda juga menjadi bahan pertimbangan lain bagi para produsen kretek. Untuk pasar Jawa Tengah yang suka manis misalnya, Djarum mencampurkan esens buah manis seperti strawberry dan raspberry dalam sigaret produksi mereka. 

Sementara bagi masyarakat Jawa Timur, yang lebih berselera terhadap rasa gurih dan pedas, Gudang Garam sengaja menciptakan kretek bercitarasa ‘pedas’, dengan menggembar-gemborkan pemakaian kayumanis dalam sigaret buatannya. Dengan demikian tampak keterikatan yang kuat antara kretek, masyarakat, dan budaya.

Dari risalah di atas, dapat dibayangkan betapa rumitnya perjalanan yang mesti ditempuh industri kretek hingga menjadi bagian dari keseharian masyarakat. Dimulai dari upaya menciptakan citarasa kretek saja bukan hal sepele. Belum lagi upaya menjaga konsistensi rasa dan aroma dari tahun ke tahun, sekaligus mempertahankan keunikan resepnya sebagai rahasia yang dijaga turun temurun.

Rokok Kretek
Penemuan kretek jenis ringan bisa dikatakan sebagai salah satu tonggak penting kretek di pasar Indonesia. Pada era inilah perusahaan kretek besar seperti Bentoel, Sampoerna, dan Djarum menciptakan kretek dengan kesan elegan sebagaimana rokok putih. 

Perluasan ini mengantarkan kretek menembus batas-batas simbolik kelas. Langkah ini berperan penting dalam mempertahankan kretek—yang berfilter maupun tidak, jenis ringan maupun berat— sebagai penguasa yang berjaya di negerinya sendiri. Tak heran bila kejayaan kretek mampu memberi sumbangan signifikan bagi kondisi makro-ekonomis Indonesia, karena secara historis dan kultural kretek selalu melekat menjadi bagian dari keseharian masyarakat.

Menilik perkembangannya di Indonesia, meminjam istilah Denys Lombard, pantaslah bila kretek disebut sebagai osmosis kebudayaan. Di mana kretek merupakan proses memadupadankan antara budaya yang datang dari luar dengan keadaan dan persepsi masyarakat. 

Inilah yang mesti diapresiasi sebagai proses osmosis, di mana masyarakat yang menghasilkan kreasi tersebut dan hasil kreasinya sendiri merupakan karakteristik Nusantara yang unik dan khas. Dengan sendirinya, pelaku osmosis kebudayaan dan produk budayanya adalah anak kandung bumi pertiwi yang pantas dihormati. 

Rokok Kretek
Yang menarik, Onghokham dan Budiman dalam bukunya juga menyebutkan bahwa, selain tembakau asli Amerika yang dikenal luas oleh dunia, seorang ahli botani Australia bernama Maiden pernah mencatat keberadaan jenis tembakau lain yang telah tumbuh sebelumnya di Nusantara. 

Buku ini menyatakan bahwa masyarakat pribumi Papua, terutama orang-orang kerdil Tapiro yang hidup di pegunungan, telah terbiasa mengonsumsi tembakau dengan cara melinting dan membakarnya. Sayangnya, jenis tembakau indigenous Papua (Irian Jaya) ini, yang jenisnya dekat dengan spesies tembakau Australia: nicotiana suaveolens, tidak populer dalam khasanah perdagangan tembakau dunia.



[1] Rokok Kretek: Lintasan Sejarah dan Artinya bagi Pembangunan Bangsa dan Negara, op. cit., hal. 106.

[2] “Christopher Columbus: Explorers, Pioneers, and Frontiersmen, 1451-1506?, http://www.u-s-history.com/pages/h1033.html.

[3] Budiman, A., & Onghokham, Rokok Kretek: Lintasan Sejarah dan Artinya bagi Pembangunan Bangsa dan Negara, Jarum, Kudus: 1987, hal.

[4] Murray Li, Tania, Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: 2002, hal. 87.

[5] Rokok Kretek: Lintasan Sejarah dan Artinya bagi Pembangunan Bangsa dan Negara, op. cit., hal.

[6] Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia, op. cit., hal. 89.

[7] Inandiak, Elizabeth D., & Lesmana, Laddy, Centhini: Minggatnya Cebolang, Galang press, Yogyakarta: 2005, hal. 104.

[8] Rokok Kretek: Lintasan Sejarah dan Artinya bagi Pembangunan Bangsa dan Negara, op. cit., hal 84.

[9] “Sigaret Kretek, Tonggak Bangsa”, J.A. Noertjahyo, http://heritageofjava.com/portal/article.php?story=20090326214811510 (diakses tanggal 12 Mei 2011).

[10] “Legenda Sungai Gajah Wong Yogyakarta”, http://jogjaicon.blogspot.com/2011/03/legenda-sungai-gajah-wong-yogyakarta.html (diakses tanggal 12 Mei 2011).

[11] “In South-East Asia and Melanesia chewing betel was a wide spread practice for thousands of years. According to Louis Lewin (1931) betel was the widest spread narcotic in the history of mankind.” (ASEAS – Austrian Journal of South-East Asian Studies, 2 (1), 2009, op. cit., hal. 50).

[12] Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarette, op. cit., hal 90.

[13] Rokok Kretek: Lintasan Sejarah dan Artinya bagi Pembangunan Bangsa dan Negara, op. cit, hal. 87.

[14] Wawancara dengan Prof. PM Laksono, Pusat Studi Asia Pasifik (PSAP) UGM, 17 Februari 2011.

[15] Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia, op. cit., hal. 93.

[16] Anne Booth, et.al.,(ed.), 1988.Sejarah Ekonomi Indonesia, Jakarta: LP3ES hal. 219 dalam Tri Handayani, op. cit.

[17]  Seorang biarawan Mesir, Cosmos Indocoplantus, menyatakan bahwa cengkeh berasal dari Tiongkok dan Thailand.

[18] “Kajian Ekonomi Keterkaitan Antara Perkembangan Industri Cengkeh dan Industri Rokok Kretek Nasional”, Grace A.J. Rumagit, IPB, 2007, dari http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/40530/Cover_2007gaj.pdf?sequence=13 (diakses tanggal 17 Juli 2011).

[19] Amal, M. Adnan, Kepulauan Rempah-Rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta: 2010.

[20] Rokok Kretek: Lintasan Sejarah dan Artinya bagi Pembangunan Bangsa dan Negara, op. cit., hal 88.

[21] “Kopi Tubruk Simbol Pergerakan Nasional”, Kompas, 5 April 2010.

[22] Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarette, op. cit., hal. 90.

[23] ASEAS – Austrian Journal of South-East Asian Studies, 2 (1), 2009, op. cit., hal. 53.

[24] “Kretek sebagai Kritik Kebudayaan”, Waskitogiri Sasongko, http://komunitaskretek.or.id/artikel-22-kretek-sebagai-kritik-kebudayaan.html (diakses tanggal 12 Mei 2011).

[25]    http://komunitaskretek.or.id/


Indonesia | Semua tentang Indonesia

Post a Comment