8 Racun dalam Kehidupan - Hilary Bergsieker profesor ilmu perilaku sosial dari Psychology Department Universitas Waterloo, Canada, mengatakan kerusakan dalam berpikir dan bersikap dikarenakan “racun” dan energi negatif dalam pikiran kita. Pribadi yang sehat adalah amazing people yakni pribadi yang menarik, disukai, memiliki hubungan win-win dan bermanfaat bagi orang lain. Sebaliknya perilaku yang rusak dan beracun atau toxic behavior, akan menimbulkan gesekan, persinggungan, pertengkaran dan rasa tidak nyaman kepada orang lain.
Hilary Bergsieker menggaris bawahi perilaku buruk dan beracun atau toxic behavior yang terjadi dalam hubungan antar manusia yang sering menyebabkan perilaku seseorang membuat pihak lain menderita dan terbebani. Perilaku dan sikap buruk diterjemahkan penulis sebagai 8 “racun” dalam kehidupan kita yang dapat mengancam relasi hubungan dan pergaulan antar individu maupun kelompok dalam ruang lingkup organisasi, perusahaan, teman, rumah tangga, relasi dll.
1. Arrogance = Kesombongan
Kalau kita bertindak sombong terhadap orang lain maka adrenalin negatif akan menumpuk dalam pikiran dan hati kita. Badan kita akan menghasilkan energi negatif yang cenderung kuat menolak hal-hal yang baik, sekalipun datang dari orang yang kita anggap benar. Kesombongan adalah racun terbesar yang menutup daya pikir, akal sehat dan nalar kita terhadap hal positif dan menolak pembangunan hubungan antar manusia atas dasar keseimbangan, harmonisasi, dan manfaat bagi semua orang.
Kesombongan bisa terjadi karena sikap keakuan yang kuat dan memandang dirinya lebih superior dan sukses dibanding orang lain. Orang yang bersikap seperti ini karena kurang memiliki sikap empati terhadap pemahaman bahwa pada dasarnya setiap orang adalah subjek dan bukan objek dalam ruang lingkup kehidupan.
Contoh: ketika kita sukses maka kita menganggap bahwa prestasi tersebut adalah semata-mata karena kerja keras diri sendiri, dan bukan karena bantuan dan peranan dari teman, bawahan atau anggota keluarga dll, yang sebenarnya turut memiiiki andil.
2. Ignorance = Ketidakpedulian
Ignorance terjadi karena tidak peka dan ketidakpedulian terhadap apa yang terjadi di sekeliling kita.
Contoh: kalau ada orang sedang kesusahan, kelaparan, berduka atau menderita, maka empati atau rasa kasihan tidak akan muncul dari diri kita.
Ketidakpedulian melahirkan kekacauan dalam relasi antar manusia. Ignorance muncul karena kita takut berbagi perhatian dan kepedulian, dan menilai orang lain yang menderita semata-mata karena faktor nasib. Bukan karena faktor situasi yang mungkin bisa dirubah karena bantuan dan perhatian kita.
Hati nurani bisa timbul karena persepsi yang benar dalam pikiran kita dan membawa hati dan perasaan kita dalam bentuk simpati dan empati. Ketidakpedulian melahirkan penyakit dan racun sosial dalam pikiran dan hati kita.
3. Denial = Penyangkalan
Seberapa sering kita menyangkal terhadap apa yang telah kita perbuat dan merugikan pihak lain. Penyangkalan disebabkan karena kita tidak memiliki “jiwa dalam pikiran kita”. Kita kehilangan kesadaran untuk berani mempertanggungjawabkan atas apa yang kita lakukan.
Penyangkalan kerap membuat kita buta terhadap realitas yang sebenarnya. Ketika kebanyakan orang lain mengatakan warna putih adalah putih, maka kita tetap mengatakan hitam. Penyangkalan terjadi karena kita tidak peduli dengan perasaan orang lain.
Contoh: jika tim kerja kita mengalami kemerosotan kinerja, maka kita melepas tanggung jawab dan kenyataan sebenarnya, dan menyangkal dengan memberikan argumentasi dan pembelaan diri bahwa semuanya tetap berjalan baik.
4. Tinkering = Mengerjakan sesuatu tanpa keahlian
Banyak kisah nyata sukses yang terjadi di masyarakat yang dimulai dengan tindakan dan cara berpikir hal-hal kecil dan sederhana. Dari situ kita dapat memupuk, melatih dan mengasah secara bertahap dan menjadikannya suatu keahlian yang kita kuasai. Untuk menjalankan suatu pekerjaan apa pun kita dituntut memiliki kemampuan dan keahlian baik secara praktik, teori dan pengetahuan yang cukup dan seimbang.
Tinkering bisa terjadi karena kita tidak mau belajar dan melatih diri agar menjadi lebih cakap. Akibatnya sering menjadi hambatan bagi orang lain. Kalaupun kita telah merasa pandai dan tidak mau terus belajar, maka kualitas keahlian akan menurun. Maka kemampuan kita bukan menjadi obat, tetapi dapat menjadi racun bagi orang lain.
Untuk mengubah keadaan, kita hendaknya berani memberikan pengorbanan melalui tenaga, pikiran, waktu, bahkan biaya, agar kita semakin berilmu dan tidak menjadi beban pihak lain.
Contoh tinkering: seorang penjual tidak mau belajar dari penjual yang sukses, membaca buku-buku penjualan atau mempraktekkan secara konsisten, disiplin dan teratur. Akibatnya prestasi penjualan tidak pernah dicapai dan merugikan perusahaan serta dirinya sendiri.
5. Losing focus = Kehilangan fokus
Fokus adalah sebuah kata motivasi untuk melakukan sesuatu pekerjaan mulai dari perencanaan, penyusunan, tindakan, evaluasi hasil dan dampak dari tujuan yang akan kita capai. Ketidakmampuan kita untuk fokus sering disebabkan karena memikirkan dan bertindak pada hal-hal yang sepele dan kurang bermanfaat. Bahkan cenderung menjalankan sesuatu pekerjaan yang seharusnya prioritas menjadi kabur, kehilangan arah, dan pegangan.
Pribadi yang kehilangan fokus dalam hidup dan pekerjaan adalah pribadi yang kehilangan arah dan disorientasi dalam berpikir. Seperti unsur-unsur kimia yang tidak lagi selaras pada susunan molekul dan atom dalam tubuh dan pikiran kita. Fokus memerlukan latihan yang teratur, konsistensi dalam cara berpikir dan tegas dalam menentukan sikap kita. Kehilangan fokus sering menjadi beban besar pada diri sendiri dan orang lain yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam aktivitas kita sehari-hari.
Contoh: Pada saat kita harus menyelesaikan suatu tugas penting, maka kita lupa pada target waktu, ukuran dan standar pencapaian hasil kerja dan perhatian terhadap anggota tim kerja yang terlibat didaiamnya.
6. Permissive = Toleransi negatif
Konsistensi sangat dibutuhkan agar kita bisa mengikuti dan menjalankan standar pekerjaan dengan benar. Membuat setiap orang yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan aktivitas kita memiliki daya ungkit dalam memberikan kinerja terbaiknya dan mendapatkan manfaat luas. Lawan dari konsistensi adalah permisif yakni toleransi yang negatif. Permisif sering menciptakan keadaan yang kacau dan tidak beraturan atau inkonsistensi dalam berpikir, berucap maupun bertindak.
Dalam sebuah survei tentang tingkah laku, cara berpikir dan berucap kepada sekelompok karyawan beberapa perusahaan, diambil sebuah kesimpulan ternyata semua orang sepakat baik lisan dan tertulis bahwa korupsi, manipulasi dan indisipliner tidak diterima oleh akal sehat dan norma yang berlaku. Ada jembatan keseimbangan persepsi perilaku yang benar dan salah. Toleransi negatif adalah racun dalam tindakan dan merugikan kebanyakan orang atau perusahaan secara psikologi dan materi.
Contoh: peraturan setiap orang dilarang terlambat masuk kerja, maka ketika kita membiarkan segelintir orang melanggar karena “unsur suka dan pilih kasih”, maka akan merusak tatanan, standar dan aturan yang berlaku.
7. Egoism = Keakuan – egoisme
Sering dalam pergumulan hidup kita bertanya: saya yang lebih penting atau orang lain yang harus saya seimbangkan dalam hubungan sosial. Kita sering menempatkan diri kita lebih berharga dan berarti dibanding yang lain. Kesalahan terbesar dalam menempatkan diri kita “sebagai yang paling berarti” menyebabkan kehilangan sikap dalam berbagi dan berempati kepada orang lain.
Egoisme atau keakuan muncul karena kita takut menghadapi realitas bahwa hidup dan hasil yang baik harus diperjuangkan dan diperebutkan dengan cara yang elegan dan benar. Efek dari racun pikiran dan hati membuat tindakan kita tidak merefleksikan kepentingan bersama. Tindakan kita akan lebih didominasi oleh imajinasi dalam pikiran kita yang keliru dan buruk karena mementingkan diri sendiri Maka egoisme adalah bahaya besar yang membuat kita bersikap apatis terhadap kebutuhan yang seimbang dalam hubungan dengan orang lain.
Contoh: ketika kita membuang sampah sembarangan, maka kita hanya mementingkan diri sendiri dan tidak peduli terhadap kesehatan, keselamatan dan kebersihan lingkungan dan orang lain.
8. Conflict = Pertikaian
Mengapa konflik sering muncul di sekitar kita? Akumulasi dari racun persoalan hidup kita di atas akan menyebabkan timbulnya pertikaian dengan orang lain. Dalam hubungan pribadi, rumah tangga, pekerjaan, bisnis, dan relasi dengan pihak mana pun sering timbul kecenderungan terjadinya pertikaian, debat, permusuhan, saling menyalahkan dan menghindarkan tanggung jawab kita. Konflik akan melahirkan luka perasaan dan dendam pada semua pihak yang terlibat. Dan pertikaian akan menimbulkan suasana tegang pada semua pihak. Karena itu pertikaian adalah racun dari emosi kita yang tidak terkendali.
Konflik atau pertikaian timbul karena tidak mampu mengelola emosi dan egoisme yang menguasai diri kita. Konflik bisa terjadi secara mental, psikologis dan fisik yang tentunya akan merugikan semua pihak.
Meredakan dan mengurangi “racun-racun” dalam kehidupan kita akan berdampak positif kepada cara berpikir, berucap dan bertingkah laku. Merefleksikan diri bahwa pada hakekatnya setiap pikiran dan tubuh manusia memiliki unsur-unsur positif yang lebih dominan daripada unsur-unsur negatif. Tantangan terbesar bagi kita adalah mengelola dan mengembangkan kemampuan dalam mengikis secara bertahap semua unsur-unsur “racun”yang ada dalam diri kita, agar mampu menempatkan diri kita berguna dan bernilai dalam pergaulan dan hubungan dengan orang lain.
“There is an island of opportunity in the middle of every difficulties.”
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Post a Comment