DUKAKU, KETIKA KAU MENCINTAIKU
Karya Zakia An-Najma
Karya Zakia An-Najma
Petang menyapa keheningan malam dengan warna gelapnya. Bintang di angkasa tampak malu-malu mengintip dari balik awan. Mengintip sepasang anak Adam yang tengah memadu kasih. Siapapun yang melihat tak akan menyangka kalau mereka adalah sepasang kekasih yang telah lama menjalin hubungan asmara karena mereka duduk saling mengujung.
“Sampai kapan kita akan berdiam diri seperti ini?,” ucap si cowok.
“Mas, tiga tahun lebih kita menjalin hubungan dan selama itu pula Mas Iqbal telah menjelma sebagai semangatku. Aku nggak ingin mendung membuat semangatku kelabu.”
“Salsa, Mas nggak paham dengan apa yang kamu ucapkan.”
Salsa menghela nafas masygul. Ia coba mengumpulkan secercah semangat yang masih tersisa.
“Salsa, katakan apa yang ingin kau katakan dan sandarkan apa yang ingin kau sandarkan padaku!”
“Udahlah Mas! Lupakan semua yang aku bilang tadi dan anggap saja aku mabuk udara malam!”
Iqbal tak dapat memaksa. Ia berdiri dan mengajak Salsa untuk pulang.
“Lebih baik kita pulang! Angin malam ini, tidak bersahabat,” ajak Iqbal seraya mengulurkan tangannya.Salsa menyambut uluran tangan itu. Mereka saling membisu hingga perjalanan itu terasa hambar bagi keduanya. Motor yang mereka kendarai telah sampai di rumah sederhana berwarna hijau muda. Salsa turun dan menghadap kearah laki-laki yang ia harapkan sebagai jawaban dari sujud panjangnya.
“Mas, maafin kata-kata ku tadi ya?”
“Iya, Mas percaya kok kalau kamu nggak akan menyembunyikan apa-apa dari Mas seperti kepercayaan Mas atas kesetiaanmu.”
Salsa tersenyum tapi Iqbal melihat mendung di mata bintang bidadarinya. Ia merasa ada yang di sembunyikan tapi ia ingin berusaha untuk percaya pada kekasih yang selama ini menemaninya.
“Selamat malam ya qurota ‘aini. Semoga malammu indah. Jangan lupa berdoa agar malam selalu menjagamu!”
Dukaku, Ketika Kau Mencintaiku |
Salsa mengangguk dan segera mencium tangan Iqbal. Iqbal berlalu setelah salamnya dijawab oleh sang pujaan. Salsa berjalan menuju pintu dan membukanya dengan setengah paksa.
“Mbak Salsa….”
Teriakan suara mungil itu mengagetkanya. Ia langsung merubah muka murungnya dengan muka marah setingan. Ia lihat dihadapannya sosok cowok mungil berusia delapan tahunan berdiri dengan senyum tak berdosanya.
“Dedek... kamu ngagetin aku aja. Awas ya kena, q gelitikkin!”
Kakak beradik itu berlari kejar-kejaran di dalam rumah. Mereka tertawa bersama.
“Kena kamu…,” ucap Salsa ketika ia berhasil menangkap adik semata wayangnya.
“Maaf Mbak… Azka ngaku kalah,” teriak Azka seraya menahan tawa.
“Kalau Mbak lepasin, Mbak dapat apa hayoo…”
“Ntar aku kasih es krim deh,” bujuk Azka.
“Bisa dipercaya nggak nih?”
“Bisa donk… Azka kan anak yang jujur.”
“Masak?”
“Iyalah, kan Mbak sendiri yang ngajarin aku untuk selalu jujur.”
Salsa tersenyum mendengar ucapan polos itu.
“Iya deh Mbak Salsa percaya.”
Salsa melepaskan Azka dan anak itu segera berlari kebelakang. Salsa berdiri ketika sayup-sayup terdengar suara langkah yang begitu ia hafal mendekat. Langkah milik sang pelipur lara.
“Sayang, jangan terlalu capek! Ingat kondisi badanmu!”
“Iya Bunda, Bunda nggak usah khawatir gitu ah! Bunda kelihatan tambah tua kalau begitu,” goda Salsa.
“Hayooo,” kaget Azka.
“Mbak Salsa….”
Teriakan suara mungil itu mengagetkanya. Ia langsung merubah muka murungnya dengan muka marah setingan. Ia lihat dihadapannya sosok cowok mungil berusia delapan tahunan berdiri dengan senyum tak berdosanya.
“Dedek... kamu ngagetin aku aja. Awas ya kena, q gelitikkin!”
Kakak beradik itu berlari kejar-kejaran di dalam rumah. Mereka tertawa bersama.
“Kena kamu…,” ucap Salsa ketika ia berhasil menangkap adik semata wayangnya.
“Maaf Mbak… Azka ngaku kalah,” teriak Azka seraya menahan tawa.
“Kalau Mbak lepasin, Mbak dapat apa hayoo…”
“Ntar aku kasih es krim deh,” bujuk Azka.
“Bisa dipercaya nggak nih?”
“Bisa donk… Azka kan anak yang jujur.”
“Masak?”
“Iyalah, kan Mbak sendiri yang ngajarin aku untuk selalu jujur.”
Salsa tersenyum mendengar ucapan polos itu.
“Iya deh Mbak Salsa percaya.”
Salsa melepaskan Azka dan anak itu segera berlari kebelakang. Salsa berdiri ketika sayup-sayup terdengar suara langkah yang begitu ia hafal mendekat. Langkah milik sang pelipur lara.
“Sayang, jangan terlalu capek! Ingat kondisi badanmu!”
“Iya Bunda, Bunda nggak usah khawatir gitu ah! Bunda kelihatan tambah tua kalau begitu,” goda Salsa.
“Hayooo,” kaget Azka.
Salsa dan bundanya reflex menoleh kearah Azka.
“Azka bawain es krim kesukaan Mbak Salsa nih,” ucap Azka dengan memperlihatkan kedua tangannya yang memegang es krim.
“Wah, dua-duanya buat Mbak ya?”
“Yeee GR, satu buat aku dan satunya buat bunda jadi Mbak nggak dapat bagianya…”
“Lho katanya bawain buat Mbak?”
“Aku bilang bawain buat Mbak tapi aku kan nggak bilang mau kasih ke Mbak weeks,” ujar Azka seraya menjulurkan lidahnya untuk menggoda Salsa. Salsa langsung menangkap Azka yang udah nggak bisa lari lagi.
“Udah Mbak,” teriak Azka.”Azka kan cuma bercanda………..”
“Kalau gitu mana es krimnya!”
“Ini… dasar nggak mau kalah ma adiknya…”
Salsa mengambil sikap acuh terhadap apa yang di katakan oleh adiknya. Salsa bahagia dengan keadaan rumahnya. Walau ayahnya jarang berada disampingnya tapi ia telah mempunyai bunda dan adik yang sangat menyayanginya juga kekasih yang begitu mencintainya. Ups, ada yang ketinggalan yaitu sang kakak tercinta.
“Aduh-duh, makan es krim rame-rame kok Mas Alwi nggak di ajak?,” ucap Alwi dari balik pintu kamar.
“Siapa yang makan es krim rame-rame? Yang ada Mbak Salsa tuh yang makan es krim sendirian,” protes Azka.
“Wah, kalau gitu Mbak Salsa kita…. Serbuuuuu,” teriak Alwi yang di setujui oleh Azka.
Malam itu begitu membahagiakan bagi Salsa, tanpa ia ketahui di sudut waktu, orang yang paling mencintainya begitu gusar. Iqbal hanya dapat membolak-balikkan badannya di atas pembaringan. Sebuah pikiran menghantuinya. Perkataan Salsa mau tak mau telah menyita sebagian besar pikirannya.
“Ya Allah, beri aku ketenangan dan keyakinan atas cinta yang telah KAU anugrah kan antara kami!”
Iqbal memejamkan mata dan memaksakan diri untuk tidur. Bagaimana pun ia tak boleh menyiksa badan yang dari pagi telah menahan rasa capek.
Pagi telah menyapa dunia. Salsa juga telah bersiap-siap untuk menunaikan kebutuhannya untuk mengurangi kehausannya tentang ilmu. Ia kini tercatat sebagai mahasiswi sebuah universitas di kota kelahirannya itu.
“Assalamu ‘alaikum.”
Samar-samar ia mendengar suara Iqbal mengucap salam. Salsa segera menyelesaikan acaranya di depan cermin dan melangkah menuju ruang tamu. Dilihatnya Iqbal tangah berbincang asyik dengan kakaknya. Iqbal memang telah melebur dalam keluarganya dan ia diterima dengan senang hati apalagi oleh Alwi karena Iqbal itu teman seangkatan Alwi sejak SMA. Hubungan keduanya memang telah direst oleh kedua keluarga.
“Wah asyiknya ngobrol berdua sampai-sampai aku yang telah berdiri dari tadi di sini nggak diperhatikan sama sekali.”
Iqbal tersenyum melihat raut wajah itu.
“Siapa suruh berdiri disana? Sok malu-malu padahal udah kangen kan?,” goda Alwi.
“Ihhhh Mas Alwi apa-apaan sih? Au ah. Berangkat aja yuk!,” ajak Salsa seraya menarik tangan Iqbal.
“Nggak pamitan ma bunda kamu dulu?,” Iqbal mencoba mengingatkan.
“Oh iya, sampai lupakan aku. Gara-gara Mas Alwi nih.”
Alwi yang mendengar perkataan adiknya itu hanya dapat menekuk muka.
“Kok Mas Alwi yang disalahin? Itu kan salah kamu yang main berangkat aja. Keburu mau berduaan di kampus tuhhh.”
Salsa takmenghiraukan godaan kakaknya itu dan langsung menemui ibunya yang sedang di dapur menyiapkan sarapan.
“Lho kamu nggak sarapan dulu?”
“Ngaak ah Bun, ntar aku sarapan di luar aja sama Mas Iqbal,” ucap Salsa.
”Assalamu ‘alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Iqbal dan Salsa meluncur ke kampus. Mereka satu universitas hanya mereka beda semester. Iqbal memasuki semester lima sedangkan Salsa masih tahun ini masuk universitas. Mereka tidak langsung menuju ruang kelas masing-masing ketika sampai tapi mereka memilih untuk mendatangi kantin karena Iqbal mengetahui bahwa Salsa belum sarapan.
“Ke kantin aja ya?,” ajak Iqbal.
“Kenapa ke kantin?”
“Kamu kan belum makan. Aku nggak ingin kamu sakit. Ntar kalau kamu sakit aku gimana?”
“Ahh, aku malas makan.”
“Kenapa kok malas makan?”
“Ya malas aja.”
“Jangan gitu donk! Kamu mau apa deh aku kasih pokoknya kamu harus makan,” rayu Iqbal. Salsa pura-pura berfikir untuk menggoda sang kekasih.
“Aku mau es krim,” pinta Salsa. Iqbal tersenyum paham. Ia memang telah menduganya.
“Tapi ini kan masih pagi. Setelah kuliah nanti Mas belikan,” bujuk Iqbal.
“Emangnya ini pasar pakek acara tawar menawar?”
“Tapi makan es krim pagi-pagi itu nggak sehat lho.”
“Nggak peduli,” bantah Salsa. Iqbal terpaksa mengalah karena kalau nggak dibeliin es krim pasti Salsa ngambek nggak selesai-selesai.
“Ya udah Mas beliin tapi kita makan dulu gimana?”
“Oke.”
Akhirnya Salsa menurut. Sesekali Iqbal melirik gadis yang berada disampingya. Kegelisahan semalam muncul kembali. Ia ingin membuang rasa itu tapi kegelisahan itu bagai boomerang yang muncul kembali kepermukaan hatinya.
“Mas…,” teriak Salsa.
“Ada apa ya habibaty ?” tanya Iqbal mengerling nakal.
“Mas kalau jalan jangan sambil ngelamun!!!”
“Mas nggak nglamun kok. Mas itu Cuma baru menyadari bahwa sosok disamping Mas itu sungguh cantik,” goda Iqbal.
“Gombal deh.”
“Gombal itu apa bukan kain rusak yang udah nggak di pakek? Kamu kira perkataan Mas ini kain rusak?”
“Au ah… ,” ucap Salsa seraya berjalan lebih cepat. Iqbal mengejar Salsa yang bermuka marah.
“Gitu aja ngambek.”
“Biarin……….”
Mereka tiba di kantin kampus. Mereka tengah menunggu pesanan yang belum tersaji.
“Udah donk! Masa ngambeknya nggak selesai-selesai?”
“Aku mau berhanti ngambek kalau Mas mu beliin aku es krim.”
“Iya dech… .”
“Wah tambah hari tambah mesra aja nich.”
Suara itu membuyarkan acara mereka. Mereka reflex menoleh kearah sumber suara. Mereka melihat sesosok cowok tengah berdiri tegap dihadapan mereka. Sesosok cowok yang bisa dibilang tampan tapi sayang, ketampanannya tertutup oleh sikap sombongnya. Kedatangannya sudah pasti sama dengan hari-hari kamarin, untuk menggoda Salsa. Seantero kampus juga sudah tahu tentang ketertarikannya dengan Salsa.
“Reza, kalau kedatanganmu untuk mengganggu kami, lebih baik kamu urungkan saja niat itu!,” ujar Iqbal dengan suara bariton.
“ Punya hak apa kamu nglarang aku? Walau Salsa itu pacarmu tapi janur kuning belum melengkungkan? Jadi semua kemungkinan bisa terjadi.”
“Rez, udahlah! Apa kamu nggak capek terus-terusan mengerjakan hal yang nggak berguna kayak gini?,” Salsa angkat bicara.
“Nggak ada kata capek dalam kamus seorang Reza. Kamu lihat saja! Suatu hari akmu akan menyadari bahwa akulah orang yang akan menjadi sandaranmu,” ancam Reza seraya melangkah pergi. Mood mereka langsung hilang bersama angin.
“Kenapa nggak dihabisin makanannya?”
“Nggak ah Mas, selera makanku hilang. Lebih baik sekarang kita pergi makan es krim,” ajak Salsa. Iqbal tersenyum mendengarkannya.
“Ya udah…”
Mereka mencari tempat yang nyaman untuk memakan es itu. Mereka memilih untuk duduk dibawah rindangnya pahon akasia. Mereka menikmati pagi itu dengan senyum.
***
Malam menjelma menggantikan siang. Bulan menggantikan tugas sang surya untuk menyinari bumi. Malam ini Iqbal dan Salsa membuat janji untuk bertemu di tempat favorit mereke yaitu di sebuah bangunan yang belum sempurna. Mereka menikmati malam penuh bintang ditemani oleh sebuah es krim.
“Mas, boleh aku bertanya?”
“Tapi nggak wajib Mas jawab kan?”
“Ihhh, yang namanya pertanyaan itu ya wajib dijawab,” ucap Salsa geram.
“Iya dech, emangnya kamu mau tanya apa sich?,” tanya Iqbal seraya mengacak-acak rambut kekasihnya. Salsa membuang tangan itu cepat.
“Mas, jangan acak-acak rambutku! Akukan bukan anak kecil lagi. Aku ini udah mahasiswi,” ucap Salsa manyun.
“iya iya. Mas percaya kok kalau kamu itu udah mahasiswi tapi bagi Mas kamu itu masih Salsa kecil yang tomboy.”
“Ya udah aku nggak jadi tanya kalau gitu.”
“Eits, jangan ngambekan gitu ah! Ntar cantiknya hilang lho!”
“Siapa yang ngambek? Aku nggak ngambek kok. Buktinya aku tersenyum hehehe.”
“Percaya-percaya. Sekarang kamu mau tanya apa?”
“Hmmm, seberapa besar sayang Mas ke aku?”
“Kenapa kamu tanya itu?,” Iqbal balik bertanya.
“Mas tinggal jawab kok.”
“Ehhmmm, seberapa ya?”
“Kok pakek acara berpikir? Berarti sayang Mas ke aku bukan perasaan tapi pikiran?”
“Tentu saja sayang Mas ke kamu itu dari perasaan karena itu Mas kasih tahu kalau sayang Mas ke kamu itu seperti ujung kuku pada jari kita.”
“Jadi sayang Mas ke aku itu cuma seujung kuku?,” ujar Salsa cemberut. Iqbal memegang dagu Salsa dan menghadapkan padanya. Ia paksa mata bintang Salsa untuk menyatu dengan mata elangnya.
“Sayang Mas ke kamu seperti ujung kuku. Karena walaupun ujung kuku di potong berkali-kali akan tetap tumbuh, sama seperti cinta Mas ke kamu. Walaupun banyak yang berusaha memotong cinta Mas ke kamu tapi cinta dan kasih Mas akan tetap tumbuh dan tumbuh. Kamu ngerti?”
Salsa mengangguk dalam haru. Ia menangis dalam dekapan sang kekasih.
“Sekarang giliran Mas yang bertanya tentang kasih dan cintamu pada Mas!”
Salsa mengangkat kepalanya dari dada bidang Iqbal. Ia memandang langit. Pandangan yang di ikuti oleh Iqbal.
“Kalau cintaku, seperti keberadaan bintang.”
“Maksudnya?”
“Coba Mas lihat mereka!” ucap Salsa seraya menunjuk jutaan bintang yang memukau bak permadani bertabur jutaan berlian tak ternilai harganya.”Walau mereka kecil tapi mereka menaburkan kebahagiaan. Walau mendung kelam tapi mereka tetap ada. Walau surya menghadang sejatinya mereka tak hilang, begitu juga cintaku. Walau suatu saat nanti badai menghalangi tapi cintaku tetap terpatri disini, di hatiku yang paling dalam.”
Mereka benar-benar menikmati malam penuh gemerlapan bintang tanpa disadari bahwa inilah titik balik hubungan mereka.
***
Hari-hari berjalan tanpa makna. Iqbal lemas ketika mengetahui bahwa cinta sang kekasih telah bercabang. Hari itu, ia melihat Salsa tangah bercanda mesra dengan Reza. Sakit dan marah memenuhi rongga dadanya. Ia datangi mereka.
“Apa-apaan ini?,” bentak Iqbal dengan suara gemetar.
“Oh kamu Iqbal,” ucap Salsa tanpa dosa. Iqbal menggeram menahan gejolak amarah. Tapi ia ingin bersikap wajar. Iqbal menghela nafas dan membuangnya dengan paksa.
“Bisa jelaskan sesuatu pada Mas!,” pinta Iqbal seraya memandang Salsa yang tetap melingkarkan tangannya pada lengan Reza. Reza tampak tersenyum sinis pada Iqbal seolah Iqbal telah kalah dalam sebuah pertarungan. Pertarungan merebutkan sebuah cinta.
“Penjelasan apa yang kamu butuhkan? Tentang kedekatan kami? Dengar ya! Aku udah nggak bisa menjalani hidup sama kamu. Rasa kasih sayang dan cintaku itu udah habis buat kamu. Sekarang aku telah menemukan cinta yang lain dalam sosok Reza.” Perkataan Salsa yang gamblang itu begitu menusuk hati Iqbal. Apalagi dengan senyum tak berdosa itu.
“Kenapa? Kamu dulu kan….”
“Itu dulu tapi sekarang sudah berbeda,” potong Salsa cepat.
“Udahlah Brow! Kalau dia nggak mau and udah bosan ma kamu ya jangan dipaksa!”
“Aku nggak maksa. Aku hanya butuh penjelasan dan kejelasan,” bela Iqbal.
“Penjelasan apa lagi? Kamu ingat ya, dukaku adalah ketika kamu mencintaiku.”
Salsa pergi bersama Reza meninggalkan Iqbal yang masih merenungi apa yang baru terjadi. Begitu cepatkah cinta itu hilang dari hatinya?
“Udahlah! Cewek itu nggak pantas kamu sedihi kepergiannya. Yang pantas kamu sedih kepergiannya adalah orang yang nggakakan pernah ninggalin kamu!”
Suara lembut itu singgah di gendang telinganya. Kepalanya menoleh dan di temukannya gadis cantik teman seangkatannya. Gadis itu tersenyum penuh pengertian. Iqbal ingin membalas senyum itu tapi ia tak mempunyai tenaga untuk melakukannya. Ia begitu sakit. Salsa adalah cinta pertamanya dan ia pernah berharap bahwa itu juga akan menjadi cinta terakhirnya. Tapi, kenapa keadaan berbalik 〖180〗^0? Entahlah, ia benar-benar nggak mengerti.
“Udahlah! Lebih baik kita pergi keluar. Sekali-kali bolos matkul nggak pa-pa kan? Lagi pula nanti itu waktunya Pak Arif jadi nggak akan dapat masalah dech kita,” ajak gadis itu.
Iqbal hanya menurut saja ketika tangannya di tarik oleh Anggun. Ia udah nggak mempunyai kekuatan untuk menolak. Sebenarnya ia tahu bahwa Anggun telah lama memendam rasa pada Iqbal. Setalah itu Iqbal bagai kerbau di cocok hidungnya oleh Anggun.
Alwi yang mengetahui tantang berakhirnya hubungan sang adik dengan kekasihnya tidak bisa tinggal diam. Ia mengetahui betapa pasangan itu saling mencintai tapi kenapa berakhir???
Siang itu, tepat seminggu hubungan Iqbal dan Salsa berakhir. Mereka tampak enjoy dengan pasangan masing-masing. Iqbal dengan Anggun dan Salsa dengan Reza. Benarkah cinta itu telah pupus??? Terik sang surya tak menghalangi langkah Alwi untuk menemui Iqbal yang sedang bersama Anggun di kantin kampus.
“Iqbal, ada waktu nggak? Aku mau bicara sesuatu.”
“Tentu. Masa aku nggak punya waktu buat temen aku. Nggun, aku pergi dulu ya?”. Alwi dan Iqbal bersiap melangkahkan kaki ketika suara Anggun terdengar.
“Tunggu!” panggilan Anggun itu memaksa mereka untuk berhenti dan berbalik.
“Ada apa?” tanya Alwi.
“Aku minta tolong ke kamu untuk nggak menghancurkan hubunganku dengan Iqbal. Jangan kamu pengaruhi dia untuk kembali ke adikmu dan meninggalkan aku! Kamu juga tahu kan kalau aku udah memimpikan ini dari pertama kita masuk ke kampus ini?”
“Kamu tenang saja! Aku nggak akan mempengaruhi Iqbal kok. Aku hanya ingin semua ini clear. Mereka memulainya dengan baik dan walaupun berakhir juga harus dengan baik.”
Mereka meninggalkan Anggun yang masih menyimpan kecemasan. Mereka agak menjauh dari tampat itu.
“Ada apa sih Brow?”
“Aku hanya ingin tahu apakah kamu udah melupakan adikku?”
“Buat apa kamu tanya seperti itu?”
“Aku hanya ingin memastikan apa yang sebenarnya terjadi? Setahuku kalian nggak pernah bertengkar tapi kenapa tiba-tiba putus?”
“Al, dari dulu kamu tahu kalau aku begitu sangat mencintai adikmu. Bahkan aku ingin bisa berada terus disampingnya. Aku jugu ingin menjadi imam disetiap qiyamul lailnya. Tapi, itu semua hanya akan menjadi kenangan.”
“Kalau begitu, kenapa kamu nggak memperjuangkan cintamu?”
“Untuk apa? Jika cintaku hanya menjadi duka baginya lebih baik aku pergi. Aku nggak ingin memaksanya untuk bersamaku kalau ia tak bahagia. Aku nggak ingin ia menderita kalau bersamaku. Biarkan ia pergi dengan cintanya dan aku akan membangun cinta yang lain. Cinta itu memang sakit kalau nggak memiliki tapi kadang itulah yang terjadi.”
“Tapi apa kamu tahu kalau adikku tersiksa? Ia nggak mau makan. Ia kurang tidur dan sering tertangkap basah tengah melamun sejak ia pisah denganmu dan mendengar kabar kedekatanmu dengan Anggun,” jelas Alwi.
“Kamu nggak usah berbahong! Kalau ia mencintaiku kenapa ia putuskan hubungan ini secara sepihak?”
“Itu juga yang nggak aku ngerti. Berkali-kali aku tanya tapi ia tak pernah mau menjawab.”
“Udahlah! Aku udah nggak mau berharap pada sesuatu yang semu,” ucap Iqbal seraya melangkah menjauh.
“Iqbal!!!!!” teriak Alwi geram.
***
Kelamnya awan di senja itu bagai kelamnya hati Iqbal. Perkataan Alwi menghantuinya. Benarkah cinta Salsa masih tersisa untuknya?
“Le, kenapa kamu lesu begitu?”
Pertanyaan dari orang yang telah melahirkannya membuat pikirannya kembali ke jasadnya. Ia lihat ibunya tengah duduk di samping ranjang dimana ia berbaring.
“Nggak apa-apa kok Bu. Iqbal hanya kecapekan aja karena banyak tugas,” elak Iqbal.
“Kamu yakin?”
Pertannyaan itu hanya di jawab oleh anggukan kepala oleh Iqbal. Ia tak ingin ibunya tahu kalau hubungannya dengan Salsa telah berakhir. Ia tahu, betapa ibunya sangan menyayangi Salsa dan berharap Salsalah yang akan mendampingi masa tuanya bersama sang putra tunggalnya.
“Oh iya, ibu udah lama nggak lihat Salsa datang kemari. Kamu lagi bertengkar ya?”
Iqbal gelagapan. Ia bingung harus bagaimana menjawabnya. Ia nggak ingin berbahong tapi jika ia jujur itu pasti sangat menyakitkan bagi ib unya.
“Ada apa Le?”
“Hmmm, anu Bu, Salsa juga lagi banyak tugas jadi belum bisa datang kesini,” jawab Iqbal dengan menahan rasa bersalahnya. Maafkan iqbal, Bu! Iqbal nggak bermaksud berbohong sama Ibu, tapi Iqbal nggak punya cara lain, batin Iqbal
“Oh ya sudah kalau begitu. Ibu titip salam saja untuk Salsa!”
“Iya Bu.”
Tetes demi tetes tangis langit mulai membasahi bumi. Hujan menambahkan kenyamanan berada di bawah selimut senja itu. Salsa tengah menikmati hujan di dalam kamarnya. Ia biarkan hujan menerpa wajah lewat jendela kamarnya yang terbuka lebar-lebar. Ia tengah berkelana ke masa lalu ketika cintanya masih bersama. Ia bahkan tak mendengar ketika pintu kamarnya terbuka dan namanya di panggil. Hingga sebuah tangan mendarat halus di pipinya.
“Ihhh, apa-apaan sih Mas?”
“Hujan Dek, kenapa jendelanya kamu buka? Udaranya dingin lho!”
“Ahhh, Mas cerewet. Aku kan lagi menikmati hujan pada senja ini.”
“Ntar kamu sakit lho Dek!!!”
“Paling-paling cuma demam atau masuk angin doang. Aku nggak akan mati karena itu.”
Alwi hanya bisa menghela nafas. Adiknya memang keras kepala. Tapi ada suatu hal yang ingin ia tanyakan.
“Dek, Mas boleh tanya sesuatu?”
“Tanya aja! Nggak ada undang-undang yang nglarang kok.”
“Kenapa kamu putusin Iqbal secara sepihak? Mas tahu kalau kamu masih mencintainya tapi kenapa kamu lakuin ini?”
Raut wajah Salsa berubah. Ia tak suka masalahnya dengan Iqbal di campuri oleh orang lain walau itu kakaknya sendiri.
“Itu bukan urusan Mas, dan aku harap Mas nggak ikut campur. Mas harus percaya kalau apa yang aku lakukan untuk kebaikan bersama. Aku nggak ingin ia nmencintaiku. Yang aku inginkan adalah ia membenciku atau bahkan melupakanku. Dan Mas nggak perlu tahu alasannya.”
***
Beberapa hari Iqbal tidak menemukan bayangan Salsa di kampus. Ia ingin memastikan kebenaran ucapan Alwi, tapi ia tak dapat menemukan Salsa. Ia terus mencari bak seorang anak yang kehilangan ibunya. Ia lihat sosok Reza tengah berpegangan tangan dengan gadis lain. Amarah menyelimuti rongga dada Iqbal. Ia segera mendatangi Reza dan memberinya sebuah bogem mentah hingga Reza tersungkur di atas tanah. Gadis di samping Reza menjerit. Reza bangkit dengan amarah yang sama.
“Apa-apaan sih? Datang-datang main pukul aja,” Bentak Reza.
“Kamu… kamu menduakan Salsa? Kenapa?”
“Hahahahaha, aku nggak mungkin menaruh suka pada cewek penyakitan kayak dia.”
“Apa maksudmu?”
“Jadi kamu belum tahu? Aduhhh, kasian banget. Cewek yang kamu sukai itu sekarang sedang terbaring bersama selang infuse karena penyakit leukimianya udah masuk stadium akhir.”
Bagai petir di siang bolong, berita itu begitu menyengatnya. Ia segera berlari tanpa memperdulikan Reza lagi. Ia ingin segera mengetahui kondisi bidadarinya. Ia terus melajukan kendaraannya melawan waktu. Ia tak ingin waktu mengambil gadis yang selama ini begitu ia cintai.
Ia segera mencari ruang dimana Salsa berada tapi ketika ia telah sampai, semua orang menatapnya dengan aliran tangis. Ia semakin takut. Ia meresa sayap-sayap malaikat maut tengah mengintai mereka.
“Ada apa? Salsa baik-baik saja kan?” tanya Iqbal panik.
Alwi memeluknya. Mencoba menenangkan sahabatnya.
“Tenanglah! Salsa masih di periksa oleh doker. Lebih baik kita berdoa! Bukankah kamu pernah bilang bahwa tidak ada yang bisa melawan takdir kecuali doa?”
Ia pergi menuju musolla rumah sakit. Ia wudhu dan melaksanakan shalat hajat.
Ya Allah, Kau Maha Tahu Segalanya. Aku hanya hamba-Mu yang tak berdaya tanpa-MU. Aku hanya seorang hamba yang hina, tapi hanya Engkau-lah yang dapat menolongku. Hamba juga tahu Engau telah mengasihiku.memberikan nikmat yang bahkan aku tak menyadarinya.
Ya aziz, betapa Kau tahu bahwa aku begitu mencintai-Nya. Bahwa ia tak pernah lupa mengajakku selalu bersujud pada-MU. Hamba mohon berkahi ia! Aku tak meminta-Mu untuk tak mengambilnya karena aku tahu Kau lebih berhak akan dirinya di banding siapapun tapi setidaknya beri aku waktu untuk meminta maaf dan mengatakan bahwa aku sangat mencintainya!
“Iqbal! Salsa siuman dan ingin bertemu denganmu,” ucap Alwi.
Iqbal bergegas menemui Salsa. Ia melihat bidadarinya tergeletak lemah tak berdaya. Ia duduk disampingnya.
“Sayang, kenapa denganmu. Lama tak ku dengar kisah dari penggalan alenia kehidupanmu. Maafkan Mas yang tak paka dengan rasa yang ka derita. Kenapa derita ini kamu tanggung sendiri? Bukankah masih ada aku sebagai tempatmu bersandar? Kamu harus ingat bahwa ini bukan hanya deritamu tapi derita kami semua! Sembuhlah! Maafkan aku yang tak peka terhadapmu. Kalau kamu sudah sembuh akan Mas belikan es krim.”
Salsa berusaha untuk tersenyum. Senyu datar di bibir pucatnya. Salsa melihat mata elang kekasihnya memerah menahan tangis. Juga mata-mata yang ada di sekelilingnya.
“ Mas nggak perlu minta maaf. Aku yang seharusnya meminta sebuah maaf untuk goresan luka yang ku sematkan. Aku mohon, jangan tangisi kepergianku! Berjuanglah! Bukan hanya untuk dirimu tapi berjuanglah juga untukku! Tersenyumlah Mas! Aku sangat merindukan senyummu.”
Iqbal mengangguk dan berusaha tersenyum walau senyumnya menyerupai lengkungan patah. Salsa memandang bunda yang selama ini telah membesarkannya.
“Bunda, ikhlaskan aku kembali ke pangkuan Sang Pencipta!” pinta Salsa.
“Iya nak, bunda akan berusaha mengikhlaskanmu,” jawab bunda menahan tangis.
Salsa menarik nafas berulang kali. Matanya melotot menghadap langit-langit. Melihat itu, Iqbal langsung mendekat ke telinga Salsa dan menuntunnya membaca syahadat. Salsa tersenyum dan mengikutinya. Sinar matanya mulai meredup. Ia mengambil nafas dan menghembuskannya dengan paksa tapi setelah itu tak ada nafas baru yang bertukar.
“Innalillahi wa inna ilahi riji’un,” ucap Iqbal. Ia bukannya tak hancur dengan kepergian sang kekasih, tapi ia telah berjanji untuk tidak menangis. Ruang rumah sakit itu kini banjir dengan air mata.
***
Senja itu menyelimuti langit dengan warna darah. Warna yang sangat menyedihkan. Sesedih hati Iqbal. Ia berada di atas bangunan kenangan. Setelah pemakaman selesai, ia pergi ke tempat yang biasa ia kunjungi bersama almarhumah. Ia mengambil rekaman yang di berikan oleh Alwi tadi sebelum ia pergi. Rekaman suara Salsa. Ia mulai memutarnya.
Hai Mas, maaf ya aku udah membuat Mas sedih tapi Mas harus selalu semangat. Oh iya, maaf juga nggak memberitahu keadaanku ke Mas karena aku nggak ingin Mas bersedih. Mas, darah rendahku memang telah berubah menjadi leukemia dan aku nggak ingin siapapun tahu. Eits, jangan cengeng begitu ah! Mas jaga kesehatan ya! Oh iya lupa lagi, jangan sampek merokok! Mas kan tahu aku benci asap rokok. Hehehehe. Doakan aku ya! Agar aku tenang disini!
Suara itu terdengar begitu ceria padahal sakit yang ia rasakan……… ah nggak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Entah sampai kapan duka akan tetap menyelimuti seorang Iqbal???
Tulungagung, 19 Januari 2013 11:34 WIB
Untuk pemilik kisah dan untuknya yang telah damai dalam pankuan Robb-nya. Hidup bukanlah suatu keabadian tapi ladang untuk menjalani hidup yang abadi.
PROFIL PENULIS
Aku bernama Amilia Zakiatul Fitria Kusuma dengan nama pena zakia an-najma. kini aku merancang masa depan di STAIN Tulungagung. q berasal dari kota patria blitar.
Post a Comment