Krisis Timur Tengah Kembali Mengemuka - Tentu saja krisis Timur Tengah, yang kini kembali mengemuka, mustahil diselesaikan dengan tulisan sejumlah tiga ribu karakter ini. Memperbincangkan masalah timur tengah adalah memperbincangkan kompleksitas faktor, tumpang tindih kepentingan, dan kerumitan global yang tampak tak selesai-selesai. Panasnya iklim Timur Tengah saat terjadi perang Teluk pada era 1990-an, telah menginspirasi penulis Karen Armstrong untuk menyusup lebih dalam ke akar persoalan. Dan dari sana. ia menemukan kesinambungan linear antara perang salib yang pernah berkobar selama sekitar dua ratus tahun sejak 1095 M. dengan perang-perang di Timur Tengah yang terjadi saat ini.
Dan, tampaknya dugaan Armstrong ada benarnya. Tidak lama setelah gedung menara kembar World Trade Center runtuh pada 9/11/2001, Presiden AS George Walker Bush segera melancarkan operasi "war on terror", dan mendeskripsikan ini sebagai "Perang Salib". Perang melawan teror pun segera berubah haluan menjadi perang melawan islam. Itulah sebabnya mengapa penjajahan terhadap Timur Tengah saat ini juga harus dibaca-dengan kaca pembesar-sebagai serangan atas agama Islam.
Krisis Timur Tengah tidak saja soal minyak, demokrasi, ataupun alasan tetek bengek yang lain. Jika penasehat kepresidenan AS Samuel P. Huntington mengarahkan para pemimpin AS pasca keruntuhan ideologi komunisme untuk mengarahkan bidikan pada Islam, maka dalil apa lagi yang perlu dikemukakan? Jika telah teridentifikasi bahwa perang ini juga melibatkan ideologi dan agama, pertanyaannya kemudian: apa yang bisa dilakukan umat Islam dalam perang ini? Inilah pertanyaan yang lumrah muncul tanpa kepastian jawaban, karena jawaban sesungguhnya adalah penyelesaian terhadap problem-problem kronis yang tengah menjangkiti umat Islam pada umunya.
Memang, ditengah krisis multidimensi yang dihadapi umat Islam saat ini sekalipun, tidak pernah ada orang yang mengatakan bahwa mengalahkan supermasi Barat saat ini sebagai sekadar utopia atau kemustahilan. Tapi bagaimanapun peperangan sama sekali tidak akan memadai jika hanya dilakukan dengan menghambur-hamburkan kata-kata bijak dan motivasi-motivasi pasaran. Maka, setidaknya kita perlu menyikan analisis serius yang dilakukan DR. Majid Arsan Al-kilani dalam Hakadza Zhahara Jailu Shalhuddi, wa Hakadza 'Adat Al-Quds. Seperti yang tersurat dalam judul bukunya, al-kilani memberi tahu kita bagaimana cara Shalahuddin al-Ayyubi berjaya dengan mempecundangi pasukan salib yang sempat merampok al-Quds di Palestina.
Dalam buku ini, al-Kilani menemukan dua pahlawan yang berjasa memberikan kemenangan pada umat islam dalam perang salib pertama, kendati mereka tidak pernah tampil di medan laga. Keduanya adalah Hujjatul-Islam Imam Abu Hamid al-Ghozali dan Sulthanul-'Auliya' Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Disisi lain al-Kilani berkesimpulan bahwa kedua ulama itu memang sengaja tidak tampil dalam peperangan karena betapapun hebatnya persenjataan yang dimiliki, itu tidak akan berarti apa-apa jika mental umat islam masih amburadul dan tidak islami. Itulah sebabnya mengapa dalam kitab Ihya' Ulumuddin tidak membahas tema jihad dalam arti perang fisik, namun justru membahas jihadun-nafsi.
Dan, penggemblengan mental dan moral umat islam yang dilakukan umat islam yang dilakukan oleh kedua imam itu baru terbukti manjur ketika lima puluh tahun kemudian, ketika Shalahuddin al-Ayyubi dengan kepercayaan diri yang tinggi membawa pasukan yang memiliki mental-mental baja, menghadapi dan menghalau pasukan salib dengan sekali libas.
Post a Comment