TERBANGLAH BALON BIRUKU
Karya Tifa Raisandra
Aku gadis kecil berumur 13 tahun dan harus menderita dengan penyakitku ini. Penyakit itu yang membuatku menyerah untuk melanjutkan hidup. Kanker. Kanker, merupakan salah satu penyakit yang mematikan. Setiap harinya aku dikejutkan dengan berbagai peristiwa aneh. Mulai dari sakit kepala, kejang- kejang, muntah dan sering terjatuh.
Aku, Farine Callista. Pecinta warna biru, suka menerbangkan balon-balon indah itu ke langit dan melukiskan peristiwa penting dalam hidupku di buku harian. Menurutku menerbangkan balon adalah kebiasaan yang unik dan aneh tapi seru. Sehari aku bisa menghabiskan 5 sampai 7 balon biru dan aku harus berbelanja buku harian setiap minggunya.
Aku, Farine Callista. Pecinta warna biru, suka menerbangkan balon-balon indah itu ke langit dan melukiskan peristiwa penting dalam hidupku di buku harian. Menurutku menerbangkan balon adalah kebiasaan yang unik dan aneh tapi seru. Sehari aku bisa menghabiskan 5 sampai 7 balon biru dan aku harus berbelanja buku harian setiap minggunya.
Terbanglah Balon Biruku |
Aku juga punya seorang sahabat. Namanya Refan. Dia laki-laki, yang bisa diajak bercanda, dewasa dan selalu mengerti keadaan. Dia sahabat kecilku hingga sekarang. Tiada kehadirannya seperti satu jiwa tapi tidak mempunya hati. Karena itulah kami sering bermain bersama. Tetapi kini keadaanku tidak menyakinkan.
Aku berubah, yang dulunya periang kini pemurung. Walaupun sekarang aku penyakitan, bagi Refan itu tidak masalah. Ia tetap pada pendiriannya. Selalu menemani apapun keadaannya. Ia memang sahabat terbaikku yang pernah kukenal. Pernah aku bertanya padanya sebelum aku sakit, “Apakah kamu akan meninggalkanku ketika sakit?” Refan langsung menjawabnya “Tidak akan pernah,” aku pun tersenyum.
Cahaya menembus kaca bening kamarku, semilir angin sejuk berhembus mulai menusuk jiwaku dan seseorang terseyum manis di sebelahku. Dia belahan jiwaku, Mama. Mama sudah menyiapkanku air putih hangat, roti selai kacang dan obat. Sekarang aku tergantung dengan obat, obat bagaikan nyawa keduaku.
“Kalau kamu mau jalan-jalan bilang Mama ya,” kata beliau.
“Pasti Ma,” ucapku seraya memeluknya hangat.
Aku keluar dari kamarku dan menuju teras depan rumah. Biasanya pagi-pagi Refan sudah ke rumahku untuk diajak jalan-jalan. Tetapi sekarang kok tidak. Kemana dia? Tanyaku dalam hati. Mama melihatku di jendela dengan penuh air mata. Setiap harinya beliau selalu menangis bila lagi sendiri. Entah karena penyakit ini yang membuat tetes-tetes air terus tumpah dari pelupuk matanya.
“Pagi ... bidadari kecil!” sapa Refan yang tiba-tiba muncul dengan membawa sebuah balon.
“Refan ... kemana saja kamu? Aku sudah menunggu,” ucapku sambil melambaikan tangan.
“Maaf ya, tadi aku membantu nenek-nenek menyebrang jalan,” ucapnya jujur.
“Oh, nggak apa-apa kok” ucapku.
Mama keluar dari balik persembunyiannya sambil mengahapus air mata di pipinya. Refan segera menyalimi Mama dan meminta untuk diinzinkan di ajak jalan-jalan. Aku sangat senang karena Mama selalu percaya Refan untuk menjagaku. Akhirnya aku dan Refan sepakat mengunjungi taman kota. Di sana banyak sekali bunga-bunga indah. Bunga mawar tentunya.
“Sudah bawa buku harian dan pulpen biru?” tanyanya mengingatkanku.
“Sudah,” jawabku singkat.
“Cokelat?” dia mulai menanyai yang aneh. Alisku naik sebelah.
“Buat apa? Kita kan nggak suka bawa cokelat,” sergahku.
“Buat aku dong. Itukan bayarannya aku menjagamu,” ucapnya sambil cekikikan.
“Jadi nggak ikhlas nih?” aku memancingnya.
“Bercanda doang kok. Cepet marahan ... cepet tuanya lho,” ledeknya.
Aku langsung manyun diiringi gelak tawanya. Akhirnya kami telah sampai, bau bunga mawarnya telah tercium ... harum sekali. Refan langsung memetik salah satu bunga yang sudah mekar dengan warna yang sangat merah. Ia menyuruhku menuliskan sesuatu di buku harianku. Menuliskan tentang pagi hari ini bersama sang sahabat.
“Sudah belum nulisnya?” tanyanya.
“Bentar lagi,” jawabku datar.
Setelah aku selesai menulis, aku robek kertasnya dan digulung menyerupai huruf o. Lalu diikatkan dengan benang balon dan bunga mawar itu di selipkan diantara benang dan kertas. Selidik punya selidik, Refan ingin tahu apa yang barusan tadi aku tulis. Dengan terpaksa aku memberitahukannya. Dia suka memaksa tetapi tidak suka dipaksa.
Dear balon biruku ...
Hari ini sangat cerah sekali. Awan-awan putih mengiringi pagiku sebagai tanda aku masih berhak untuk hidup dan juga sahabatku. Bagiku Refan, ia malaikat penolong. Aku beri dia gelar seminggu lalu. Di berhak menyandang titel “Malaikat Penolong” karena wujud sifatnya. Aku bahagia, punya Mamah, Papa dan sahabat. Karena keluarga adalah maha karya alam yang amat berharga. Terima kasih untuk sang Khalik ... juga my best friend, Refan.
Aku mengingat-ngingat apa yang tadi aku tulis. Setelah puas dia mendengarkan ocehanku, tibanya saat menerbangkan balon itu.
“Make a wish,” katanya mengingatkanku.
Aku berharap Refan akan selalu menjadi sahabat baikku, harapku sambil memejamkan mata. Kami mulai merenggangkan tangan dan balon itu sudah melayang-layang ke langit. Sekejap mata, balon itu menghilang di balik awan. Awalnya Refan menganggap aku manusia aneh karena menurutnya menerbangkan balon itu cuma sia-sia waktu dan tenaga.
Hari demi hari akhirnya ia mengerti. Ia memaklumi kebiasaanku dan mendukungku agar terus melakukanya karena itu bukan perbuatan dosa dan dilarang. Dia juga pernah bertanya, “Ketika sudah di terbangkan ... tujuannya apa?” Aku menjawab sekenanya “Supaya seluruh dunia, alam dan Tuhan tau,” dia bertanya lagi “Bukannya komunikasi dengan Tuhan bisa lewat doa?” aku tersenyum “Iya aku tau dan tau sekali. Tetapi ini sudah jadi ritualku sehari-hari,”
Dia langsung bengong saat itu. Ternyata Refan meniru kebiasaanku tetapi hanya sementara, karena kegiatan itu hanya pantas dilakukan oleh kaum hawa bukan kaum adam. Tetapi Refan tetap menghormati kegiatanku. Berlama-lama di taman tidak bagus juga. Semakin ramai dan panas. Refan mengajakku pulang ke rumah tetapi sebelum pulang ia membelikanku sesuatu.
“Kamu suka?” Refan melirikku.
“Sangat suka. Ini benda yang pernah aku baca di buku dongeng,” kataku sambil berkhayal.
Benda itu mungil dan lucu. Bentuknya segitiga di dalamnya ada salju-salju putih dan dua orang yang tengah tersenyum. Cantik sekali. Ketika di pertengahan jalan menuju rumah. Kepalaku sedikit pusing dan badanku sakit. Melihat itu Refan langsung panik dan buru-buru menelepon Mamaku. Sakit di kepalaku mulai menjadi-jadi, akhirnya aku terjatuh, benda yang aku pegang pecah dan tidak sadarkan diri.
Aku melihat cahaya putih mendekati diriku. Ia mengajakku untuk jalan-jalan dan aku menyanggupinya. Tetapi ada sesuatu yang janggal, gumamku kecil. Tadi aku berada di jalanan bersama Refan. Aku mengingat-ngingat kejadian. Yang aku ingat hanya itu saja. Aneh, makhluk itu selalu tersenyum jika ku ajak bicara.
Dengan nada kesal, akhirnya makhluk itu pun mulai mengeluarkan suara. Karena sifat kecerewetanku dan dia menyerah juga.
“Cepatlah kau punya dua pilihan! Ikut bersamaku atau pulang?” desaknya.
“Aku lelah menghadapi semuanya di duniaku. Menahan beban setiap hari ... apakah Tuhan mengijinkanku untuk tinggal disini?” tanyaku.
“Ya ... sebelum kau tinggal di sini. Ada perimintaan lain? Sebaiknya kau memberikan kata-kata terakhir untuk keluargamu sebelum aku mencabut nyawamu,” jawabnya.
“Baiklah, jika Tuhan mengijinkanku pergi. Aku mau menerbangkan balon keterakhirku!” kataku.
“Silahkan saja, sekarang tutup matamu!” ucapnya dan menyuruhku. Aku pun menurutinya dan menutup mata.
Mataku terbuka begitu saja. Semua orang menangisiku dengan sendu dan sahabatku sedang membacakan puisi. Tetapi aku tak mendengar puisinya. Ketika keluargaku melihat aku bangun dari koma ... mereka langsung memelukku dengan eratnya dan ternyata ... aku sudah koma satu minggu. Aku menangis di pelukan Mama. Tetapi aku sudah janjian dengan mahkluk bercahaya itu, kalau aku di beri kesempatan hidup untuk memberikan kata-kata terakhir dan menerbangkan balon.
“Ma, Pa, Fan dan semunya. Terima kasih sudah menjagaku, menemani hari-hari cerahku, membantuku, menyemangatiku, dan semunya. Tanpa semuanya, aku tidak bisa bertbuat banyak. Di sini aku hanya beban untuk semuanya,” ucapku panjang lebar.
“Tidak sayang, kamu bukan beban. Kamu anak Mamah dan Papa, itu kewajiban kami,” isak tangis mamah mulai pecah bak air sungai yang meluap.
“Maksud kamu apa Rine, kamu mau ninggalin aku gitu,” potong Refan tak mengerti maksudku.
“Kamu malaikat penolong ... tanpamu aku lemah dan tanpamu aku penyakitan. Terima kasih ya selama ini kau selalu ada di sampingku dengan penuh pengorbananmu,” kataku dan tersenyum.
“Ini permintaan terakhirku,” kataku lagi.
“Apa itu?” Mama mulai menyiapkan diri.
“Aku mau balon biru, buku dan pulpen,” pintaku.
“Baik aku ambilkan,” Refan langsung menyanggupinya.
“Terima kasih, ini balon terakhirku yang ke 257!” kataku menoleh Refan.
Aku segera memainkan jemari tanganku dengan cekatan di atas kertas halus. Kata demi kata akhirnya menjadi kalimat-kalimat yang utuh. Aku menyuruh Mamah untuk mengikatkannya dan Refan menerbangkannya. Setelah aku lihat Balon itu sudah menghilang di terpa angin. Keinginanku akhirnya selesai juga. Tibanya saat malaikat pencabut nyawa menjemputku.
“Aku sayang kalian, kalian adalah makhluk yang sangat berjasa untukku. Aku tunggu di keabadianku,” kataku setengah berteriak. Aku mulai lemas.
Perlahan dan perlahan. Sesuatu ada yang menarikku keluar, mataku mulai menutup dan ruh-ku telah terbang. Demikian banyak orang menangisi dan mengasihaniku. Aku tidak tega melihatnya, karena nanti kami akan dipertemukan lagi walaupun kini rasa rindu mulai menggerayangiku. Perjanjian tetap perjanjian dan hidup adalah hidup. Karena hidupku bukan untuk di tangisi atau di kasihani tetapi di semangati.
Ini dia yang aku tulis sebelum aku di panggil sang Khalik.
Dear Balon Biruku ...
Ini hari terakhirku. Tiada yang tau kalau aku sudah buat perjanjian kecuali Tuhan dan malaikat itu. Aku senang sudah mempunyai keluarga dan sahabat. Sampai akhir hayatku ini aku masih merasa bahagia. Bahagia ... sekali seperti sesosok manusia yang baru dikaruniani seorang adik. Bagiku sahabat adalah yang mengerti segala tentangku dan di dunia ini di sebut takdir dan sisanya pilihan. Aku punya satu prinsip “Tak ada kesedihan yang lebih besar mengingat hari-hari penuh kesenangan pada saat sedang menderita.” Salam Farine Callista sang pengidap kanker
Aku berubah, yang dulunya periang kini pemurung. Walaupun sekarang aku penyakitan, bagi Refan itu tidak masalah. Ia tetap pada pendiriannya. Selalu menemani apapun keadaannya. Ia memang sahabat terbaikku yang pernah kukenal. Pernah aku bertanya padanya sebelum aku sakit, “Apakah kamu akan meninggalkanku ketika sakit?” Refan langsung menjawabnya “Tidak akan pernah,” aku pun tersenyum.
Cahaya menembus kaca bening kamarku, semilir angin sejuk berhembus mulai menusuk jiwaku dan seseorang terseyum manis di sebelahku. Dia belahan jiwaku, Mama. Mama sudah menyiapkanku air putih hangat, roti selai kacang dan obat. Sekarang aku tergantung dengan obat, obat bagaikan nyawa keduaku.
“Kalau kamu mau jalan-jalan bilang Mama ya,” kata beliau.
“Pasti Ma,” ucapku seraya memeluknya hangat.
Aku keluar dari kamarku dan menuju teras depan rumah. Biasanya pagi-pagi Refan sudah ke rumahku untuk diajak jalan-jalan. Tetapi sekarang kok tidak. Kemana dia? Tanyaku dalam hati. Mama melihatku di jendela dengan penuh air mata. Setiap harinya beliau selalu menangis bila lagi sendiri. Entah karena penyakit ini yang membuat tetes-tetes air terus tumpah dari pelupuk matanya.
“Pagi ... bidadari kecil!” sapa Refan yang tiba-tiba muncul dengan membawa sebuah balon.
“Refan ... kemana saja kamu? Aku sudah menunggu,” ucapku sambil melambaikan tangan.
“Maaf ya, tadi aku membantu nenek-nenek menyebrang jalan,” ucapnya jujur.
“Oh, nggak apa-apa kok” ucapku.
Mama keluar dari balik persembunyiannya sambil mengahapus air mata di pipinya. Refan segera menyalimi Mama dan meminta untuk diinzinkan di ajak jalan-jalan. Aku sangat senang karena Mama selalu percaya Refan untuk menjagaku. Akhirnya aku dan Refan sepakat mengunjungi taman kota. Di sana banyak sekali bunga-bunga indah. Bunga mawar tentunya.
“Sudah bawa buku harian dan pulpen biru?” tanyanya mengingatkanku.
“Sudah,” jawabku singkat.
“Cokelat?” dia mulai menanyai yang aneh. Alisku naik sebelah.
“Buat apa? Kita kan nggak suka bawa cokelat,” sergahku.
“Buat aku dong. Itukan bayarannya aku menjagamu,” ucapnya sambil cekikikan.
“Jadi nggak ikhlas nih?” aku memancingnya.
“Bercanda doang kok. Cepet marahan ... cepet tuanya lho,” ledeknya.
Aku langsung manyun diiringi gelak tawanya. Akhirnya kami telah sampai, bau bunga mawarnya telah tercium ... harum sekali. Refan langsung memetik salah satu bunga yang sudah mekar dengan warna yang sangat merah. Ia menyuruhku menuliskan sesuatu di buku harianku. Menuliskan tentang pagi hari ini bersama sang sahabat.
“Sudah belum nulisnya?” tanyanya.
“Bentar lagi,” jawabku datar.
Setelah aku selesai menulis, aku robek kertasnya dan digulung menyerupai huruf o. Lalu diikatkan dengan benang balon dan bunga mawar itu di selipkan diantara benang dan kertas. Selidik punya selidik, Refan ingin tahu apa yang barusan tadi aku tulis. Dengan terpaksa aku memberitahukannya. Dia suka memaksa tetapi tidak suka dipaksa.
Dear balon biruku ...
Hari ini sangat cerah sekali. Awan-awan putih mengiringi pagiku sebagai tanda aku masih berhak untuk hidup dan juga sahabatku. Bagiku Refan, ia malaikat penolong. Aku beri dia gelar seminggu lalu. Di berhak menyandang titel “Malaikat Penolong” karena wujud sifatnya. Aku bahagia, punya Mamah, Papa dan sahabat. Karena keluarga adalah maha karya alam yang amat berharga. Terima kasih untuk sang Khalik ... juga my best friend, Refan.
Aku mengingat-ngingat apa yang tadi aku tulis. Setelah puas dia mendengarkan ocehanku, tibanya saat menerbangkan balon itu.
“Make a wish,” katanya mengingatkanku.
Aku berharap Refan akan selalu menjadi sahabat baikku, harapku sambil memejamkan mata. Kami mulai merenggangkan tangan dan balon itu sudah melayang-layang ke langit. Sekejap mata, balon itu menghilang di balik awan. Awalnya Refan menganggap aku manusia aneh karena menurutnya menerbangkan balon itu cuma sia-sia waktu dan tenaga.
Hari demi hari akhirnya ia mengerti. Ia memaklumi kebiasaanku dan mendukungku agar terus melakukanya karena itu bukan perbuatan dosa dan dilarang. Dia juga pernah bertanya, “Ketika sudah di terbangkan ... tujuannya apa?” Aku menjawab sekenanya “Supaya seluruh dunia, alam dan Tuhan tau,” dia bertanya lagi “Bukannya komunikasi dengan Tuhan bisa lewat doa?” aku tersenyum “Iya aku tau dan tau sekali. Tetapi ini sudah jadi ritualku sehari-hari,”
Dia langsung bengong saat itu. Ternyata Refan meniru kebiasaanku tetapi hanya sementara, karena kegiatan itu hanya pantas dilakukan oleh kaum hawa bukan kaum adam. Tetapi Refan tetap menghormati kegiatanku. Berlama-lama di taman tidak bagus juga. Semakin ramai dan panas. Refan mengajakku pulang ke rumah tetapi sebelum pulang ia membelikanku sesuatu.
“Kamu suka?” Refan melirikku.
“Sangat suka. Ini benda yang pernah aku baca di buku dongeng,” kataku sambil berkhayal.
Benda itu mungil dan lucu. Bentuknya segitiga di dalamnya ada salju-salju putih dan dua orang yang tengah tersenyum. Cantik sekali. Ketika di pertengahan jalan menuju rumah. Kepalaku sedikit pusing dan badanku sakit. Melihat itu Refan langsung panik dan buru-buru menelepon Mamaku. Sakit di kepalaku mulai menjadi-jadi, akhirnya aku terjatuh, benda yang aku pegang pecah dan tidak sadarkan diri.
Aku melihat cahaya putih mendekati diriku. Ia mengajakku untuk jalan-jalan dan aku menyanggupinya. Tetapi ada sesuatu yang janggal, gumamku kecil. Tadi aku berada di jalanan bersama Refan. Aku mengingat-ngingat kejadian. Yang aku ingat hanya itu saja. Aneh, makhluk itu selalu tersenyum jika ku ajak bicara.
Dengan nada kesal, akhirnya makhluk itu pun mulai mengeluarkan suara. Karena sifat kecerewetanku dan dia menyerah juga.
“Cepatlah kau punya dua pilihan! Ikut bersamaku atau pulang?” desaknya.
“Aku lelah menghadapi semuanya di duniaku. Menahan beban setiap hari ... apakah Tuhan mengijinkanku untuk tinggal disini?” tanyaku.
“Ya ... sebelum kau tinggal di sini. Ada perimintaan lain? Sebaiknya kau memberikan kata-kata terakhir untuk keluargamu sebelum aku mencabut nyawamu,” jawabnya.
“Baiklah, jika Tuhan mengijinkanku pergi. Aku mau menerbangkan balon keterakhirku!” kataku.
“Silahkan saja, sekarang tutup matamu!” ucapnya dan menyuruhku. Aku pun menurutinya dan menutup mata.
Mataku terbuka begitu saja. Semua orang menangisiku dengan sendu dan sahabatku sedang membacakan puisi. Tetapi aku tak mendengar puisinya. Ketika keluargaku melihat aku bangun dari koma ... mereka langsung memelukku dengan eratnya dan ternyata ... aku sudah koma satu minggu. Aku menangis di pelukan Mama. Tetapi aku sudah janjian dengan mahkluk bercahaya itu, kalau aku di beri kesempatan hidup untuk memberikan kata-kata terakhir dan menerbangkan balon.
“Ma, Pa, Fan dan semunya. Terima kasih sudah menjagaku, menemani hari-hari cerahku, membantuku, menyemangatiku, dan semunya. Tanpa semuanya, aku tidak bisa bertbuat banyak. Di sini aku hanya beban untuk semuanya,” ucapku panjang lebar.
“Tidak sayang, kamu bukan beban. Kamu anak Mamah dan Papa, itu kewajiban kami,” isak tangis mamah mulai pecah bak air sungai yang meluap.
“Maksud kamu apa Rine, kamu mau ninggalin aku gitu,” potong Refan tak mengerti maksudku.
“Kamu malaikat penolong ... tanpamu aku lemah dan tanpamu aku penyakitan. Terima kasih ya selama ini kau selalu ada di sampingku dengan penuh pengorbananmu,” kataku dan tersenyum.
“Ini permintaan terakhirku,” kataku lagi.
“Apa itu?” Mama mulai menyiapkan diri.
“Aku mau balon biru, buku dan pulpen,” pintaku.
“Baik aku ambilkan,” Refan langsung menyanggupinya.
“Terima kasih, ini balon terakhirku yang ke 257!” kataku menoleh Refan.
Aku segera memainkan jemari tanganku dengan cekatan di atas kertas halus. Kata demi kata akhirnya menjadi kalimat-kalimat yang utuh. Aku menyuruh Mamah untuk mengikatkannya dan Refan menerbangkannya. Setelah aku lihat Balon itu sudah menghilang di terpa angin. Keinginanku akhirnya selesai juga. Tibanya saat malaikat pencabut nyawa menjemputku.
“Aku sayang kalian, kalian adalah makhluk yang sangat berjasa untukku. Aku tunggu di keabadianku,” kataku setengah berteriak. Aku mulai lemas.
Perlahan dan perlahan. Sesuatu ada yang menarikku keluar, mataku mulai menutup dan ruh-ku telah terbang. Demikian banyak orang menangisi dan mengasihaniku. Aku tidak tega melihatnya, karena nanti kami akan dipertemukan lagi walaupun kini rasa rindu mulai menggerayangiku. Perjanjian tetap perjanjian dan hidup adalah hidup. Karena hidupku bukan untuk di tangisi atau di kasihani tetapi di semangati.
Ini dia yang aku tulis sebelum aku di panggil sang Khalik.
Dear Balon Biruku ...
Ini hari terakhirku. Tiada yang tau kalau aku sudah buat perjanjian kecuali Tuhan dan malaikat itu. Aku senang sudah mempunyai keluarga dan sahabat. Sampai akhir hayatku ini aku masih merasa bahagia. Bahagia ... sekali seperti sesosok manusia yang baru dikaruniani seorang adik. Bagiku sahabat adalah yang mengerti segala tentangku dan di dunia ini di sebut takdir dan sisanya pilihan. Aku punya satu prinsip “Tak ada kesedihan yang lebih besar mengingat hari-hari penuh kesenangan pada saat sedang menderita.” Salam Farine Callista sang pengidap kanker
PROFIL PENULIS
Ini cerpen pertama saya. Semoga bermanfaat! Dan alamat FB Tifa Raisandra juga Twitter @Tifaraisa ... Terima Kasih
Ini cerpen pertama saya. Semoga bermanfaat! Dan alamat FB Tifa Raisandra juga Twitter @Tifaraisa ... Terima Kasih
Baca juga Cerpen Sedih yang lainnya.
Post a Comment