Pemberian terapi kortikosteroid yang berlangsung lama dapat mengakibatkan manifestasi klinis sindrom Cushing. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit yang timbul akibat terapi glukokortikoid lebih ringan, tetapi miopati yang timbul lebih berat. Selain itu, ulkus peptikum lebih sering ditemukan pada pasien yang menerima terapi glukokortikoid selama lebih dari 30 hari. Pembentukan katarak juga bisa ditemukan pada pasien dengan sindrom Cushing eksogen. Pasien dengan sindrom Cushing endogen dan eksogen sangat rawan terhadap infeksi.
Gangguan akibat terapi glukokortikoid:
1. Pada pembedahan mata atau trauma mata, terapi tetes obat mata atau salep mata. Efek sistemisnya minimal.
2. Gangguan dermatologis, terapi salep. Efek sistemis bergantung pada luas kulit yang diberikan salep.
3. Penyakit autoimun (artritis reumatoid, sistemik lupus eritematosus, dan skleroderma).
4. Gangguan hematologis: Anemia hemolitik, trombo-sitopenia, limfoma, dan leukemia.
5. Reaksi alergi: Anafilaksis, dermatitis kontak, dan reaksi transfusi.
6. Gangguan gastrointestinal: Kolitis ulseratif, penyakit Chron, dan hepatitis.
7. Gangguan nefrologis: Sindrom nefrotik.
8. Gangguan neurologis: Trauma kepala dan bedah kepala untuk mencegah edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial.
9. Gangguan kardiopulmonal: Asma, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), dan miokarditis.
10. Transplantasi: Ginjal, hepar, jantung, sumsum tulang, dan sebagainya.
Manajemen Kolaboratif
Defisit kortisol bisa timbul apabila terapi glukokortikoid diberikan terus-menerus dan berlangsung lama. Penghentian pemberian glukokortikoid harus perlahan (tapering dose) agar insufisiensi adrenal dapat dicegah. Kadar glukokortikoid eksogen dalam darah yang tinggi (berlebihan) akan mengakibatkan umpan balik negatif pada hipotalamus dan kelenjar hipofisis anterior sehingga produksi corticotropin-releasing factor (CRF) dan ACTH ditekan. Penekanan produksi CRF dan ACTH mengakibatkan penekanan aksis adrenal hipotalamus-hipofisis dan atrofi adrenal. Apabila pemberian terapi glukokortikoid dihentikan secara tiba-tiba, pasien dapat mengalami tanda dan gejala insufisiensi adrenal karena ketidakmampuan menghasilkan glukokortikoid. Diperlukan waktu sekitar sembilan bulan untuk memulihkan fungsi aksis adrenal hipotalamus-hipofisis.
Untuk menghindari penekanan aksis hipotalamik-hipofisis, dokter mengatur pemberian glukokortikoid selang sehari. Misalnya, pasien diberi glukokortikoid dosis ganda selang sehari pada pukul 08.00. Pada hari ketika pasien tidak mendapatkan glukokortikoid, glukokortikoid serum akan menurun, dan penekanan hipotalamus-hipofisis anterior dapat dicegah. Selang sehari, pasien mempunyai sekresi CRF endogen dan ACTH yang normal dan stimulasi yang normal pada korteks adrenal. Dengan demikian, pasien terhindar dari atrofi adrenal. Setelah terapi glukokortikoid dihentikan perlahan, pasien bisa menghasilkan cukup glukokortikoid untuk memenuhi kebutuhan tubuh dalam keadaan yang tidak penuh stres. Akan tetapi, pasien memerlukan tambahan glukokortikoid dalam keadaan yang penuh stres. Pasien dengan keluarga yang mempunyai riwayat diabetes melitus perlu diperiksa gula darahnya secara teratur.
Modifikasi diet diperlukan apabila ada hiperglikemia. Untuk menangani masalah gastrointestinal, steroid harus dimakan dengan makanan atau dengan antasid. Uji Guaiac untuk feses dilakukan secara teratur agar dapat diketahui dengan cepat apabila ada iritasi pada lambung. Retensi cairan bisa juga menjadi masalah. Asupan garam perlu dibatasi, berat badan ditimbang setiap hari, dan adanya edema dilaporkan. Apabila diuretik diberikan, makanan harus mengandung tinggi kalium. Atrofi otot ekstremitas dan demineralisasi tulang dapat dikurangi dengan gerak badan secara teratur dan makanan tinggi protein. Infeksi dapat dicegah dengan menghindari tempat keramatan, misalnya bioskop dan pasar. Hindari berkontak dengan orang yang terinfeksi, terutama infeksi saluran napas.
Pustaka
Klien Gangguan Endokrin Seri Asuhan keperawatan Oleh Mary Baradero, Mary Wilfrid Dayrit & Yakobus Siswadi
Post a Comment