
Berita pada Media Tempo dan Kompas Minggu, 17 Februari 2013 dan Tempo , dengan komentar Menteri Dalam Negeri dan juru bicaranya yang mengeluarkan pernyataan bahwasanya Gubernur DKI Jakarta “seolah-olah desersi” karena meninggalkan DKI Jakarta untuk berkampanye di Jawa Barat adalah tidak tepat.
Pertama, peraturan yang dimuat Kompas yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14 Tahun 2011 adalah tidak tepat, karena peraturan yang benar adalah Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pejabat Negara Mengikuti Kampanye Pemilihan Umum.
Kedua, pernyataan yang menyebutkan; “izin cuti melaksanakan kampanye bagi pejabat negara atau daerah, seperti gubernur, bupati, dan wali kota, harus diajukan 12 hari sebelumnya, sesungguhnya merujuk pada Pasal 5 dari PP diatas mengacu kepada Pasal 3, yang mana baru berlaku ketika Gubernur melaksanakan Kampanye Pemilu. Padahal, Kampanye Pemilu adalah Kampanye Pemilihan Anggota DPR, DPD, DPR serta Presiden dan Wakil Presiden. Tidak termasuk Pemilihan Gubernur!! Sehingga PP ini dari judulnya saja tidak bisa digunakan pada kasus ini. Hal ini dikuatkan dengan definisi Pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) & (3) UU No. 15 Tahun 2011.
Ketiga, kampanye yang dilakukan Jokowi adalah kampanye Pemilihan Gubernur Jawa Barat, peraturan mengenai Kampanye pemilihan kepala daerah lebih tepat menggunakan peraturan yang ada pada UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Akan tetapi pada kasus ini, calon yang dikampanyekan Jokowi adalah orang lain (Rieke Diah Pitaloka Dan Teten Masduki), bukan berkampanye untuk dirinya sendiri, sehingga peraturan terkait kewajiban mengajukan cuti dalam masa kampanye sebagaimana diatur dalam Pasal 79 ayat 3 UU No.32 Tahun 2004 tidak dapat dibebankan kepada Jokowi.
Keempat, semenjak Indonesia mengakui Konvensi Nomor 29-1930 Staatsblad 1933-261, Konvensi Nomor 98-1949 (Lembaran Negara tahun 1956 Nomor 42), dan meratifikasi Konvensi ILO Nomor 106 yang kemudian disahkan menjadi UU No. 3 Tahun 1961 yang kemudian ditanda tangani oleh Presiden Soekarno, secara jelas dinyatakan bahwa setiap orang yang bekerja pada lembaga, kantor, organisasi atau perusahaan milik pemerintah maupun swasta berhak mendapatkan libur mingguan (sabtu/minggu). Adalah benar bahwa Jokowi sebagai pejabat Negara memiliki tugas dan kewajiban untuk melayani rakyatnya selama beliau mengemban jabatannya. Tetapi, menghilangkan hak asasi beliau untuk mendapatkan hari libur secukupnya adalah sesuatu yang tidak layak dan bertentangan dengan UUD 1945.
Akhir kata, Kementrian Dalam Negeri seharusnya lebih paham dan cermat dalam membaca peraturan yang ada didalam negerinya sendiri.
Benny Hutabarat, Leiden – Netherlands, 18/02/13.
Advanced Master of Law Student at Leiden University.
Twitter: @bennyhutabarat
Post a Comment