FATHERHOOD
Karya Alkaela
Karya Alkaela
Summer yang selalu di tunggu-tunggu para warga daratan Eropa sepertinya tak begitu dihiraukan oleh orang-orang yang mendiami Oxford. Mereka di musim panas pastilah akan menyibukkan diri, berendam di kumpulan buku, tesis-tesis pasca sarjana atau mengerjakan tugas yang belum terselesaikan.
Sama halnya dengan Aku dan Fian. Kami tak terpengaruh dengan suasana musim panas ini toh temperature musim panas ini masih berada di bawah garis normal kami sebagai orang dari Negara Tropis.
Fatherhood |
Ting tong
“Surprise!!!” Teriak mereka berdua dengan semangat.
“Laras! Kak Ardhian!” Aku tak kalah semangat. Laras dan Ardhian menikah 4 tahun yang lalu dan sekarang…“Eh siapa ini? Hm masuk dulu ya, maaf apartemennya kecil.”
Teman SMAku sekarang mampir di apartemen kecil kami, Laras dan Kak Ardhian. Mereka berdua masuk ke apartemenku dan digendongan Laras, jagoan kecil yang tampak malu-malu berlindung di pelukan bundanya.
Mendengar keributan di pintu Fian yang sedari tadi mengkoreksi tesis yang kubuat berjalan keluar dari ruang kerja, di tatapnya orang-orang yang ada di ruang tamu dan aku yang di dapur sedang menyiapkan minum. Tatapannya berhenti pada sesosok laki-laki yang dulu pernah bersekolah dan sekelas dengannya.
“Ardhian!” Sentaknya dan yang dipanggilpun berbalik. Mereka tampak senang. Sudah lama aku tak melihat Fian dengan mata berbinar. Mereka berpelukkan dengan erat kupikir seperti pasangan kekasih yang telah lama tak bertemu.
“Sepertinya sudah 2 tahun gak ketemu ya?” Fian menepuk-nepuk pundak Ardhian.
“Kamu sendiri juga tambah tua!” Kata Ardhian menepuk kepala lelaki yang 5 cm lebih tinggi darinya.
Kami berlima duduk di sofa putih ruang tamu, ya bercerita tentang masa lalu dan rutinitas yang kami jalani saat ini. Pandanganku tak bisa lepas pada Adega.
Putra pertama Ardhian dan Laras tersebut bergelantung manja pada ayah bundanya dan sesekali berceloteh riang. Umurnya yang baru menginjak 3 tahun tak menyurutkan niatnya untuk berbicara walau kurang begitu ku mengerti. Pipinya yang chubby mengunyah cup cake keju yang kusajikan, membuatku tak tahan untuk mencubit pipinya. Dia terlampau imut.
Satu jam lebih kami bercanda mengenang masa lalu dan kini mulai beranjak siang.
“Lalu apa rencana kalian?” Fian penasaran. Kupikir ia mulai menjadi kepo jika menyangkut masalah tentang sahabat-sahabatnya.
“Karena ini bulan madu, kami akan mengunjungi Paris.” Kak Ardhian yang dulu kukira pendiam malah berceloteh tentang rencana mereka. “ Karena itu, Fian, Noah. Maukah kalian menjaga Adega untuk kami…” Lagi wajah coolnya itu menunjukkan ekspresi ‘maukah kamu melakukannya, atau kubanting kalian berdua sekaligus’ yang membuatku dan Fian tentunya mengangguk setuju.
Setelah mereka memberi instruksi pada aku dan Fian bagaimana cara merawat Adega mereka berangkat ke Paris kupikir ini memang bulan madu yang sangat dan teramat mereka tunggu.
Aku jadi iri, mereka di tengah liburan masih sempat bulan madu tapi aku dan Fian hanya diam. Ya aku tahu, sulit memang mengajak Fian keluar walau hanya untuk mengambil kiriman yang dikirim di depan pintu apartemen.
Saat menutup pintu aku berbalik. Aku mengehela nafas, Fian kembali dengan kesibukannya dan Adega…
“Ah Adega jangan sayang!” seruku saat Adega keluar dan menuju balkon yang tak jauh dari ruang tamu dia mengeluarkan tangannya. Aku berlari cepat untuk menangkapnya.
“Tante, indah ya?” Dia tampak polos innocent, matanya yang berbinar dengan keindahan Oxford tersenyum kagum dengan riang dan rambutnya yang lembut terbawa angin Oxford. Ia tak sadar betapa bahayanya aksi yang ia lakukan tadi.
“Ia Dega, indah tapi bahaya tahu.” Kataku memeluk Adega dari belakang dan membiarkan Adega duduk di pangkuanku.
“Solly ya tante, aku itu kuat!” Katanya berdiri dan menghadap padaku. Tangannya yang mungil dan berbalut jacket snoopy itu ia tekuk bak binaraga. Aku tertawa dengan Adega yang imut dan lucu ini.
“Adega main sama om yuk?” Ajakku padanya yang juga mengangguk padaku.
Aku yang tengah menggendong badan mungil Adega berjalan hati-hati menuju ruang kerja Fian. Seperti biasa bau kertas dan tinta memenuhi ruangan ini. AC yang selalu menyala untuk mendinginkan laptop dan ipad Fian yang panas karena dipakai tanpa henti. AC ini membuat perbedaan yang drastic pada suhu udara di luar dan di ruang kerja Fian. Kurasakan pelukan Adega yang semakin kuat. Kulit tropisnya belum terbiasa dengan suhu 19⁰C yang tertera pada panel AC.
“Fian?” sekali lagi hati-hati saat aku mencoba melangkah untuk berada di belakangnya. “Mau mau main sama Adega?” sedikit gugup memang apalagi kalau begini. Fian yang konsentrasi itu selalu membuat jantungku berpacu berkali-kali lipat dari biasanya.
Senyumnya itu lho gak ketulungan membuat aku semakin deg-degan. Akhirnya aku memalingkan wajah. Aku berjalan dan sekali lagi dengan hati-hati mendekat ke Fian.
“Jaga Adega sebentar ya aku mau ke swalayan.” Kataku lalu berbalik pergi dan menutup pintu ruangan tersebut. aku menghela nafas lega.
‘Kenapa aku jadi kembali seperti anak SMA?’
Malam harinya kami menikmati makan malam sederhana yang ku buat Adega sudah pintar makan sendiri walau pipinya yang chubby dan putih sering tertempel makanan. Celotehnya menghiasi meja makan kami. Aku tersenyum dan sesekali memandang Fian. Ia juga tersenyum lagi-lagi getaran di hatiku semakin berpacu aku memalingkan muka dan membereskan sisa makanan di meja makan.
Sementara aku berkutat di dapur Fian dan Adega tampak asik bermain. Sudah lama semenjak aku melihat Fian begitu dewasa dan terbuka.
‘Apa karena Adega?’ pikirku. Fian jadi berubah tapi bukan kearah negative, positive malah dan aku menyukainya. Ia jadi penyabar dan penuh perhatian. Sesuatu yang hilang dari diri Fian.
Adega sudah mulai ngantuk, aku membawanya ke kamar di samping kamarku dan Fian. Malam ini aku pisah ranjang yah boleh diartikan begitu, aku tidur dengan Adega. Sebenarnya Adega tidur bersama aku dan Fian bukan hal buruk lagi pula kasurnya masih muat tapi, aku memutuskan untuk menghindari Fian sampai debaran ini jadi normal kembali.
Menjauhi Fian kalau bisa aku pasti akan melakukannya tapi…
“Kau kenapa?” Tanya Hyorin dengan logat British yang cukup fasih meski ia keturunan dan berkewarganegaraan Korea. Ia temanku selama bekerja di rumah sakit swasta ini untuk magang. Beda denganku yang bersekolah di Oxford, ia bersekolah di Cambridge. Meski begitu, kami tetap bersahabat.
“Ehn entahlah,”
“Apa ada masalah dengan suamimu?”
“Hyorin, apa yang membuatmu suka pada Steven?” kataku dengan memperhatikan raut wajahnya. Ia bingung, jelas sekali.
“Maksudmu? Kenapa aku suka padanya?” katanya dengan pasti memperjelas pertanyaanku. Aku mengangguk lemas dan menerawang ke depan.
“Apakah kau pernah berusaha menghindari orang yang kau cintai?” tambahku, dan berlarut kembali dalam diam.
“Oke-oke akan ku jawab pertanyaanmu.” Aku memasang telingaku. “Aku suka dia karena dia dewasa.” Aku mengingat Steve, ia memang kebapakan. Saat menikah dengan Hyorin ia telah memiliki seorang anak dari pernikahannya yang terdahulu.
“Fatherhood mungkin. Ah benar itu dia, kita seorang wanita pasti akan luluh dengan aura fatherhood seorang lelaki!” Katanya bersemangat. “Tapi untuk pertanyaanmu yang kedua aku tak begitu yakin, menjawabnya tapi…”
“Tapi apa?!” aku mulai tak sabar, mataku berkaca-kaca.
“Menurut temanku saat seperti itu kita butuh sesuatu yang baru dengan pasangan kita. Cobalah untuk bersamanya lebih sering dan nikmati sensasi debaran atau apalah itu namanya. Sudah dulu ya?” Hyorin beranjak dari tempat duduknya dan pergi menuju suaminya yang membawakan makanan untuknya.
Somehow, I feel jealous…
Seminggu ini aku, Fian dan Adega berada di apartemen. Seminggu ini pula Adega selalu berceloteh riang kesana-kemari bercerita tentang segala hal dan kesukaannya terhadap Oxford. Seminggu ini pula Fian semakin … kupikir ini sulit untuk di deskripsikan dan aku jangan tanya, setiap kali aku mencoba untuk berdua dengan Fian jantung ini serasa berpacu berkali-kali-kali lipat dari biasanya dan aku tak akan pernah bisa menikmati getaran tersebut sama seperti apa yang Hyorin katakan padaku.
Hari ini Kak Ardhian dan Laras akan datang menjemput Adega dan meninggalkan aku dan Fian berdua lagi. Seperti yang kuduga mereka tambah mesra. Senyum mereka semakin lebar dari terakhir kali datang kemari mereka mengucap terima kasih, memberikan hadiah dan pergi meninggalkan aku dan Fian … berdua … saja. Kupikir mereka akan meneruskan kegiatan bulan madu mereka di Indonesia dengan program anak ke-2 mereka.
Aku tak ingin malam cepat menyerang, aku takut semakin jatuh dalam pesona fatherhood Fian, aku takut terkena serangan jantung gara-gara Fian membuat jantungku jadi abnormal.
Tapi hari pun juga harus berganti dan akhirnya di sinilah aku. Aku terus menenggak air putih. Pikiranku yang tak jernih atau aku yang berpikiran kotor membuat aku berpikir 2 kali untuk sekamar dengan Fian. Mataku sudah tak dapat berbohong, merah menandakan lelah terlebih saat harus menjadi relawan di panti.
Ia sudah terlelap. Fian menghadap cahaya bulan ketika aku tak tidur di sampingnya. Aku menghela nafas lega. Kuberanikan diri menata diriku tidur di sampingnya lalu menggulingkan tubuh membelakanginya dan langkah terakhir adalah memejamkan mata lalu tertidur.
“Aku kangen!”
Pupus sudah segala keinginanku untuk tidur nyenyak! Mataku kembali berwarna putih. Fian memelukku dari belakang dan kurasakan pelukannya semakin kencang.
“Fi fian aku ma mau ti tidur!”
‘Gagap? Aku gagap? Dasar Fian bisa-bisanya ia buat aku seperti ini. Oh God semoga ia tak tahu kalau aku …’
“Kamu gak kangen sama aku.”
‘Aku kangen banget!’
“Hadap kesini!”
‘Kalo aku bisa aku pasti udah menghadap kamu!’
“Aku gak akan ngelakuin yang macam-macam kok, aku menghormati keputusanmu untuk menjaga scholarship yang kamu dapat.” Aku tertegun dengan apa yang ia ucapkan.
“Adega lucu ya? Suatu saat kita pasti punya benda yang seperti itu.”
‘Fian, anak bukan benda.’ Sweat drop mendengar apa yang Ia ucapkan.
“Saat Ardhian dan Laras datang kupikir mereka hanya berdua tapi ternyata mereka membawa anak mereka. Somehow, I feel jealous.” Fian membenamkan wajahnya di leherku, membuatku merinding.
Aku tak tahan ini sudah sampai batasnya. Aku mengabaikan debaran jantung yang mulai tak menentu ini. Aku berbalik menghadap Fian memelukknya seakan-akan ia akan pergi jauh entah kemana.
“Maaf… maaf… aku belum sempurna.” Aku tersedu-sedu. Menangis akan apa yang telah kuperbuat pada Fian selama ini. Ia menginginkan keturunan tapi aku masih egois dengan scholarship omong kosong itu. Aku muak tapi ia mengormatiku lebih dari apapun, aku bangga padanya.
“Surprise!!!” Teriak mereka berdua dengan semangat.
“Laras! Kak Ardhian!” Aku tak kalah semangat. Laras dan Ardhian menikah 4 tahun yang lalu dan sekarang…“Eh siapa ini? Hm masuk dulu ya, maaf apartemennya kecil.”
Teman SMAku sekarang mampir di apartemen kecil kami, Laras dan Kak Ardhian. Mereka berdua masuk ke apartemenku dan digendongan Laras, jagoan kecil yang tampak malu-malu berlindung di pelukan bundanya.
Mendengar keributan di pintu Fian yang sedari tadi mengkoreksi tesis yang kubuat berjalan keluar dari ruang kerja, di tatapnya orang-orang yang ada di ruang tamu dan aku yang di dapur sedang menyiapkan minum. Tatapannya berhenti pada sesosok laki-laki yang dulu pernah bersekolah dan sekelas dengannya.
“Ardhian!” Sentaknya dan yang dipanggilpun berbalik. Mereka tampak senang. Sudah lama aku tak melihat Fian dengan mata berbinar. Mereka berpelukkan dengan erat kupikir seperti pasangan kekasih yang telah lama tak bertemu.
“Sepertinya sudah 2 tahun gak ketemu ya?” Fian menepuk-nepuk pundak Ardhian.
“Kamu sendiri juga tambah tua!” Kata Ardhian menepuk kepala lelaki yang 5 cm lebih tinggi darinya.
Kami berlima duduk di sofa putih ruang tamu, ya bercerita tentang masa lalu dan rutinitas yang kami jalani saat ini. Pandanganku tak bisa lepas pada Adega.
Putra pertama Ardhian dan Laras tersebut bergelantung manja pada ayah bundanya dan sesekali berceloteh riang. Umurnya yang baru menginjak 3 tahun tak menyurutkan niatnya untuk berbicara walau kurang begitu ku mengerti. Pipinya yang chubby mengunyah cup cake keju yang kusajikan, membuatku tak tahan untuk mencubit pipinya. Dia terlampau imut.
Satu jam lebih kami bercanda mengenang masa lalu dan kini mulai beranjak siang.
“Lalu apa rencana kalian?” Fian penasaran. Kupikir ia mulai menjadi kepo jika menyangkut masalah tentang sahabat-sahabatnya.
“Karena ini bulan madu, kami akan mengunjungi Paris.” Kak Ardhian yang dulu kukira pendiam malah berceloteh tentang rencana mereka. “ Karena itu, Fian, Noah. Maukah kalian menjaga Adega untuk kami…” Lagi wajah coolnya itu menunjukkan ekspresi ‘maukah kamu melakukannya, atau kubanting kalian berdua sekaligus’ yang membuatku dan Fian tentunya mengangguk setuju.
Setelah mereka memberi instruksi pada aku dan Fian bagaimana cara merawat Adega mereka berangkat ke Paris kupikir ini memang bulan madu yang sangat dan teramat mereka tunggu.
Aku jadi iri, mereka di tengah liburan masih sempat bulan madu tapi aku dan Fian hanya diam. Ya aku tahu, sulit memang mengajak Fian keluar walau hanya untuk mengambil kiriman yang dikirim di depan pintu apartemen.
Saat menutup pintu aku berbalik. Aku mengehela nafas, Fian kembali dengan kesibukannya dan Adega…
“Ah Adega jangan sayang!” seruku saat Adega keluar dan menuju balkon yang tak jauh dari ruang tamu dia mengeluarkan tangannya. Aku berlari cepat untuk menangkapnya.
“Tante, indah ya?” Dia tampak polos innocent, matanya yang berbinar dengan keindahan Oxford tersenyum kagum dengan riang dan rambutnya yang lembut terbawa angin Oxford. Ia tak sadar betapa bahayanya aksi yang ia lakukan tadi.
“Ia Dega, indah tapi bahaya tahu.” Kataku memeluk Adega dari belakang dan membiarkan Adega duduk di pangkuanku.
“Solly ya tante, aku itu kuat!” Katanya berdiri dan menghadap padaku. Tangannya yang mungil dan berbalut jacket snoopy itu ia tekuk bak binaraga. Aku tertawa dengan Adega yang imut dan lucu ini.
“Adega main sama om yuk?” Ajakku padanya yang juga mengangguk padaku.
Aku yang tengah menggendong badan mungil Adega berjalan hati-hati menuju ruang kerja Fian. Seperti biasa bau kertas dan tinta memenuhi ruangan ini. AC yang selalu menyala untuk mendinginkan laptop dan ipad Fian yang panas karena dipakai tanpa henti. AC ini membuat perbedaan yang drastic pada suhu udara di luar dan di ruang kerja Fian. Kurasakan pelukan Adega yang semakin kuat. Kulit tropisnya belum terbiasa dengan suhu 19⁰C yang tertera pada panel AC.
“Fian?” sekali lagi hati-hati saat aku mencoba melangkah untuk berada di belakangnya. “Mau mau main sama Adega?” sedikit gugup memang apalagi kalau begini. Fian yang konsentrasi itu selalu membuat jantungku berpacu berkali-kali lipat dari biasanya.
Senyumnya itu lho gak ketulungan membuat aku semakin deg-degan. Akhirnya aku memalingkan wajah. Aku berjalan dan sekali lagi dengan hati-hati mendekat ke Fian.
“Jaga Adega sebentar ya aku mau ke swalayan.” Kataku lalu berbalik pergi dan menutup pintu ruangan tersebut. aku menghela nafas lega.
‘Kenapa aku jadi kembali seperti anak SMA?’
Malam harinya kami menikmati makan malam sederhana yang ku buat Adega sudah pintar makan sendiri walau pipinya yang chubby dan putih sering tertempel makanan. Celotehnya menghiasi meja makan kami. Aku tersenyum dan sesekali memandang Fian. Ia juga tersenyum lagi-lagi getaran di hatiku semakin berpacu aku memalingkan muka dan membereskan sisa makanan di meja makan.
Sementara aku berkutat di dapur Fian dan Adega tampak asik bermain. Sudah lama semenjak aku melihat Fian begitu dewasa dan terbuka.
‘Apa karena Adega?’ pikirku. Fian jadi berubah tapi bukan kearah negative, positive malah dan aku menyukainya. Ia jadi penyabar dan penuh perhatian. Sesuatu yang hilang dari diri Fian.
Adega sudah mulai ngantuk, aku membawanya ke kamar di samping kamarku dan Fian. Malam ini aku pisah ranjang yah boleh diartikan begitu, aku tidur dengan Adega. Sebenarnya Adega tidur bersama aku dan Fian bukan hal buruk lagi pula kasurnya masih muat tapi, aku memutuskan untuk menghindari Fian sampai debaran ini jadi normal kembali.
Menjauhi Fian kalau bisa aku pasti akan melakukannya tapi…
“Kau kenapa?” Tanya Hyorin dengan logat British yang cukup fasih meski ia keturunan dan berkewarganegaraan Korea. Ia temanku selama bekerja di rumah sakit swasta ini untuk magang. Beda denganku yang bersekolah di Oxford, ia bersekolah di Cambridge. Meski begitu, kami tetap bersahabat.
“Ehn entahlah,”
“Apa ada masalah dengan suamimu?”
“Hyorin, apa yang membuatmu suka pada Steven?” kataku dengan memperhatikan raut wajahnya. Ia bingung, jelas sekali.
“Maksudmu? Kenapa aku suka padanya?” katanya dengan pasti memperjelas pertanyaanku. Aku mengangguk lemas dan menerawang ke depan.
“Apakah kau pernah berusaha menghindari orang yang kau cintai?” tambahku, dan berlarut kembali dalam diam.
“Oke-oke akan ku jawab pertanyaanmu.” Aku memasang telingaku. “Aku suka dia karena dia dewasa.” Aku mengingat Steve, ia memang kebapakan. Saat menikah dengan Hyorin ia telah memiliki seorang anak dari pernikahannya yang terdahulu.
“Fatherhood mungkin. Ah benar itu dia, kita seorang wanita pasti akan luluh dengan aura fatherhood seorang lelaki!” Katanya bersemangat. “Tapi untuk pertanyaanmu yang kedua aku tak begitu yakin, menjawabnya tapi…”
“Tapi apa?!” aku mulai tak sabar, mataku berkaca-kaca.
“Menurut temanku saat seperti itu kita butuh sesuatu yang baru dengan pasangan kita. Cobalah untuk bersamanya lebih sering dan nikmati sensasi debaran atau apalah itu namanya. Sudah dulu ya?” Hyorin beranjak dari tempat duduknya dan pergi menuju suaminya yang membawakan makanan untuknya.
Somehow, I feel jealous…
Seminggu ini aku, Fian dan Adega berada di apartemen. Seminggu ini pula Adega selalu berceloteh riang kesana-kemari bercerita tentang segala hal dan kesukaannya terhadap Oxford. Seminggu ini pula Fian semakin … kupikir ini sulit untuk di deskripsikan dan aku jangan tanya, setiap kali aku mencoba untuk berdua dengan Fian jantung ini serasa berpacu berkali-kali-kali lipat dari biasanya dan aku tak akan pernah bisa menikmati getaran tersebut sama seperti apa yang Hyorin katakan padaku.
Hari ini Kak Ardhian dan Laras akan datang menjemput Adega dan meninggalkan aku dan Fian berdua lagi. Seperti yang kuduga mereka tambah mesra. Senyum mereka semakin lebar dari terakhir kali datang kemari mereka mengucap terima kasih, memberikan hadiah dan pergi meninggalkan aku dan Fian … berdua … saja. Kupikir mereka akan meneruskan kegiatan bulan madu mereka di Indonesia dengan program anak ke-2 mereka.
Aku tak ingin malam cepat menyerang, aku takut semakin jatuh dalam pesona fatherhood Fian, aku takut terkena serangan jantung gara-gara Fian membuat jantungku jadi abnormal.
Tapi hari pun juga harus berganti dan akhirnya di sinilah aku. Aku terus menenggak air putih. Pikiranku yang tak jernih atau aku yang berpikiran kotor membuat aku berpikir 2 kali untuk sekamar dengan Fian. Mataku sudah tak dapat berbohong, merah menandakan lelah terlebih saat harus menjadi relawan di panti.
Ia sudah terlelap. Fian menghadap cahaya bulan ketika aku tak tidur di sampingnya. Aku menghela nafas lega. Kuberanikan diri menata diriku tidur di sampingnya lalu menggulingkan tubuh membelakanginya dan langkah terakhir adalah memejamkan mata lalu tertidur.
“Aku kangen!”
Pupus sudah segala keinginanku untuk tidur nyenyak! Mataku kembali berwarna putih. Fian memelukku dari belakang dan kurasakan pelukannya semakin kencang.
“Fi fian aku ma mau ti tidur!”
‘Gagap? Aku gagap? Dasar Fian bisa-bisanya ia buat aku seperti ini. Oh God semoga ia tak tahu kalau aku …’
“Kamu gak kangen sama aku.”
‘Aku kangen banget!’
“Hadap kesini!”
‘Kalo aku bisa aku pasti udah menghadap kamu!’
“Aku gak akan ngelakuin yang macam-macam kok, aku menghormati keputusanmu untuk menjaga scholarship yang kamu dapat.” Aku tertegun dengan apa yang ia ucapkan.
“Adega lucu ya? Suatu saat kita pasti punya benda yang seperti itu.”
‘Fian, anak bukan benda.’ Sweat drop mendengar apa yang Ia ucapkan.
“Saat Ardhian dan Laras datang kupikir mereka hanya berdua tapi ternyata mereka membawa anak mereka. Somehow, I feel jealous.” Fian membenamkan wajahnya di leherku, membuatku merinding.
Aku tak tahan ini sudah sampai batasnya. Aku mengabaikan debaran jantung yang mulai tak menentu ini. Aku berbalik menghadap Fian memelukknya seakan-akan ia akan pergi jauh entah kemana.
“Maaf… maaf… aku belum sempurna.” Aku tersedu-sedu. Menangis akan apa yang telah kuperbuat pada Fian selama ini. Ia menginginkan keturunan tapi aku masih egois dengan scholarship omong kosong itu. Aku muak tapi ia mengormatiku lebih dari apapun, aku bangga padanya.
Benar apa yang dikatakan Hyorin, wanita akan jatuh pada aura fatherhood seorang lelaki. Sadar atau tidak setiap lelaki memiliki aura fatherhood. Aura fatherhood Fian ada dan nyata walaupun tertutup oleh ke-cuek-annya. Aura yang diam-diam mulai tampak tersebut telah berhasil menjeratku pada 1001 pesona Fian. Semakin aku mengenalnya semakin aku tak ingin berpisah dengannya. Fatherhood itu ada pada Fian.
*&*
10 February 2013
Baca juga Cerpen Cinta dan Cerpen Romantis yang lainnya.
Post a Comment